Sabtu, 22 Oktober 2011

In Denial

Aku masih berharap ini semua mimpi.
Besok aku akan bangun dan semua akan baik-baik saja.
Besok aku akan bangun dan melihat apa-apa yang kususun perlahan masih utuh.
Tidak berantakan dan tidak pula hancur.

Tapi rasa sakit ini begitu nyata.
Airmata yang terasa dingin melintasi pipi.
Rasa perih tak tertahankan di mata,
rasa sesak
semuanya menyadarkan kepadaku bahwa ini nyata.
Ini nyata, aku tidak punya kesempatan untuk bangun dan menyadari bahwa ini semua hanya mimpi.


Aku begitu merindukanmu.
Apa alasan logis untuk mengacuhkanku selama ini?



Tapi aku berharap, masih berharap ini semua mimpi.
Besok aku akan terbangun karena suara telepon darimu.
Kau akan membangunkan aku dengan suara berat itu.
Dan kita akan berbincang panjang, meski setiap lima belas menit sekali operator mematikan telepon kita.
Kita akan membicarakan banyak hal sambil bercanda seperti biasa.
Seperti biasa.




Aku masih berharap ini semua mimpi.
Besok aku akan terbangun dan menemukan sms darimu di inbox-ku.
Kita akan pergi ke Puncak
melewati macet yang begitu panjang dengan bergenggaman tangan.
Aku akan tertidur di bahumu hingga kau membangunkanku di Cimacan
Besok aku akan bangun dan menemui tanganmu masih ada dalam genggaman tangaku.
Kamu masih milikku
Kamu masih di sini.


Aku masih berharap ini hanya mimpi
Besok aku akan terbangun dan mendapatimu dalam pelukanku
masih tertidur
setelah semalaman kita berbincang tentang masalalu kita, keluarga kita, dan rencana pernikahan.


Tapi dinginnya airmata dan sepi yang menyayat
selalu berhasil mengingatkan aku bahwa semua ini kenyataan.
Kenyataannya adalah kau tidak peduli lagi.


Aku begitu merindukanmu.
Siapa yang datang ke kehidupanmu sehingga kau tiba-tiba pergi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...