Rabu, 12 Oktober 2011

Kabanjahe!

Nggak ada yang spesial dari kota kecil yang namanya sungguh nyempil di peta Sumatera Utara ini. Itu pemikiran yang ada di dalam otakku setidaknya sampai tiga tahun yang lalu. Tanah Karo, kira-kira 80 km dari pusat kota Medan. Di peta, akan tertulis ibu kota dari kabupaten itu "Kabanjahe". Di kota inilah aku menghabiskan hampir 17 tahun hidupku. Dilahirkan di tempat yang sama dengan Nagabonar, Pematang Siantar, satu bulan setelah tanggal 28 Juni 1990, orang tuaku membawa aku ke kota itu. Kabanjahe.


Kota kecil yang bersuhu rata-rata 18 derajat celcius, diapit dua gunung api; Sibayak dan Sinabung. Gak ada yang istimewa. Gak ada mall, gak ada hypermart apalagi 21. Yang ada cuman minimarket. Aku ingat sekali, dulu, jika berhasil mendapatkan ranking 1 di sekolah, aku akan diberi sejumlah uang untuk dihabiskan di minimarket tersebut. Hahaha, padahal hanya minimarket. Hanya makanan ringan yang harganya tak seberapa namun legendaris. Tau kan? Semacam Canasta, Yupi bentuk botol dan roda, Tini Wini Biti yang ada hadiah monopolinya, permen telur cicak, Anak Mas, Cheetos dan Paddle Pop rasa durian. Aku mati-matian belajar tiap catur wulan agar bisa mendapatkan jajanan itu. Ah, dulu ternyata kebahagiaan sangat murah ya?


Kabanjahe. Gak banyak tempat nongkrong. Paling banter muda-mudinya pacaran di foodcourt sepanjang pinggir jalan yang disebut "Pasar Kaget". Gak ada tempat khusus kaya angkringan di Jogja. Gak banyak mall kayak di Jakarta. Kalo mau agak jauh, ada daerah bernama Gundaling. Kalau di Bandung, tempat ini semacam Puncak. Konon katanya dulu ada seorang pemuda Belanda yang memberi salam perpisahan kepada kekasih pribumi-nya di tempat ini. "Good Bye My Darling..." disingkat jadi Gundaling. entah ini cuma ledek-ledekan atau beneran. Tapi menurut legenda setempat, yang pacaran di lokasi wisata ini bakalan putus. Yang berani nyoba ya monggo.

Kabanjahe. Cenderung membosankan. Udaranya dingin, bikin nafsu makan meningkat. Jarang sekali orang di sini langsing-langsing seperti di Jakarta. Orang-orangnya serba heboh. Suara tawa dan bercandaan terdengar berlebihan. Penjual baju bekas berserak tak beraturan. Penjual sayur dan sirih apalagi. 50% wanita di kota ini makan sirih. Bibir, lidah, gigi dan air liur mereka memerah permanen. Pemandangan yang gak enak!

itu, itu semua adalah pemikiran saya tiga tahun yang lalu. Tiga tahun dimana saya belum melangkahkan kaki dari Kabanjahe. Ketika keluar dari kota kecil itu saya bertolak ke Jakarta.


Jakarta punya banyak Mall, ratusan tempat nongkrong, bioskop-bioskop megah. Jangankan minimarket, megamarket, hypermarket pun banyak. enam bulan pertama tinggal di jakarta memang sangat mengesankan. Tak ada habis-habisnya tempat elit untuk dikunjungi.Begitu banyak madu untuk dicecap. Hingga dua tahun kemudian saya temui diri saya berjalan di mall, dengan uang yang cukup di kantong (cukup untuk makan di tempat yang lumayan mahal, cukup untuk nonton di 21, cukup untuk reload kartu Fun World, cukup untuk beli baju), berjalan begitu saja. Gak kenal satupun orang dan tidak dikenal oleh satu orangpun. Alih-alih merasa bahagia, saya justru merasa hampa.


Aku yakin, banyak sekali orang yang pernah merasakan saat seperti ini. Saat tiba-tiba anda merasa kesepian di tengah keramaian. Benar kata Anand Krishna, jika anda sering mengunjungi tempat ramai secara sederhana itu menjelaskan bahwa anda kesepian. Saya gak tau kenapa. Tapi saya tau saat itu saya demikian kesepian. Demikian hampa. Saya pun mulai sering uring-uringan, mudah mengumpat, mudah mengutuki apapun.


Hari ini, genap dua minggu saya kembali ke kota tercinta, Kabanjahe. Wait, tercinta? Iya! Saya mencintai kota kecil yang pernah saya kutuki sebagai kota membosankan ini. Ternyata, madu-madu yang begitu banyak saya cecap di Jakarta telah membuat lidah saya mati rasa. Saya sampai kepada sebuah kesimpulan: di Jakarta, saya begitu sibuk memanjakan diri saya dengan hal-hal yang sepertinya akan memberi saya kebahagiaan. Padahal justru bukan kebahagiaan yang datang, malah kehampaan.


Saya mulai bertanya, berapa kali saya bersama teman-teman nongkrong di mall, nonton, makan-makan, (untungnya saya sampai detik ini tidak suka shopping) bukan karena butuh, bukan karena ingin, tapi cuman mengisi waktu luang. Berapa kali saya memanjakan diri saya dengan hal-hal yang sama sekali tidak menghibur jiwa. Hanya untuk tidak terlihat kesepian dari luar.Tidak heran jika saya jadi pemarah, penggerutu dan melankolis. Jiwa saya memberontak karena kesepian.


Dua minggu di sini, saya yang penggerutu dan pemarah hilang mengasap entah kemana. Semuanya penuh dengan kesederhanaan dan kejujuran di sini.

Yah, memang tidak banyak tempat yang bisa dipakai untuk nongkrong. Tapi justru saya lebih sering nonkrong di rumah teman atau rumah saya sendiri. Sehingga saya akrab dengan keluarga teman saya dan begitu sebaliknya.


Yah, memang tidak ada spot yang asik untuk pacaran. Tapi bodo amat ya, pacar saya kan saya tinggalin di Jakarta. Lagian, kota dingin ini memang enak untuk jatuh cinta, tapi tidak se-bebas di Bandung untuk memadu cinta. Gak sok suci sih orang-orang di sini. Cuman mereka punya batas kewajaran dalam pacaran.

Yaah, memang yang ada cuma minimarket. malahan minimarket yang sama seperti tempat saya berbelanja sebagai juara kelas ketika SD dulu. Tapi itu semua mengembalikan sedikit demi sedikit ingatan tentang bagaimana menciptakan kebahagiaan dari sebungkus Cheetos (betapa kesalnya saya, Canasta danTini Wini Biti sudah tak dijual lagi).


Yah, memang suara tawa tanpa kontrol terdengar dimana-mana, terkesan tak sopan. Daripada di Jakarta?yang terdengar teriakan makian mulu! :P


Yaaah, memang penjual pakaian bekas dan sayur berserakan. Tapi cara mereka berjual-beli, menyiratkan interaksi sosial dan senyum bukan basa-basi. gak seperti muka kasir hypermart yang tiba-tiba asem jika melayani orang berpakaian lusuh.

Yaah, memang banyak sekali ibu-ibu berbibir dan bergigi merah karena sirih, tapi senantiasa tersenyum.


Hahahaha, lega rasanya. Sedikit demi sedikit saya menemukan lagi diri saya yang demikian bahagia.
Ternyata kuncinya adalah kesederhanaan. dalam berpikir, dalam bertindak.


Tidak ada yang salah dengan Jakarta.
Esok, jika saya kembali ke sana, saya akan membawa segala kesederhanaan dan kejujuran kota kecil ini dalam otak dan hati saya. Biarlah Jakarta panas, saya harus berusaha tetap adem.
Jika benar-benar gak bisa adem,
....
....
....
....
...
ya balik ke kabanjahe lagi.
hehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...