Rabu, 26 Oktober 2011

Theory

saya sampai pada sebuah titik, skeptisisme.
Dimana saya sudah tidak mau berusaha melawan lagi, tidak berusaha bermanis-manis lagi dalam berpikir. Saya sudah berhenti mengatakan "All izz well" seperti yang disarankan dalam film 3 Idiots. Saya berusaha menerima, bahwa ada kondisi yang sedang tidak baik-baik saja dan saya harus kuat untuk itu.


saya ini memang orang yang gila film.
Kata Joko Anwar, film itu sekolah kehidupan, saya setuju.Walaupun, setelah menonton banyak film bagus, tidak menjamin kamu akan menjalani hidup tanpa masalah. Tidak apa. Setelah mengetahui sesuatu, manusia kemudian akan mengetahui bahwa dia masih tidak tau hal lainnya. Begitu seterusnya. Socrates pun merasa dia tidak tahu apa-apa bukan?

Teori hidup yang akan saya pegang setelah sekian lama berpegang pada "All izz well" 3 Idiots adalah teori-teori yang saya dapat dari The Terminal-nya Spielberg. Saya akan jadi seperti Victor "The Goat". Yang menerima kenyataan-kenyataan bukan dengan mengeluh tapi berbuat dan menikmati proses. viktor tau, dia dalam situasi gawat. Tapi setiap hari dia akan mengantri di belakang garis kuning petugas imigrasi dan menanti stempel yang sudah pasti; "DENIED" karena dia tidak memiliki visa. Tapi dia berkata pada petugas; "you have two color of stamps. One red and one green. acceptable and unacceptable. So I got chance 50-50."

Ya, demikian saya, demikian semua orang. kita semua ada di daerah abu-abu. 50-50. Walaupun terlihat mustahil, terus saja berusaha. Sebab kemungkinan itu selalu 50-50. Tidak akan lebih kecil.


Saya akan meniru kejujuran Viktor, kecerdikannya mengontrol perasaan. Dan memahami "destiny". Terkadang, kita tidak harus melawan atau menerima takdir. Pahami. Itu saja. Saya akan berusaha jujur dan terus jujur. Menjalani hidup yang terus terang akan berbeda tanpa cing. tapi saya harus memahami takdir.

Satu hari, tiga posting tentang dia.
Sungguh tidak mudah menginkhlaskan cing
hati saya selalu berkata cing tidak marah dan hubungan kami akan baik-baik saja.
Tapi saya harus belajar mempersiapkan diri untuk kemungkinan buruk.
feeling saya bilang, cing hanya butuh waktu dan mau memberi kejutan untuk saya
tapi saya harus siap-siap jika feeling itu salah.
Ah, saya ingin seperti Viktor,
menjalani ini semua dengan pemikiran sederhana

Untuk Makwan dan Yahwan*

setiap orang punya hak untuk bersedih.
tapi, betapapun kepergian cing membuat saya sedih sekali, saya tidak boleh terlihat sedih.
walaupun sebenarnya kepura-puraan saya hanya akan jadi akting bodoh.
Sebab Makwan dan Yahwan tau saya berpura-pura.
Mereka tau setiap saya tertawa, saya tidak benar-benar ingin tertawa.
Mereka tau ketika pagi hari mata saya bengkak, saya habis menangis semalaman.
Tidak ada yang bisa saya sembunyikan dari Makwan dan Yahwan.
Tapi, akting bodoh ini adalah usaha terbaik saya.

Usaha terbaik untuk jadi anak bungsu yang diharapkan Makwan dan Yahwan.
Betapapun, Makwan dan Yahwan akan menerima saya apa adanya. Akan mencintai saya apa adanya.
Saya tidak ingin menambah beban mereka.

Makwan yang sudah sakit-sakitan itu, Makwan yang terlihat ceria namun sentimental itu, saya begitu menyayangi dia. Setiap saya iseng berkata ingin makan sesuatu (padahal sebenarnya tidak benar-benar ingin), besok hari Makwan akan memasakkannya untuk saya. Makwan yang selalu meminta pertolongan saya dengan lembut. Makwan yang begitu kelihatan bahagia dengan kepulangan saya ke rumahnya.

Yahwan yang selalu mencari kesibukan di senggangnya masa pensiun itu. Yahwan yang selalu mengingatkan saya makan, membelikan buah untuk saya, memberikan sepatu-sepatu sport kesayanganna untuk saya. Yahwan yang tidak marah walaupun saya bangun paling siang. Yahwan yang selalu jadi orang pertama menanyakan apa yang saya inginkan untuk sarapan pagi. Yahwan yang selalu melankoli pada kepulangan saya kerumahnya.

Saya harus tegar untuk mereka berdua.
Betapapun saya hancur sekarang
Bukan karena cing
cing sudah berusaha memberi yang terbaik untuk saya
tapi saya memang susah dimengerti, bahkan saya tidak mengerti diri saya sendiri.
Saya hancur karena mungkin sudah saatnya merasakan kesedihan
konsekuensi dan hidup
mungkin ini doa orang-orang yang saya sakiti
dan ini adalah sisi lain dari cinta yang begitu banyak saya terima.
Saya tidak menyalahkan cing
sungguh.


diantara kehancuran ini, saya harus tegar dan akan tetap tegar
untuk Makwan dan Yahwan
juga untuk kakak dan abang saya
bahwa saya masih bungsu mereka yang dulu
yang tegar, keras kepala dan bersemangat.
Ya, saya akan terus berjalan




*(kebiasaan orang Melayu untuk memanggil seseorang dengan menggabungkan sapaan dan nama anak sulung. Ibu= Mamak, Ayah=Ayah. Maka Ibu saya dipanggil Makwan, karena dia adalah ibu dari abang sulung saya, Ikhwan. Dengan alasan yang sama, ayah saya dipangil Yahwan).

Pointless Destiny

Saya akan menyimpan banyak benda.

karcis masuk Hutan Raya Cibodas 2 Januari 2011,
tiket bus PO Marita Kampung Rambutan-Cibodas,
tiket kereta api ekonomi Jakarta-Jogja dan Jogja-Jakarta,
tiket masuk candi borobudur,
kartu nama Hotel Harum di jalan Sosrowidjan Jogjakarta
tiket nonton The Fast and Furiuos 4, The Night and The Museum 2, Virgin 2 dan Kungfu Panda 2.
gelang jalinan benang warna ungu bertuliskan "LOMBOK"
gelang hitam yang dibeli pada April 2009 di jembatan terminal Blok M
kartu bermain amazone
dan banyak lagi.

Ya, benda-benda itu akan saya simpan selama mungkin.
Benda-benda itu kelak akan membawa saya pada kesedihan,
tapi benda-benda itu pula akan menjadi bukti otentik
bahwa saya pernah benar-benar melewati hari saya dengan cing
bahwa saya pernah jadi bagian dari hari-harinya
bahwa setidaknya, dia pernah berjanji akan bersama saya selamanya.
bahwa dia pernah berjanji, saya adalah orang terakhir dalam hidupnya.


Saya pernah bilang pada cing, bahwa tidak mungkin takdir mempertemukan kami dari ribuan blog, melalui ribuan kilometer, melewati ratusan hari tanpa komunikasi, terpisah, kemudian bertemu lagi jika bukan karena "sesuatu".

Saya yakin, cing adalah takdir saya. He is my destiny.


Tapi, keyakinan kita kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Sungguh, itu tak apa walaupun demikian pahit. Sama saja seperti orang yang yakin bahwa agama adalah penyelamat, tapi lihatlah kenyataan begitu banyak darah yang tertumpah atas nama agama. Tapi masih saja banyak yang yakin akan agama. Keyakinan tidak harus sejalan dengan kenyataan. Biarlah.


Mungkin cing, dan benda-benda itu adalah takdir yang tidak ada maksudnya. Ada yang bilang, segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan. Everything happens for a reason. Ada juga yang bilang, semua ada hikmahnya. Itu semua terlalu indah. Saya menyiapkan diri kalau cing dan semua hal di atas adalah pointless destiny. Saya tidak mau berharap banyak. Saya juga tidak mau mengeluh. Pointless Destiny. Ah, Tuhan tidak mungkin kurang kerjaan, mungkin dia ingin saya jadi lebih bijak.


Saya harus mengikhlaskan cing,
saya harus bahagia jika ini yang membuat cing bahagia
apa saya merasa sedih?
sangat.
rasanya sulit membuka mata karena perih.
sangat kehilangan.
Tapi saya harus kuat, karena...

Sabtu, 22 Oktober 2011

In Denial

Aku masih berharap ini semua mimpi.
Besok aku akan bangun dan semua akan baik-baik saja.
Besok aku akan bangun dan melihat apa-apa yang kususun perlahan masih utuh.
Tidak berantakan dan tidak pula hancur.

Tapi rasa sakit ini begitu nyata.
Airmata yang terasa dingin melintasi pipi.
Rasa perih tak tertahankan di mata,
rasa sesak
semuanya menyadarkan kepadaku bahwa ini nyata.
Ini nyata, aku tidak punya kesempatan untuk bangun dan menyadari bahwa ini semua hanya mimpi.


Aku begitu merindukanmu.
Apa alasan logis untuk mengacuhkanku selama ini?



Tapi aku berharap, masih berharap ini semua mimpi.
Besok aku akan terbangun karena suara telepon darimu.
Kau akan membangunkan aku dengan suara berat itu.
Dan kita akan berbincang panjang, meski setiap lima belas menit sekali operator mematikan telepon kita.
Kita akan membicarakan banyak hal sambil bercanda seperti biasa.
Seperti biasa.




Aku masih berharap ini semua mimpi.
Besok aku akan terbangun dan menemukan sms darimu di inbox-ku.
Kita akan pergi ke Puncak
melewati macet yang begitu panjang dengan bergenggaman tangan.
Aku akan tertidur di bahumu hingga kau membangunkanku di Cimacan
Besok aku akan bangun dan menemui tanganmu masih ada dalam genggaman tangaku.
Kamu masih milikku
Kamu masih di sini.


Aku masih berharap ini hanya mimpi
Besok aku akan terbangun dan mendapatimu dalam pelukanku
masih tertidur
setelah semalaman kita berbincang tentang masalalu kita, keluarga kita, dan rencana pernikahan.


Tapi dinginnya airmata dan sepi yang menyayat
selalu berhasil mengingatkan aku bahwa semua ini kenyataan.
Kenyataannya adalah kau tidak peduli lagi.


Aku begitu merindukanmu.
Siapa yang datang ke kehidupanmu sehingga kau tiba-tiba pergi?

Kamis, 20 Oktober 2011

Door Jaa Bhi Ke Mujse, Tum Kabhi Yadoon Mein Rehna

Judul di atas saya ambil dari lirik lagu film Hindi. Artinya kira-kira begini;

Walaupun kamu jauh dariku, jangan pernah pergi dari ingatanku.

Ini lagi-lagi tentang cing. Sudah kira-kira tiga tahun, setiap saya berbicara cinta, maka itu pasti tentang cing. Khaidir Muhammad Nur, biasa disapa teman-temannya Aidil. Dipanggil Ade oleh anggota keluarganya. Dan entah sejak kapan, entah apa artinya, saya memanggil dia cing. Demikian pula dia memanggil saya.

Di kontak handphonenya, dia menyimpan nama saya dengan sebutang "Cingz". Sementara saya menyimpan namanya dengan "Dil". Mungkin dia tidak tahu. Dalam bahasa Hindi, Dil berarti hati. Yah, dia adalah hati saya. Sementara, saya mungkin sekedar "cing" dalam hidupnya. Cing yang tidak begitu spesial dan entah apa defenisi juga kedudukan di hatinya. Tapi yang terpenting adalah dia hati saya.



Cing adalah sesuatu yang tidak akan pernah pergi dari ingatan saya betapa jauhpun dia meninggalkan saya. Cing pernah pergi meninggalkan saya cukup jauh dan cukup lama. Tapi Dil selamanya adalah hati.


Selama berpacaran dengan cing, saya jarang bertemu dia. Ya, saya dan cing sama-sama sibuk. Tapi setiap kali bertemu, saya jatuh cinta pada dia jauh lebih dalam dari sebelumnya. Setiap bertemu dia, saya merasa seperti kembali ke 05 April 2009, pertama kali saya bertemu dengan cing di KFC Blok M Mall. Pertama kali saya melihat matanya dibalik kacamata, bau tissue basah yang tercium dari bajunya, rambutnya. Setiap cing menggenggam tangan saya, tangan saya selalu basah. Saya grogi. Walaupun sudah ribuan kali dia menggenggam tangan saya, saya selalu grogi. Rasanya seperti dia baru pertama menggenggam tangan saya.


Sejak saya kembali ke Kabanjahe, cing entah kenapa jadi begitu cuek. Ya, cing memang dasarnya punya sifat cuek pada apapun. Bahkan jika ada upil nyempil di hidungnya, dia cuek aja ngupil sambil makan. Hahahahaha. Aduh, saya tertawa sambil meneteskan airmata. Saya benar-benar merindukan dia.


Jika sudah rindu, saya memang lebay. Yah, mau bagaimana, saya memang orang yang kurang bisa menyampaikan perasaan kepada orang yang saya sayang. Saya lebih suka menuliskannya. Terlebih, saya selalu terdiam jika ada di dekat cing. Cing tidak suka jika saya mengeluh tentang sikap cueknya di notes atau status facebook. Sejak dua bulan lalu, saya menghentikan kebiasaan itu.Saya akan melakukan apa saja jika itu membuat cing senang. Saya paham, cing tidak nyaman dengan kebiasaan saya itu. Ya tapi tetap saja, saya cinta menulis. Jadi saya menulis di sini. Cing tidak akan sebel, dia tidak pernah baca blog ini. Dan mungkin tidak pernah peduli.


Cing selalu bilang, saya harusnya meninggalkan dia. Sebab sifat dia dan sifat saya hanya akan membuat saya jadi korban kegondokan. Cing selalu bilang, saya berhak mendapatkan yang lebih baik. "Ya aku begini ini, kalo cuman bisa bikin kamu bete, aku minta maaf, kamu bisa cari yang lain."

setiap dia berkata seperti itu, saya sangat ingin menamparnya. Tapi lagi-lagi yang bisa saya lakukan hanya diam. Ingin saya katakan semua, tapi saya tidak sanggup. Bagaimana bisa saya menjelaskan rasa ini kepada dia? Bahwa saya tidak pernah cinta pada siapapun sejak mengenal dia? Bagaimana tentang kebahagiaannya selalu jadi pertimbangan saya? Tentang saya yang bisa tersenyum sangat bahagia hanya karena sms-nya? Dan banyak keberanian yang saya ambil karena mengingat dia? Bagaimana bisa saya cari yang lain, sementara saya sudah bertahun-tahun mencari yang lain dan gagal? Mengapa cing begitu gampang menyuruh saya menyerah memperjuangkan dia?


Sudah tiga minggu komunikasi kamu tidak lancar. Bisa dihitung dengan jari sms yang dia balas, dan tak terhitung telepon yang tidak dia angkat. Di satu sisi saya sedih, di sisi lain, hati ini mengatakan cing baik-baik saja, dia hanya terlalu rindu pada saya dan ingin membiarkan saya having good time bersama keluarga saya.



Yadoon mein rehna
stay in my memories
tetaplah dalam ingatanku. cing

aku kangen kamu.

Selasa, 18 Oktober 2011

Tagline Baru dan Tulisan Lama Mengenai Kehilangan (Untuk Mate-ku, Neva)

"Come, come. Do come and read. I'll show You My Big Teeth."

itu tagline baru blog saya! Kenapa diganti? Hum, yang sebelumnya itu terlalu serius! Why so serious, kata Joker. What's the point of being serious, kata Sexy Sam di film Kabhi Alvida Naa Kehna. Nah, mengenai tagline baru ini, sebenernya cuman ajakan untuk baca blog saya. Dan anda gak akan menemukan banyak hal dalam blog ini. Ini cuma sekumpulan tulisan egois, yang berpusat di kepala dan hati saya. Sangat Centralismo. Apa hubungannya sama 'big teeth'? hahaha, ga ada! Gigi saya memang besar. Terlebih dua gigi seri depan saya. Sampe kata si Ucup gigi saya gedenya kaya jagung hidrida. haha sialan!


eniwei, seorang teman saya baru saja patah hati. Maaf, bukan teman, tapi mate. Ah, panjang kalo harus saya tuliskan betapa akrabnya saya. Untuk saat ini yang saya mampu tuliskan cuma... saya sayang dia. berikut positngan lama dari saya di blog yang lama. Juni 2009. Mungkin bisa sedikit meredakan Neva. Aamiin.

BIARKAN DIA PERGI


Tidak kehilangan udara tapi sangat sulit bernapas. tidak ada yang menusuk mata tapi mata ini begitu pedih dan menangis. menangis, menangis lagi dan terus menangis seperti banyi yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong dirinya. inilah yang terjadi saat "dia" pergi. kau pasti pernah merasakannya. iya, kan, kawan?

tapi bialah dia pergi. mungkin dia sedang kangen pada sepi. atau mungkin, sepi yang kangen pada kita. ini sungguh saat-saat yang menyiksa tapi biarlajh dia pergi. seperti segalanya yang juga akan pergi.

udara yang kita hirup sekarang, pasti kita hembuskan lagi. maka biarkan dia pergi seperti oksigen yang kita masukkan ke rongga hidung kita, menuju rongga dada, bersatu dengan aliran darah, membantu laju jantung, dan akhirnya menyambung nyawa kita. membuat kita hidup. tapi kita tidak bisa menahannya lama-lama dalam paru-paru kita. jika diatahan, kita yang akan sesak. maka biarkanlah dia pergi…

walaupun sangat pedih untuk membiarkan sesuatu yang menghidupi kita pergi, dia emang harus begitu. kita hanya perlu mengingat saat-saat dramatik waktu dia membantu kita untuk tetap hidup. berterimakasihlah pada Tuhan, yang sudah mengirim dia pada kita. itu saja, lalu biarkan dia pergi…

jika Tuhan mau, mungkin oksigen yang kita hembuskan kita bisa kembali pada kita. mungkin oksigen yang kita hela dalam bentuk karbiondioksida itu akan pergi menuju hijau daun-daun. dam jika daun itu berbaik hati… maka dia akan merubah karbondioksida itu menjadi oksigen yang siap kita hirup lagi. mengalir dalam darah kita lagi, menghidupi kita lagi… tapi kalau sudah waktunya dia pergi, biarkan dia pergi….
biarkan dia pergi seperti air yang jika tidak mengalir maka dia tidak memenuhi sifat sebagai air. bahkan jika kita mencoba membendungnya, dia akan tetap pergi dengan cara menguap ke langit. lalau harus apa?

maka biarkan dia pergi ke langit…. jika angin berbaik hati maka dia akan mengembalikan air itu pada kita dalam bentuk hujan. tapi jika sudah waktunya hujan itu pergi, relakan dia untuk pergi bersama datangnya kemarau.

biarkan dia pergi, ini adalah esensi dari ketidakabadian. dia pergi bukan karena tidak diperjuangkan, tapi karena dia memang harus pergi.


dan aku akan memohon pada angin,
untuk mengembalikan air ku
juga memohon pada daun,
untuk mengembalikan oksigenku
sekali lagi saja…
lalu pergilah, jika memang harus pergi!

Minggu, 16 Oktober 2011

Ketika Galau Menyerang

saya bukan anak abege
tapi boleh dong galau?
hahaha
saya sangat merindukan laki-laki yang saya panggil "cing" itu
merindukan caranya memijit pundak saya dengan kedua tangannya.
saat dipijit olehnya saya merasa saya ini kepala geng narkoba
dan dia anak buah saya
hahaha
saya juga sering diperbudaknya
saya disuruh mengolesi mukanya dengan krim punya saya
yak! punya saya!
terkadang iseng, jari saya dimasukkan ke hidungnya.
sialan.
itu masih beruntung.
kadang saya disuruh mijitin punggungnya
karena keenakan biasanya dia kentut.
najis, baunya melebihi truk tinja ayam.


saya rindu cara dia memanjakan saya
hoho, jarang-jarang sekali dia memanjakan saya
mungkin kalo sedang kesambet setan toilet aja.
selebihnya si cing ini suka marah-marah
kamu tuh bla.bla...bla...bla
cerewet!
tapi saya tau
dia sayang saya
dia mau saya jadi perempuan mandiri yang tidak cengeng
saya tau sebenarnya dia ingin sekali memanjakan saya seperti ratu, tapi dia tau itu tidak baik untuk mental saya. hehehehe ge-er saya!


pernah suatu kali pas nginep di basecamp-nya, si cing bangunin saya pagi-pagi sekali
jam 3 subuh kalo ga salah
cuman buat nyuapin mi instan yang dia masak sendiri.
simpel ya, tapi bagi saya ini jauh lebih romantis dari drama India.
saya aja sebagai cewenya yang penurut dan baik hari belum pernah masak buat dia.
hiks,


ah! makin galau!

Jumat, 14 Oktober 2011

Socrates, Plato, Aristoteles, Philosophy dan Sophis

Hem, rasanya saya akan menulis sesuatu yang tidak banyak saya ketahui. Saya bukan mahasiswa filosifi. Walaupun begitu, dulu saya pernah berpikir untuk kuliah filosofi. Ah, lupakan. Saya selalu ingin untuk kuliah ini-itu. Nonton drama Korea "Surgeon", pengen kuliah kedokteran. Ngobrol sama teman pacar, pengen kuliah kehutanan. Liat temen yang masih muda udah jadi sastrawan hebat (setidaknya di mata saya), pengen kuliah sastra. Dan satu yang paling kuat, sejak entah kapan, karena Riri Riza, karena Petualangan Sherina, karena GIE, saya ingin kuliah film. Sudah hampir lima tahun pontang-panting mewujudkannya. Ah, sudahlah. Lupakan.

Filosofi, artinya pecinta kebijaksanaan. Dengan ilmu ini, semoga manusia makin bijaksana, gitu kira-kira tujuannya. Orang yang ngerti filosofi, katanya, akan bijaksana. Terutama dalam belajar. Hidup ini adalah belajar, bukan? Dalam mengajar, orang yang bijaksana akan mengajak muridnya untuk berdiskusi. Tidak akan memberi pakem yang harus ditelan bulat-bulat. Hanya akan mengarahkan, kemudian membiarkan muridnya mengambil kesimpulan. Tidak ada kesimpulan yang salah, sebab semua orang punya cara pikir masing-masing. Apakah ciri-ciri ini anda temukan di dalam guru-guru yang anda temui sekarang-sekarang ini?


Saya tidak. Kurang lebih tiga tahun saya berkecimpung di dunia pendidikan sebagai pengajar, yang saya temui hanyalah Sophis.Orang yang merasa mengetahui banyak hal, merasa ilmunya telah cukup sehingga dengan sesumbar mengatai orang lain bodoh. Orang yang selalu bersikap agar terlihat pintar jauh lebih pintar dari dirinya sebenarnya. Orang yang memperlakukan ilmu sebagai barang dagangan. Kau punya uang, kau dapat ilmu. Tidak punya uang, lupakan!


Ah, saya ternyata sudah lulus dari sebuah akademi bahasa asing. Saya lulus dengan predikat A cum Laude pula. Alih-alih merasa bangga, saya justru malu. Tiap orang bertanya, kuliah dimana?, dengan enteng saya akan menjawab, "Akademi Bahasa Asing.". Saya berani taruhan, hampir seluruh angkatan yang akan diwisuda bersama saya tidak tau asal-usul kata "akademi". Saya baru tau malam ini bahwa akademi itu berasal dari namase orang pahlawan legendaris di Athena, Akademus. Plato, yang notabene murid langsung dari Socrates (yang mempunyai pengaruh sangat besar di dunia Filsafat), mendirikan sebuah sekolah di hutan bernama Akademus. Yang diajarkan adalah filsafat, matematika dan olahraga.


Yak, saya tau semua ini karena baru saja membaca "Dunia Sophie". Karya fenomenal yang tercetak 30 juta kopi lebih di seluruh dunia. Betapa terlambatnya saya untuk membaca buku bagus itu. Betapa terlambatnya saya mengetahui asal-usul kata "akademi" setelah tiga tahun belajar di dalam akademi. Memalukan, untuk sejenak. Namun kemudian saya berpikir, tidak ada kata terlambat untuk belajar, kan? Lagipula kata Socrates orang yang paling bijak adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.



Pada hari saat saya disidang untuk Tugas Akhir saya, kepala jurusan Akademi Bahasa Asing (kebetulan beliau menjadi dosen penguji saya) menawarkan langsung kepada saya untuk menjadi pengajar di almamater saya. Saat itu saya spontan menolak. Dari balik kacamatanya saat itu, saya tahu Ibu Kepala Jurusan terkaget. Mungkin itu kali pertama tawarannya ditolak orang, terlebih orang itu mahasiswanya. Mungkin dalam hatinya dia mengutuk saya, "Kamu akan menyesal!" Mungkin. Hanya dugaan saya saja.


Beberapa hari lalu saya membicarakan hal itu pada ibu saya. Beliau berkata dengan logat Medan-nya, "Kan jadi sebuah kebanggaan, ketika ada orang yang nanya sama mama, anakmu kerja apa? mama jawab, jadi dosen." 
Untuk sesaat saya tertampar. Apa hidup seorang anak hanya untuk membanggakan orang tuanya? Bagaimana dengan kebahagiaannya? Bagaimana dengan jalan hidup yang dia pilih dan dia senangi? Tapi kemudian saya tersadar. Ibu tidak benar-benar ingin mengucapkan hal itu. Dulu juga ibu pernah menginginkan aku kuliah di sebuah kampus, dan menangis ketika ku putuskan untuk merantau ke Jakarta. Pada kenyataannya ibu selalu membangga-banggakan aku di depan teman se-pengajiannya. Betapapun, ku rasa tak ada yang pantas dibanggakan dari aku. Semua ibu memang begitu.


dan aku tidak menyesali telah menolak tawaran ibu kepala jurusan. Sama sekali tidak. Aku sudah berjanji untuk tidak bekerja di dunia pendidikan formal lagi sejak 7 bulan lalu. Jujur saja aku trauma melihat mekanisme dunia pendidikan yang penuh intrik. Intriknya tak kalah busuk dari film-film politik. Semua ku lihat dengan mata kepalaku. Betapa sekarang pendidikan itu tak lebih dari tambang emas bagi para sophis.


Dan malam ini aku makin bersyukur akan keputusanku untuk menolak tawaran itu. Mari bertaruh, kebanyakan dosenku yang mengajar di akademi, tidak tahu asal-usul kata akademi! Itu bukan kesalahan mereka, sih. Dan tidak baik juga men-judge cuma gara-gara asal-usul satu kata, hehehehe. Tapi, malam ini aku merasa kepalaku kosong. Aku manusia yang belum punya cukup ilmu untuk mendapat gelar dosen. Ampun!

Aku ingat sekali, selama aku kuliah, beberapa kali aku mempermalukan dosen yang ketahuan tidak menguasai mata kuliah yang dia ajarkan. Aku bisa mengerjakan lebih baik dari itu, demikian kata ego sombongku. Berbahaya sekali, jika kita harus pura-pura cukup pintar untuk menjadi dosen. Cuma untuk apa? Memenuhi kebutuhan tenaga kerja kampusku yang terkenal karena punya banyak cabang bak franchise itu? Aku tidak mau jadi sophis.


Malam ini aku berjanji untuk belajar lebih banyak lagi. Aku tidak ingin jadi sophis.
aku tau aku bukan mahasiswa filsafat.
aku bahkan lulus dari kampus yang tidak bisa dibanggakan.
tapi aku bangga telah menolak tawaran yang bagi sebagian orang bagi menolak emas.
setidaknya hatiku secara refleks melindungiku untuk menjadi sophis.
sophis yang saat itu tidak ku kenali istilahnya namun ku kenali ciri-cirinya.
that must be something!
Socrates bahkan belajar di keramaian pasar, dari seorang budak.
Maka aku akan belajar lebih giat!

Kamis, 13 Oktober 2011




Aku mengingatmu. Semester pertama aku menginjakkan kaki di kampusku hingga kini menjelang wisuda, kau lah laki-laki yang kuimpikan. Tak lepas meski berkali aku melepas alas kaki.

Harusnya ku bicarakan banyak hal padamu, lelaki. Aku ingin kau dengar semua. Tentang aku yang selalu mengingatmu. Tapi kita selalu berbicara tanpa sedikitpun suara. Duduk berjam-jam memandangi kabut Mandalawangi, sesekali kau selipkan jari-jarimu diantara jariku, tak lama kau lepaskan. Sesekali kau menatapku, kemudian memandang kea rah lain. Sementara aku tak berani memandangmu. Matamu. Terlalu indah. Entah bagaimana caranya, semua kata tersampaikan. Diantara asap rokokmu, diantara nyanyian sumbangmu diantara suara beratmu aku menemukan kebahagiaanku yang selama ini terserak-serak dan hilang. Tak ada yang pantas disesali dari hidup.

Rabu, 12 Oktober 2011

Kabanjahe!

Nggak ada yang spesial dari kota kecil yang namanya sungguh nyempil di peta Sumatera Utara ini. Itu pemikiran yang ada di dalam otakku setidaknya sampai tiga tahun yang lalu. Tanah Karo, kira-kira 80 km dari pusat kota Medan. Di peta, akan tertulis ibu kota dari kabupaten itu "Kabanjahe". Di kota inilah aku menghabiskan hampir 17 tahun hidupku. Dilahirkan di tempat yang sama dengan Nagabonar, Pematang Siantar, satu bulan setelah tanggal 28 Juni 1990, orang tuaku membawa aku ke kota itu. Kabanjahe.


Kota kecil yang bersuhu rata-rata 18 derajat celcius, diapit dua gunung api; Sibayak dan Sinabung. Gak ada yang istimewa. Gak ada mall, gak ada hypermart apalagi 21. Yang ada cuman minimarket. Aku ingat sekali, dulu, jika berhasil mendapatkan ranking 1 di sekolah, aku akan diberi sejumlah uang untuk dihabiskan di minimarket tersebut. Hahaha, padahal hanya minimarket. Hanya makanan ringan yang harganya tak seberapa namun legendaris. Tau kan? Semacam Canasta, Yupi bentuk botol dan roda, Tini Wini Biti yang ada hadiah monopolinya, permen telur cicak, Anak Mas, Cheetos dan Paddle Pop rasa durian. Aku mati-matian belajar tiap catur wulan agar bisa mendapatkan jajanan itu. Ah, dulu ternyata kebahagiaan sangat murah ya?


Kabanjahe. Gak banyak tempat nongkrong. Paling banter muda-mudinya pacaran di foodcourt sepanjang pinggir jalan yang disebut "Pasar Kaget". Gak ada tempat khusus kaya angkringan di Jogja. Gak banyak mall kayak di Jakarta. Kalo mau agak jauh, ada daerah bernama Gundaling. Kalau di Bandung, tempat ini semacam Puncak. Konon katanya dulu ada seorang pemuda Belanda yang memberi salam perpisahan kepada kekasih pribumi-nya di tempat ini. "Good Bye My Darling..." disingkat jadi Gundaling. entah ini cuma ledek-ledekan atau beneran. Tapi menurut legenda setempat, yang pacaran di lokasi wisata ini bakalan putus. Yang berani nyoba ya monggo.

Kabanjahe. Cenderung membosankan. Udaranya dingin, bikin nafsu makan meningkat. Jarang sekali orang di sini langsing-langsing seperti di Jakarta. Orang-orangnya serba heboh. Suara tawa dan bercandaan terdengar berlebihan. Penjual baju bekas berserak tak beraturan. Penjual sayur dan sirih apalagi. 50% wanita di kota ini makan sirih. Bibir, lidah, gigi dan air liur mereka memerah permanen. Pemandangan yang gak enak!

itu, itu semua adalah pemikiran saya tiga tahun yang lalu. Tiga tahun dimana saya belum melangkahkan kaki dari Kabanjahe. Ketika keluar dari kota kecil itu saya bertolak ke Jakarta.


Jakarta punya banyak Mall, ratusan tempat nongkrong, bioskop-bioskop megah. Jangankan minimarket, megamarket, hypermarket pun banyak. enam bulan pertama tinggal di jakarta memang sangat mengesankan. Tak ada habis-habisnya tempat elit untuk dikunjungi.Begitu banyak madu untuk dicecap. Hingga dua tahun kemudian saya temui diri saya berjalan di mall, dengan uang yang cukup di kantong (cukup untuk makan di tempat yang lumayan mahal, cukup untuk nonton di 21, cukup untuk reload kartu Fun World, cukup untuk beli baju), berjalan begitu saja. Gak kenal satupun orang dan tidak dikenal oleh satu orangpun. Alih-alih merasa bahagia, saya justru merasa hampa.


Aku yakin, banyak sekali orang yang pernah merasakan saat seperti ini. Saat tiba-tiba anda merasa kesepian di tengah keramaian. Benar kata Anand Krishna, jika anda sering mengunjungi tempat ramai secara sederhana itu menjelaskan bahwa anda kesepian. Saya gak tau kenapa. Tapi saya tau saat itu saya demikian kesepian. Demikian hampa. Saya pun mulai sering uring-uringan, mudah mengumpat, mudah mengutuki apapun.


Hari ini, genap dua minggu saya kembali ke kota tercinta, Kabanjahe. Wait, tercinta? Iya! Saya mencintai kota kecil yang pernah saya kutuki sebagai kota membosankan ini. Ternyata, madu-madu yang begitu banyak saya cecap di Jakarta telah membuat lidah saya mati rasa. Saya sampai kepada sebuah kesimpulan: di Jakarta, saya begitu sibuk memanjakan diri saya dengan hal-hal yang sepertinya akan memberi saya kebahagiaan. Padahal justru bukan kebahagiaan yang datang, malah kehampaan.


Saya mulai bertanya, berapa kali saya bersama teman-teman nongkrong di mall, nonton, makan-makan, (untungnya saya sampai detik ini tidak suka shopping) bukan karena butuh, bukan karena ingin, tapi cuman mengisi waktu luang. Berapa kali saya memanjakan diri saya dengan hal-hal yang sama sekali tidak menghibur jiwa. Hanya untuk tidak terlihat kesepian dari luar.Tidak heran jika saya jadi pemarah, penggerutu dan melankolis. Jiwa saya memberontak karena kesepian.


Dua minggu di sini, saya yang penggerutu dan pemarah hilang mengasap entah kemana. Semuanya penuh dengan kesederhanaan dan kejujuran di sini.

Yah, memang tidak banyak tempat yang bisa dipakai untuk nongkrong. Tapi justru saya lebih sering nonkrong di rumah teman atau rumah saya sendiri. Sehingga saya akrab dengan keluarga teman saya dan begitu sebaliknya.


Yah, memang tidak ada spot yang asik untuk pacaran. Tapi bodo amat ya, pacar saya kan saya tinggalin di Jakarta. Lagian, kota dingin ini memang enak untuk jatuh cinta, tapi tidak se-bebas di Bandung untuk memadu cinta. Gak sok suci sih orang-orang di sini. Cuman mereka punya batas kewajaran dalam pacaran.

Yaah, memang yang ada cuma minimarket. malahan minimarket yang sama seperti tempat saya berbelanja sebagai juara kelas ketika SD dulu. Tapi itu semua mengembalikan sedikit demi sedikit ingatan tentang bagaimana menciptakan kebahagiaan dari sebungkus Cheetos (betapa kesalnya saya, Canasta danTini Wini Biti sudah tak dijual lagi).


Yah, memang suara tawa tanpa kontrol terdengar dimana-mana, terkesan tak sopan. Daripada di Jakarta?yang terdengar teriakan makian mulu! :P


Yaaah, memang penjual pakaian bekas dan sayur berserakan. Tapi cara mereka berjual-beli, menyiratkan interaksi sosial dan senyum bukan basa-basi. gak seperti muka kasir hypermart yang tiba-tiba asem jika melayani orang berpakaian lusuh.

Yaah, memang banyak sekali ibu-ibu berbibir dan bergigi merah karena sirih, tapi senantiasa tersenyum.


Hahahaha, lega rasanya. Sedikit demi sedikit saya menemukan lagi diri saya yang demikian bahagia.
Ternyata kuncinya adalah kesederhanaan. dalam berpikir, dalam bertindak.


Tidak ada yang salah dengan Jakarta.
Esok, jika saya kembali ke sana, saya akan membawa segala kesederhanaan dan kejujuran kota kecil ini dalam otak dan hati saya. Biarlah Jakarta panas, saya harus berusaha tetap adem.
Jika benar-benar gak bisa adem,
....
....
....
....
...
ya balik ke kabanjahe lagi.
hehehe