Jumat, 14 Oktober 2011

Socrates, Plato, Aristoteles, Philosophy dan Sophis

Hem, rasanya saya akan menulis sesuatu yang tidak banyak saya ketahui. Saya bukan mahasiswa filosifi. Walaupun begitu, dulu saya pernah berpikir untuk kuliah filosofi. Ah, lupakan. Saya selalu ingin untuk kuliah ini-itu. Nonton drama Korea "Surgeon", pengen kuliah kedokteran. Ngobrol sama teman pacar, pengen kuliah kehutanan. Liat temen yang masih muda udah jadi sastrawan hebat (setidaknya di mata saya), pengen kuliah sastra. Dan satu yang paling kuat, sejak entah kapan, karena Riri Riza, karena Petualangan Sherina, karena GIE, saya ingin kuliah film. Sudah hampir lima tahun pontang-panting mewujudkannya. Ah, sudahlah. Lupakan.

Filosofi, artinya pecinta kebijaksanaan. Dengan ilmu ini, semoga manusia makin bijaksana, gitu kira-kira tujuannya. Orang yang ngerti filosofi, katanya, akan bijaksana. Terutama dalam belajar. Hidup ini adalah belajar, bukan? Dalam mengajar, orang yang bijaksana akan mengajak muridnya untuk berdiskusi. Tidak akan memberi pakem yang harus ditelan bulat-bulat. Hanya akan mengarahkan, kemudian membiarkan muridnya mengambil kesimpulan. Tidak ada kesimpulan yang salah, sebab semua orang punya cara pikir masing-masing. Apakah ciri-ciri ini anda temukan di dalam guru-guru yang anda temui sekarang-sekarang ini?


Saya tidak. Kurang lebih tiga tahun saya berkecimpung di dunia pendidikan sebagai pengajar, yang saya temui hanyalah Sophis.Orang yang merasa mengetahui banyak hal, merasa ilmunya telah cukup sehingga dengan sesumbar mengatai orang lain bodoh. Orang yang selalu bersikap agar terlihat pintar jauh lebih pintar dari dirinya sebenarnya. Orang yang memperlakukan ilmu sebagai barang dagangan. Kau punya uang, kau dapat ilmu. Tidak punya uang, lupakan!


Ah, saya ternyata sudah lulus dari sebuah akademi bahasa asing. Saya lulus dengan predikat A cum Laude pula. Alih-alih merasa bangga, saya justru malu. Tiap orang bertanya, kuliah dimana?, dengan enteng saya akan menjawab, "Akademi Bahasa Asing.". Saya berani taruhan, hampir seluruh angkatan yang akan diwisuda bersama saya tidak tau asal-usul kata "akademi". Saya baru tau malam ini bahwa akademi itu berasal dari namase orang pahlawan legendaris di Athena, Akademus. Plato, yang notabene murid langsung dari Socrates (yang mempunyai pengaruh sangat besar di dunia Filsafat), mendirikan sebuah sekolah di hutan bernama Akademus. Yang diajarkan adalah filsafat, matematika dan olahraga.


Yak, saya tau semua ini karena baru saja membaca "Dunia Sophie". Karya fenomenal yang tercetak 30 juta kopi lebih di seluruh dunia. Betapa terlambatnya saya untuk membaca buku bagus itu. Betapa terlambatnya saya mengetahui asal-usul kata "akademi" setelah tiga tahun belajar di dalam akademi. Memalukan, untuk sejenak. Namun kemudian saya berpikir, tidak ada kata terlambat untuk belajar, kan? Lagipula kata Socrates orang yang paling bijak adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.



Pada hari saat saya disidang untuk Tugas Akhir saya, kepala jurusan Akademi Bahasa Asing (kebetulan beliau menjadi dosen penguji saya) menawarkan langsung kepada saya untuk menjadi pengajar di almamater saya. Saat itu saya spontan menolak. Dari balik kacamatanya saat itu, saya tahu Ibu Kepala Jurusan terkaget. Mungkin itu kali pertama tawarannya ditolak orang, terlebih orang itu mahasiswanya. Mungkin dalam hatinya dia mengutuk saya, "Kamu akan menyesal!" Mungkin. Hanya dugaan saya saja.


Beberapa hari lalu saya membicarakan hal itu pada ibu saya. Beliau berkata dengan logat Medan-nya, "Kan jadi sebuah kebanggaan, ketika ada orang yang nanya sama mama, anakmu kerja apa? mama jawab, jadi dosen." 
Untuk sesaat saya tertampar. Apa hidup seorang anak hanya untuk membanggakan orang tuanya? Bagaimana dengan kebahagiaannya? Bagaimana dengan jalan hidup yang dia pilih dan dia senangi? Tapi kemudian saya tersadar. Ibu tidak benar-benar ingin mengucapkan hal itu. Dulu juga ibu pernah menginginkan aku kuliah di sebuah kampus, dan menangis ketika ku putuskan untuk merantau ke Jakarta. Pada kenyataannya ibu selalu membangga-banggakan aku di depan teman se-pengajiannya. Betapapun, ku rasa tak ada yang pantas dibanggakan dari aku. Semua ibu memang begitu.


dan aku tidak menyesali telah menolak tawaran ibu kepala jurusan. Sama sekali tidak. Aku sudah berjanji untuk tidak bekerja di dunia pendidikan formal lagi sejak 7 bulan lalu. Jujur saja aku trauma melihat mekanisme dunia pendidikan yang penuh intrik. Intriknya tak kalah busuk dari film-film politik. Semua ku lihat dengan mata kepalaku. Betapa sekarang pendidikan itu tak lebih dari tambang emas bagi para sophis.


Dan malam ini aku makin bersyukur akan keputusanku untuk menolak tawaran itu. Mari bertaruh, kebanyakan dosenku yang mengajar di akademi, tidak tahu asal-usul kata akademi! Itu bukan kesalahan mereka, sih. Dan tidak baik juga men-judge cuma gara-gara asal-usul satu kata, hehehehe. Tapi, malam ini aku merasa kepalaku kosong. Aku manusia yang belum punya cukup ilmu untuk mendapat gelar dosen. Ampun!

Aku ingat sekali, selama aku kuliah, beberapa kali aku mempermalukan dosen yang ketahuan tidak menguasai mata kuliah yang dia ajarkan. Aku bisa mengerjakan lebih baik dari itu, demikian kata ego sombongku. Berbahaya sekali, jika kita harus pura-pura cukup pintar untuk menjadi dosen. Cuma untuk apa? Memenuhi kebutuhan tenaga kerja kampusku yang terkenal karena punya banyak cabang bak franchise itu? Aku tidak mau jadi sophis.


Malam ini aku berjanji untuk belajar lebih banyak lagi. Aku tidak ingin jadi sophis.
aku tau aku bukan mahasiswa filsafat.
aku bahkan lulus dari kampus yang tidak bisa dibanggakan.
tapi aku bangga telah menolak tawaran yang bagi sebagian orang bagi menolak emas.
setidaknya hatiku secara refleks melindungiku untuk menjadi sophis.
sophis yang saat itu tidak ku kenali istilahnya namun ku kenali ciri-cirinya.
that must be something!
Socrates bahkan belajar di keramaian pasar, dari seorang budak.
Maka aku akan belajar lebih giat!

1 komentar:

Tiada kesan tanpa komentarmu...