Jumat, 26 Desember 2014

Aku Membuat Sebuah Lingkaran

Aku membuat sebuah lingkaran. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Cukup untuk aku berdiri dengan setia di dalamnya. Aku akan mencintaimu dari dalam lingkaran itu.

Cinta paling sunyi adalah cinta yang hanya sanggup menjangkau kekasihnya lewat doa. Namun setelah aku tahu bahwa doaku tidak akan mengandung keajaiban apapun, aku berhenti berdoa. Langkah dan hidupmu telah baik-baik saja, kau tidak butuh doa yang lain. Jadi aku memutuskan masuk ke dalam cinta yang lebih sunyi lagi. Cinta dalam lingkaran.

Aku tidak akan meninggalkan lingkaranku. Tidak akan lagi. Di sinilah jarak paling aman untuk mencintaimu dengan baik. Aku pernah mencintaimu tanpa lingkaran, tanpa batasan. Itu membuat aku terjun ke dasar jurang dan merasakan sakit yang membuat seluruh pori-pori tubuhku ngilu.

Tidak banyak yang bisa kulakukan dalam lingkaran ini selain mencintaimu. Di sini, akan aku tunggu semua kenangan memudar. Akan aku tunggui rasa sakit hingga sembuh. Aku pernah mencoba melawan kenangan dan rasa sakit namun ternyata kalimat klise itu benar. Waktulah yang akan menyembuhkan semua luka dan kenangan. Jadi aku akan tunggu hingga semuanya selesai dan khatam di lingkaran ini.

Tidak akan ada yang kuizinkan masuk ke lingkaran ini. Ini hanya tempatku dan kenangan-kenanganku, tidak ada yang boleh mengusiknya. Tidak juga kamu. Karena kamu harus melanjutkan hidupmu. Aku menghentikan semua ini agar kamu bisa melanjutkan hidupmu dengan tenang. Aku mengurung diriku di dalam lingkaran ini karena memang di sinilah seharusnya cinta itu berada. Di luar lingkaran ini, cinta itu akan dianggap liar, amoral, kejam, hina, tidak wajar, khianat dan seterusnya.

Kamu jangan khawatir. Aku akan keluar dari lingkaran ini jika sudah tiba waktunya.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Mengingat

Hidup akan jauh lebih ringan jika kita bisa memilih apa yang ingin kita ingat dan apa yang ingin kita lupakan. Iya, nggak? Sayangnya, kita tidak bisa memilih. Apa yang bersarang di kepala kita, ya bersarang begitu saja. Hal terbaik yang bisa kita lakukan hanyalah memasukkan memori-memori baru ke kepala. Tapi, tetap saja, memori yang memutuskan, dia akan tetap bersarang di kepala kita atau tidak.


Saya adalah pengingat yang baik, sebagaimana saya adalah pelupa yang baik. Saya sering mengejutkan teman saya karena saya mengingat detail kecil di masa lalu. Mereka sering bilang, "kok bisa ingat, sih?"

Entah, saya tidak tahu. Ingatan itu memilih bersarang. Padahal, setelah dipikir-pikir ingatan itu tidak terlalu penting dan tidak ada kaitannya dengan saya. Tidak ada kaitannya pula dengan rasa sedih atau bahagia. Saya mengingat kalau di tahun 2003, seorang teman masih berkaca mata dengan frame bundar warna biru laut. Itu kaca mata pertamanya. Dia sendiri sudah lupa.

Saya juga pernah melupakan janji penting dengan seorang teman. Saya membuat dia menunggu berjam-jam sementara saya tertidur pulas. Sungguh kurang ajar.


Ya, begitulah.

Minggu, 14 September 2014

Sebuah Jendela yang Cukup Besar untuk Membuang Semua

Tadi malam, dalam kepala saya, saya sedang mencari sebuah jendela. Sebuah jendela yang cukup besar untuk membuang banyak benda.


Saya ingin membuang laptop, mengosongkan rak dan membuang buku-buku di dalamnya (terutama buku Murakami. Ya, terkutuklah kau, Murakami!). Membuang tiket perjalanan yang selalu saya kumpulkan (tiket pesawat, tiket kereta api, tiket bus, kartu transjakarta, tiket masuk taman hiburan). Membuang tumpukan naskah yang ditolak penerbit, sekaligus membuang surat penolakannya. Mencabuti nota-nota kecil yang tertempel di dinding kamar, berisi coretan motivasi, halaman yang belum saya kerjakan, plot-plot kecil, quote dan tugas-tugas.


Membuang surat-surat yang saya simpan. Membuang sisa-sisa bungkus obat yang pernah saya minum (saya melakukannya untuk mengingatkan diri sendiri atas apa yang pernah saya lakukan pada tubuh saya).

Saya ingin membuang semuanya. Saya ingin tahu siapa saya tanpa mereka semua.


Dalam kepala saya, saya bertanya; kalau semua ini saya buang, apakah hidup saya akan jadi lebih ringan atau saya akan jadi sebuah ruang hampa berbentuk Halimah di semesta?


A Halimah-shaped hole in the universe.

Semesta ini sudah berlubang. Atau sejatinya, semesta memanglah sebuah lubang besar?

Sabtu, 16 Agustus 2014

P U I S I Y A N G I N D A H

malam ini aku keluar untuk beli makan malam
sepanjang jalan kutemui bapak-bapak maen gaplek dan maen catur
sambil ketawa-tawa dan makan kacang
padahal ini udeh jam berapa coba
harusnya pada tidur
biar besok kuat pas lomba balap karung



aku berjalan keluar mulut gang
segerombolan remaja nanggung lagi gitaran sambil nyanyi lagu Slank
buset, suaranya jelek amat
saat melewati mereka saya ucapkan salam permisi
agar saya terlihat sopan dan ditakuti warga sekitar



kemudian saya ke sebuah abang-abang yang menjajakan kebab
saya bilang, "Bang, beli kebab satu, nggak pake daging."
si Abang penjual kebab menunjukkan wajah takjub dan berkata
"Gimana, Teh? Nggak pake daging?"
"Iya, nggak pake daging. Isi sayurannya aja."
"Kenapa gitu?"
"Gak papa, bang. Bikin aja, ya. Saya tinggal sebentar."



Kemudian saya menuju sebuah minimarket yang tidak jauh dari situ
sejumlah emak-emak tengah ngobrol sementara anaknya dengan anteng naik odong-odong
odong-odong tersebut dioperasikan dengan koin. jadi kalo lagunya abis, masukin koin, maka snoppy-snoppy itu bakal bergoyang-goyang lagi dan anak-anak bakal senang lagi
ini emak-emak macem apa
kan udeh malem, anak-anak harusnya tidur
sunggu society yang gagal


saya membeli dua botol you C 10000 rasa apel
untuk meredakan sariawan
ya, sariawan
sari. awan.
orang indonesia sungguh pintar dalam menamakan penyakit yang menyerang bibir ini.
sari
awan
kalo diperhatikan sariawan bentuknya ada yang kayak awan



ketika hendak membayar belanjaan saya yang tidak seberapa itu,
di kasir
terjadilah sebuah fenomena
Mbak-mbak cantik sedang berdebat panjang sama mas kasir yang kayaknya masih training
Nama mas kasir Muhammad Fakih
nama Mbak Cantik saya nggak tahu
mereka ngotot-ngototan lamaaaaa sekali
sehingga saya berpikir,
"apa gue bikin api unggun aja dulu sambil nunggu mereka selesai?"


setelah menunggu lama, saya baru ngeh bahwa yang mereka ributkan adalah
adalah
 selembat tisu basah
iye, tisu basah
can you believe that?
tisu basah itu, menurut si mbak cantik adalah haknya dia sebagai orang yang punya kartu member
si mas kasir, nggak tahu peraturan bahwa plastik-plastik kecil berisi selembar tisu basah itu adalah bonus buat pemilik kartu member
 yasudah, berantemlah itu mereka berdua



kalo saya jadi si mbak cantik, saya nggak akan buang waktu saya untuk meributkan tisu basah
kalo saya jadi mas kasir, saya bakal selepetin itu tisu gratisan ke muka mbaknya
cantik-cantik kok ribet amat


culture shock! culture shock!
mungkin itulah yang sedang saya alami
seminggu lalu saya berada di kampung, dimana anak-anak selaw aje gitu saban hari garuk-garuk koreng
di sini saya nemu orang dewasa yang anak kecil yang sama rewelnya
saya juga rewel, tapi nggak di dunia nyata
di dunia nyata mah saya diem aje gitu kayak orang cool
nah, di blog baru deh saya ngedumel
terserah saya dong!
bukan kalean yang bayar koneksyen internet saya!


 setelah saya bayar, saya keluar minimarket. anak-anak yang tadi masih maen odong-odong.
saya membayar kebab dan pulang
 sampe di rumah, Bulik teriak dari lantai dua,
"Mpok Limeh, ya?"
"Iya, Bulik," jawab saya.
"Tolong kunciin pintu, dong."
saya kunci pintunya
KLIK


udah
tamat
bubar
bubaaarrrr!

Selasa, 05 Agustus 2014

OBITUARI: Ijal Postrock Sang Legenda

Hae, Jal. Gue nulis ini sambil dengerin lagu lu yang sempet bikin twitter heboh, "Yanti Sang Cahaya". Kebetulan Yanti adalah nama kakak gue, Jal. Gue cemburu lu udah bikin lagu buat kakak gue. Padahal gue, nge-vans berat sama lu. Ya gue tau itu bukan urusan lu, tapi ya terserah gue. Ini blog gue dan bukan lo yang membiayain koneksyen internet gue!

Ini pertama kalinya gue nulis obituari. Gue masih nggak percaya gue nulis ini untuk seseorang yang bahkan gue nggak tau wajahnya gimana. Lucu, ya, dunia ini. Lu gak kenal gue, gue gak kenal lu. Tapi gue bisa sedih banget gitu cuman gara-gara lu mati. Ya ampun, Jal :(


Kabar kematian lu gue terima pas gue lagi dalam perjalanan menuju kampung kelahiran Nyokap gue. Saat itu gue memantau lini masa twitter dengan koneksyen internet yang kacrut banget. Kemudian gue lihat akun lu @ijalpostrock nge-tweet dengan tata bahasa dan tulisan rapi. Kayak selebtwat gitu, Jal. Gue kira lu lagi nge-troll apa gimana gitu. Dalam tweets itu, akun lo bilang kalo yang nge-tweet adalah nyokap lo. Doi bilang kalo lo mokat karena balap-balapan gitu. Nyokap lo juga bilang kalo ada yang merasa diutangin ma Rijal suruh dateng ke Karawang gitu. Tapi alamat lengkap lo kaga ditulis, gimana sih nyokap lu, Jal?


Baca semua tweets itu, gue berharap itu semua troll. Gue berharap yang muncul selanjutnya di linimasa gue adalah twitpic gambar dengan font comic sans warna pink terang bertuliskan "KE7IPU NIH Y3333" gitu, Jal. Tapi enggak. rangkaian tweets itu berakhir dengan pesan nyokap lu yang nyuruh kita-kita maen ke Krawang, biar arwah lu seneng. Lah, emang nyokap lu mau membiayai ongkos kita-kita, Jal?


Tapi ternyata lu beneran mokat, Jal. Twitter rame dengan hashtag #postrockBerduka dan #RIPIjalPostrock. Gue nangis waktu itu.

Nangis.

Dunia ini kehilangan salah satu orang yang membawa ironi dan sarkasme ke level yang baru. Dunia ini kehilangan salah satu HumourSyegar di antara begitu banyak kicauan selebtwat yang membosankan dan sok tau. Dunia ini kehilangan twitpic yang dihiasi font comic sans dengan warna-warni yang memukau. Dunia kehilangan twit-twit lu yang MenolaqTunduk terhadap Sishtem. Duh, Ijal, rasanya pengen nangis lagi gue.


Tapi gue yakin lu udah nyampe di Icelan dengan bahagia, Jal. Gue yakin di sana, lu udah nggak galau lagi. Biar sobat Heima aja yang nggalauin elu. Lu udah bahagia di sana, tanpa ada keribetan hidup yang mengamuq bagai slang aer atau pandangan yang mengamuq sebagai simbol ketidaktahuan. Damailah di sana, Ijal Sang Legenda.


Apa gue bilang, Jal. Jangan ikutan balap, pa lagi balap Vixion. Mokat kan lu..... :( sekarang gue cuma bisa menikmati vidyo yang sutradaranya oleh Mardy ini buat ngobatin kangen. Iya, gue tau lo gak kangen gue. Cuma terserah gue dong. Lu jangan coba mengatur gue. Bukan lu yang membiayai pendidikan gue!




Sabtu, 12 Juli 2014

Hidup Sehat di Belantara Jakarta

Dalam waktu nyaris sebulan saja, dua rekan kerja saya mengalami sakit parah. Kawan yang pertama, seorang laki-laki berusia 30-an, divonis menderita tumor paru-paru dan pengentalan darah. Berat badannya turun drastis dari 60 kg menjadi 41 kg. Wajahnya cekung dan tiap beberapa menit sekali dia terbatuk dahsyat sampai badannya terbungkuk-bungkuk. Saat ini, kawan saya itu sedang menjalani pengobatan di salah satu rumah sakit swasta di bilangan Mampang, Jakarta Selatan.


Kawan saya yang kedua, seorang petugas administrasi, perempuan berusia 23 tahun divonis gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seminggu sekali. Selain badan semakin mengurus, dia kini tidak bisa lagi bekerja seperti biasanya. Kelelahan sedikit saja, bisa membuatnya tidak sadarkan diri.


Ketika saya dan rekan-rekan kerja berencana menjenguk mereka, satu teman menyatakan dirinya tidak bisa ikut karena sinusitis yang diidapnya sedang kambuh. Satu teman lagi, tidak bisa ikut karena harus menjaga ibunya yang sedang dalam masa pemulihan pasca operasi pengangkatan rahim.


Ada dua kemungkinan. Pertama, saya memang berada di lingkungan orang-orang "penyakitan". Kedua, masa sekarang ini, penyakit memang sedang menyerang dimana-mana. Sekarang, coba anda hitung berapa jumlah kerabat anda yang sakit. Kalau tidak sebanyak jumlah kerabat saya, anda patut bersyukur. Kalau sebanyak atau malah lebih banyak dari jumah kerabat saya, kita patut waspada bahwa penyakit memang sedang mengintai kita.


Sakitnya Hidup Sehat

Saya rasa, kunci hidup sehat cuma tiga; makan makanan sehat, istirahat yang berkualitas dan olahraga teratur. Setiap anda berobat, tiga hal itu biasanya akan disampaikan dokter setelah menyampaikan obat-obatan yang harus anda minum.

Hidup saya sendiri, belum bisa disebut sehat. Saya sulit mendapatkan kualitas istirahat yang baik, karena saya senang bergadang. Tidak jarang, sesudah bergadang hampir semalam suntuk, saya melanjutkan bekerja di pagi harinya. Saya hanya tidur 3 atau 4 jam sehari. Hal itu tentu saja tidak sehat. Saya berupaya keras agar jam tidur saya meningkat. Namun, sebagai seorang yang sok "nyeni", kondisi otak saya memang sedang asik-asiknya diajak berpikir di jam-jam tengah malam hingga menjelang subuh. Saya sadar saya harus menghentikan kemalasan saya dan berhenti beralasan. Saya harus segera memperbaiki jam tidur saya.

Soal olahraga teratur, saya rasa kebanyakan dari kita punya persepsi yang salah soal olahraga. Termasuk saya sendiri. Kita seringkali mengira, ketika kita banyak bergerak dan banyak berkeringat, itu sudah dinamakan olahraga. Padahal, dalam gerakan kita itu, bisa saja kita melakukan hal yang justru merusak otot kita alih-alih melatihnya. Keseharian saya sebagai guru TK membuat saya banyak bergerak dan berkeringat. Mengejar anak-anak yang berhamburan ke segala arah, menggendong mereka, melompat dan menangkap mereka agar tidak jatuh adalah serangkaian gerakan akrobat harian yang harus saya lakukan. Namun tentu saja tidak semua bisa dihitung olahraga. Saya akan segera menyisakan dua hari dari satu pekan saya untuk olahraga yang benar.

Hal yang saat ini sudah saya lakukan untuk hidup sehat adalah menjaga pola makan. Saya rasa, hal inilah yang paling vital dari ketiga kunci itu, sekaligus hal yang paling gampang dilakukan.

Saya sudah meninggalkan kopi, minuman kecintaan saya. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali saya minum kopi. Setiap kali ada di coffe shop saya paling nekat hanya memesan green tea latte. Tidak lebih dari itu. Sebenarnya kopi bisa jadi minuman yang menyehatkan, hanya saja lambung saya sudah melewati serangkaian infeksi, sehingga saya memang disarankan untuk menjauh dari kopi.


Saya memakan sedikitnya dua jenis sayuran dan satu jenis buah setiap harinya. Khusus untuk wortel, saya selalu memakannya dalam keadaan mentah demi nutrisi yang utuh. Untuk buah, saya menghindari buah dalam bentuk jus. Sebab, buah-buahan akan memberi manfaat maksimalnya pada tubuh kita jika dicampur dengan enzim yang terdapat di air liur kita. Selain itu, dengan mengunyah buah utuh, gigi dan gusi kita akan turut merasakan manfaat buah. Hal itu tidak bisa anda dapatkan jika anda meminum jus. Apalagi, jika jus yang anda minum dicampur dengan banyak sekali es batu, gula atau susu.


Saya sedang mencoba untuk menjadi vegetarian. Dalam seminggu, saya menjatah diri saya untuk makan daging hanya dua kali. Selebihnya, saya makan dengan lauk tahu, tempe dan telur. Saya menjaga agar penyakit hipertensi yang dimiliki kedua orang tua saya tidak "turun" ke saya. Di antaranya dengan mengurangi konsumsi daging.


Makanan yang saya makan dimasak dengan cara direbus dan tanpa garam. Saya juga membiasakan diri untuk minum teh hijau tanpa gula setiap hari.


Apakah dengan gaya hidup seperti itu ada yang mencibir saya? Banyak. Ada yang bilang saya sok higienis, sok bergaya hidup sehat dan sok-sok lainnya. Tapi saya mengingatkan diri saya, ketika saya sakit diri sayalah yang paling menderita, bukan orang lain yang menghakimi saya dengan "sok-sok" tersebut. Jadi, lebih baik saya dianggap "sok" daripada menyakiti diri sendiri. Orang akan selalu menilai, akan selalu menghakimi, tapi ini hidup saya. Saya pemegang kendali atas apapun yang ada di dalamnya.


UMR Jakarta, Standar Hidup dan Standar Kesehatan

Kita tidak bisa bohong. Sebesar apapun kota Jakarta, kebanyakan orang di dalamnya hidup dengan standar yang amat menyedihkan. Saya membuat sebuah ilustrasi untuk perbandingan.


Di Belantara Jakarta, hiduplah seorang perempuan perantau bernama Mbak Van. Mbak Van bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji standar UMR Jakarta sejumlah 2.400.000,- tanpa tunjuangan tambahan. Asuransi kesehatannya tidak dijamin perusahaan, karena perusahaan tempat Mbak Van bekerja adalah satu dari sekian perusahaan yang tidak mau bertanggung jawab atas kesehatan pekerjanya. Jadi, kalo sakit, Mbak Van akan berobat sendiri dengan biaya sendiri.

Dengan gaji itu Mbak Van harus menutupi beberapa kebutuhan bulanan. Mbak Van harus membayar sewa kost seharga Rp.500.000,-. Untuk keperluan kebersihan (mandi, cuci, dsb), Mbak Van mengeluarkan Rp.200.000,-. Untuk kebutuhan pulsa, karena masih berstatus jomblo, Mbak Van hanya menghabiskan Rp.100.000,- untuk pulsa telepon. Hubungan teleponnya hanya terbatas untuk orang tua dan teman-teman saja. Kalau sudah punya pacar, mungkin biaya ini akan naik hingga dua kali lipat. Agar tidak terbelakang dalam informasi, Mbak Van menghabiskan Rp. 100.000,- untuk biaya kuota internet. Untuk biaya tidak terduga, Mbak Van mengalokasikan Rp. 100.000,-.


Total keseluruhan biaya bulanan itu adalah Rp. 1.000.000,-. Sekarang, kita masuk ke pengeluaran yang paling besar yaitu biaya makan. Mbak Van biasanya makan di warteg dengan biaya rata-rata Rp.10.000,- untuk sekali makan. Dalam sehari, Mbak Van akan menghabiskan Rp.30.000,- untuk makan. Dikali 30 hari, jumlah yang harus dikeluarkan adalah Rp. 900.000,-


Sisa dari gaji Mbak Vantad setelah semua pengeluaran adalah Rp.500.000,-. Ini dialokasikan Mbak Van untuk menabung untuk masa depan. Ya, kali aja ntar ada yang ajak nikah, gitu. Tapi tabungan itu tidak aman. Mbak Van kan juga pingin sekali-sekali nonton di 21 atau makan di mall sama teman-teman. Selain itu, Mbak Van juga hobi baca buku. Sehingga, sering kali sisa gajinya hanya seratus atau dua ratus ribu rupiah saja. Sedih, yes?

Masalahnya, menu makan seperti apa yang dimakan Mbak Van dengan alokasi dana seperti itu? Dengan harga seperti itu, Mbak Van makan di warteg kecil pinggir jalan. Warteg kecil? Emang ada warteg besar? Ada, dong. Warteg besar itu terdapat di kawasan perkantoran, warteg dengan konsep modern dan higienitas yang terjaga. Sementara warteg tempat Mbak Van makan adalah warteg dengan fasilitas air seadanya. Warteg yang etalasenya sering dirubung lalat, airnya tidak dimasak hingga matang dan sayurannya tidak segar. Hanya warteg-warteg macam inilah yang bisa mengakomodir kebutuhan makan Mbak Van dengan kemampuannya.


Di sinilah letak penurunan kualitas hidup yang saya bicarakan tadi. Kebanyakan pekerja di Jakarta terpaksa makan makanan "pinggir jalan" ini, mengabaikan kebersihan dan kesehatan agar harganya pas di kantong. Tidak terbayang berapa banyak makanan tidak sehat yang harus kita cerna. Dan kalau kita sakit karena makanan itu, kita harus bayar biaya berobat sendiri. Sekarang, mana tuh, manusia yang teriak-teriak kalau buruh udah keenakan punya gaji besar? Mana tuh yang teriak-teriak kalau buruh kebanyakan nuntut?


Saya pribadi, alhamdulillah, sudah membiasakan diri untuk terlepas dari makanan warteg, warung tenda dan abang-abang gerobak. Sekali lagi, dengan keputusan saya ini saya sering dibilang "sok". Tapi sekali lagi, ini hidup dan tubuh saya. Saya adalah manusia yang paling bertanggung jawab atas diri saya sendiri.

Tapi, seberapa banyak dari pekerja-pekerja kecil di Jakarta yang bisa terlepas dari makanan itu? Efek jangka pendek dari makanan itu mungkin tidak lagi terasa karena sistem pencernaan kita sudah beradaptasi dengan makanan-makanan kotor. Tapi bagaimana dengan efek jangka panjang? Cukupkah tabungan anda untuk menanggungnya kelak? Betapa menyedihkannya, ketika muda orang-orang bekerja keras tanpa peduli kesehatan dan ketika tua didera penyakit. Mending kalo punya tabungan.


Memulai


Memulai bukan sesuatu yang gampang, tapi harus dilakukan. Anda tentu tidak mau masa muda anda, anda gunakan untuk menabung penyakit karena makanan dan gaya hidup. Saya sudah hampir tiga bulan menjalani program hidup sehat versi saya. Saya tahu masih banyak kekurangannya, namun saya terus berusaha memperbaiki.


Jalan ini tidak mulus. Saya langsung kena diare karena suatu kali "terpaksa" makan sepiring batagor di pinggir jalan. Saya juga mual berhari-hari karena nasi goreng kambing di pinggir jalan yang penuh dengan minyak. Ternyata sistem pencernaan saya tidak lagi menerima makanan yang kurang higienis. Jadi, untuk ke depannya, pasti saya akan sering sakit karena "salah makan". Apa boleh buat, makan seperti itu sangat sulit dihindari di Jakarta. Belum lagi, orang-orang yang selalu melabeli saya dengan kata "sok".


Tapi saya mau sehat. Bagaimana dengan kamu?


Jumat, 11 Juli 2014

Sebuah R E N V N G A N yang Hhe...

Kapan terakhir kali aku melakukan hal besar?

Kapan terakhir kali aku melakukan hal beresiko besar dengan berani?


Sungguh pertanyaan ini membuat diriku...

Hhe...



Selasa, 08 Juli 2014

Membaca Wanita India: Mendengar Sitar, Shehnai dan Ragha

Hampir dua bulan ini saya menghabiskan waktu untuk membaca karya-karya penulis India yang kebetulan semuanya perempuan. Awalnya saya membaca "Unaccustomed Earth" karya Jhumpa Lahiri. Selesai itu, saya membaca "The Mistress of Spices" karya Chitra Banerjee Divakaruni. Kemudian saya lanjut baca pemenang Pulitzer Prize "Interpreter of Maladies" karya Jhumpa Lahiri. Lanjut lagi, saya kembali ke karya Divakaruni yang berjudul "The Unknown Error of Our Lives". Terakhir, saya membaca pemenang The Booker Prize, "The God of the Small Things" karya Arundhati Roy.




Saya memang punya obsesi tersendiri tentang kebudayaan India. Saya penikmat garis keras film-film Bollywood, seberapa tidak masuk akalpun mereka. Dan pilihan saya untuk membaca buku-buku ini, selain karena beberapa dari mereka memenangkan penghargaan, adalah karena saya menyukai budaya India. Tidak semua buku berlatar budaya India yang saya beli itu bagus. Saya pernah kena 'apes', membeli buku berjudul "The Red Carpet, Banglore Stories" karya Lavanya Shankaran. Saya hanya sanggup menyelesaikan setengah karena ceritanya jelek.


Awalnya, saya ingin membandingkan cara menulis Jhumpa Lahiri dan Divakaruni. Di antara dua penulis Bengali itu, saya lebih suka cara menulis Lahiri. Kalau diibaratkan hentakan musik klasik India, tulisan Lahiri terdengar seperti hentakan sitar Ashad Khan dalam Mausam and Escape; lincah, bertempo cepat, menukik dan membuat orang bersemangat. Sementara karya Divakaruni lebih seperti bunyi shehnai dalam resital pemujaan dewa. Ada kalanya tulisannya sejuk dan membuat melayang, namun temponya terlalu lambat hingga mengundang kantuk.


Awalnya, saya ingin membandingkan secara detil tentang tulisan kedua wanita itu, namun niat itu urung setelah membaca Arudhati Roy.


Kelaaarrrrrrrrr!


Saya kira Lahiri adalah penulis wanita India terkeren, namun Arundhati ternyata bikin saya merinding di halaman pertamanya. Kelarlah sudah kecintaan saya sama Lahiri. Arundhati, jika kita kembalikan ke analogi musik klasik India, adalah bunyi sitar, shehnai, tabla dan rapalan ragha dalam sebuah pooja yang indah. Dia padat, harmonis, ramai sekaligus sepi.


Saya rasa, tidak ada gunanya membahas jauh-jauh soal kelima buku ini. Saya bukan ahli. Ilmu saya masih belum cukup untuk menilik karya-karya besar ini. Pendapat saya soal kelima buku ini sudah saya sampaikan dan menurut saya itu cukup. Selebihnya, saya hanya akan membagi kutipan favorit saya dalam buku-buku tersebut. Siapa tahu, anda jadi tertarik membacanya.








"I don't think even my birth made her as happy. I was evidence of her marriage to my father,  an assumed consequences of the life she had been raised to lead. But Pranab Kaku was different. He was the one totally unanticipated pleasure in her life."  ("Hell-Heaven" dalam Unaccustomed Earth karya Jhumpa Lahiri)







"Miranda menangis semakin keras, tidak bisa berhenti. Tetapi Rohin tetap tidur. Miranda menduga kini anak itu sudah terbiasa mendengar suara wanita menangis."  ("Seksi" dalam Interpreter of Maladies karya Jhumpa Lahiri)


" 'Istriku memberiku rompi sweter untuk ulang tahun pernikahan kami,' keluhnya pada bartender, kepalanya pusing karena cognac. 'Apa yang kauharapkan?' jawab si bartender. 'Kau 'kan sudah menikah'." ("Masalah Sementara dalam Interpreter of Maladies karya Jhumpa Lahiri)






"Cinta seorang pria baik dapat menyelamatkan hidupmu." ("Cinta Seorang Pria Baik" dalam The Unkown Errors of Our Lives karya Divakaruni)







"Peluklah dia. Panggillah dia dengan nama ajaib masa kanak-kanakmu, Mommy, yang dulu membuat semuanya jadi beres. Tak perlu banyak kata-kata, permintaan maaf atau penyalahan. Biarkan kulit bicara dengan kulit saat kau menekankan wajahmu ke lehernya, wangi yang sudah kaukenal selama ini." (The Mistress of Spices" karya Divakaruni)







"If you're happy in a dream, Ammu, does it count?" Estha asked.
"Does what count?"
"The happiness. Does it count?"  ("The God of Small Things" karya Arundhati Roy) 




Sekian catatan mengenai penulis India yang kebetulan wanita semua ini. Hehe. Kalau ada saran tentang karya penulis India lain yang harus saya baca, saya tunggu saran kamu dengan senang hati.



 Cheers! :)

Minggu, 06 Juli 2014

Jokowi, Cerita Sinetron dan Mas Keriting Berbaju Lurik yang Ganteng

Kemarin, 5 Juli 2014, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menghadiri sebuah kampanye. I can't believe it. Manusia paling malas keluar rumah (bahkan malas keluar kamar) seperti saya, menghadiri sebuah kampanye besar. Padahal saya adalah tipe orang yang tidak kuat dengan keramaian. Bahkan berjalan di mall ramaipun membuat kepala saya pusing.


Tapi, di sanalah saya kemarin. Gelora Bung Karno yang disesaki oleh ribuan manusia. Baru kali ini saya antusias untuk bertemu dengan tokoh politik. Saya mengabaikan rasa tidak suka saya pada keramaian, juga rasa sebal saya pada jalanan Jakarta di Malam Minggu.


Saya berangkat bersama seorang teman dengan angkutan umum yang penuh dengan orang-orang yang juga sedang menuju Gelora Bung Karno. Kami tidak saling mengenal. Kami bayar ongkos masing-masing. Baju kami tidak seragam. Sepanjang perjalanan di dalam angkutan itu, seorang Ibu berkali-kali bertanya pada kondektur, "Pak, Senayan sudah terlewat, ya?" Si ibu kelihatannya jarang pergi jauh, kelihatan dari gerak-geriknya yang celingak-celinguk dan tidak tahu daerah sekitar Senayan.


Ketika kami turun dari angkutan dan akan menyeberang ke GBK, si ibu tadi ikut turun dan bertanya, "Mbak, ini GBK Senayan, kan, ya? Ada Jokowi 'kan di sini, ya?" Saya, teman saya, seorang Mbak bertas ransel, sepasang kekasih berbaju kotak-kotak, seorang bapak tinggi-tegap berbaju "2", hampir bersamaan menjawab, "iya, bener, Bu." Lalu kami menyeberang bersama.


Ini seperti cerita di sinetron, bukan? Seorang Ibu hampir setengah baya, sendirian naik angkutan umum, ke daerah yang asing baginya untuk bertemu seorang calon pemimpin. Sounds like drama. But it was happenning. I was there.


Di twitter, lebih banyak lagi "sinetron" yang "ditayangkan". Soal relawan-relawan yang memunguti sampah setelah selesai konser, soal seorang kakek dari Sunter yang datang sendiri dengan bekal sebotol aqua dan koran alas duduk, soal nenek berambut pirang yang bajunya penuh stiker Jokowi. Tapi itu semua benar-benar terjadi. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Kapan terakhir kali kita tergerak untuk se-bersatu ini dalam keragaman? Kapan terakhir kali kita benar-benar menikmati pilpres sebagai ajang pesta, yang benar-benar pesta! Di mana kita menari dan bernyanyi bersama walau tidak saling kenal? Lucunya, semua ini karena kita melihat harapan di sosok berbadan kerempeng itu: JOKOWI.


Saya melihat harapan di sosok bersahaja yang kemarin bersepatu sneakers itu. Saya melihat harapan ketika dia berkata, "adik-adikku sekalian, izinkan kakakmu ini ikut menentukan arah..." Saya melihat ketulusan di cengirannya yang lugu itu. Saya baru kali ini merasa ingin sekali memeluk seorang tokoh politik.


Saya kurang peduli siapa artis yang manggung kemarin. Pilihan saya bukan karena mereka beramai-ramai mendukung Jokowi. Yang jadi perhatian saya hanyalah Jay Subiakto yang naik ke atas giant screen untuk megambil gambar dahsyat ini.




ini orang gila yang mengambil gambar itu




------


terakhir, saya mau curhat soal mas ganteng berbaju lurik, berambut keriting dan brewokan. Mas, betapa saya tahu kamu itu orang penyendiri. Kamu datang sendirian, nggak bawa bendera Slank, nggak pake kaos Jokowi. Kamu berdiri kaku di antara keramaian. Kamu tidak berteriak apa-apa di tengah ingar-bingar. Kamu hanya mengepalkan tangan kiri dan merentangkan dua jari tangan kanan. Kamu melirik-lirik cemas ke sekitar, seolah tidak ingin berada di situ namun sekaligus ingin tetap menyukseskan konser. Kamu kantongi sebotol aqua yang masih bersegel untuk buka puasa. Ketika /rif naik panggung, kamu mulai jingkrak-jingkrak dan terlepas dari kerikuhanmu.


Karena terdorong keramaian, saya akhirnya maju lebih dekat ke arah panggung. Padahal sebelumnya kita berdiri bersebelahan. Ketika saya melihat ke belakang untuk mencari-cari kamu, kamu juga sedang melihat ke arah saya. Kamu tersenyum sambil mengacungkan dua jari. Kamu tersenyum ke arah saya. Saya balas senyum itu. Lalu saya kehilangna jejak kamu.


Hei, Mas,

Meniqa, yuk?

Sabtu, 14 Juni 2014

Sampai Jumpa, Kawan Kawan Kecil!

Suatu saat nanti, ketika kalian sudah bisa membaca dengan baik, semoga kalian menemukan tulisan ini. Ini adalah tulisan dari seorang perempuan yang menghabiskan satu tahun hidupnya untuk bermain bersama kalian di kelas Bumble Bee.

Pertama, biar kujelaskan pada kalian tentang hubungan kita. Bagiku, aku bukanlah guru kalian dan kalian bukan muridku. Kita hanyalah teman sepermainan. Ukuran tubuhku mungkin tiga kali lipat lebih besar dari kalian, tapi dalam diriku bersembunyi seorang perempuan berumur lima tahun. Perempuan itu, cara berpikir dan kelakuannya, kurang lebih sama dengan kalian. Suka merepotkan hal-hal kecil, tertawa karena hal kecil dan menangis karena hal kecil.

Surat ini kutulis untuk kalian karena aku adalah perempuan yang kelewat sentimental. Aku merasa kehilangan kalian. Padahal kalian hanya berpindah kelas dan aku masih bisa melihat kalian setiap hari. Tapi aku merasa hari-hari tidak akan sama lagi.

Kita tidak akan duduk di kelas Bumble Bee yang AC-nya terlalu dingin bersama-sama lagi, tidak juga akan masuk angin bersama-sama lagi. Tidak akan ada lagi drama dan tangisan karena aku bersikeras tidak mau memberi kalian stiker. Tidak akan adalah lagi candaan ketika makan siang dan kalian menyuapiku dengan makanan-makanan yang tidak aku sukai.

Aku akan sangat merindukan kalian.


Terima kasih, ya. Kalian sudah mengajariku banyak hal. Mengajariku untuk lebih sabar, mengajariku berlari lebih gesit untuk menangkapi tubuh-tubuh kecil kalian, mengajariku lompat lebih lincah agar bisa menyusul gerakan kalian, mengajariku tertawa di hari-hari paling melelahkan.


Terima kasih telah mengingatkan bahwa hidup ini tidak lebih dari sekadar taman bermain. Terkadang, hal yang tidak adil akan terjadi, namun tidak ada pilihan selain melanjutkan permainan.

See you, Bumble Bee. Keep buzzing! :)



Selasa, 27 Mei 2014

MANTRA FOR LIFE

I'm a human with bigger mission than money
I'm on my way to a bigger and better life
I don't wait in order to be happy, I'm making myself happy and I AM happy
I can manage my life well no matter what happen
People can do anything to me but it's me who decide what is going to happen to me


I'm human who is now in higher level of awareness and awakenings
I'm appreciating the tiniest progress that I made
I respect myself for all the good choice and bad choice I've done.
If there's a best treat that I have to do in this life, that treat is for my self
For it has survived the biggest storm and the hardest rain


In life, I know there will always be someone who try to dictate, underestimate and intimidate me
But it's under my control, it's my choice to be or not to be dictated, underestimated and intimidated
People will always talk and judjge
But I know, and I will always remind myself that it's my life
It's me the one who knows me better than anyone.


I do accept
Good and bad things happen, time passes, people change
I have no time for denying those things
I do accept
the messages that the universe constantly sends me

---
just woke up and write down this mantra for myself.
and kindly use it if you think it fits you.


:)

Sabtu, 12 April 2014

(REVIEW) Unaccustomed Earth

I always believe that finding a book is a complex destiny. 


That's why I prefer to drawn myself between the bunch of books in second-handed market than visit the 'mainstream' bookstore. I always take this as a spiritual activity. Searching some books between stalls with no classification, no fiction or non-fiction sign, no computer and its software to find books with keywords, no alphabetical arrangement, no clue. And yes, not all the sellers in second-handed market know what is exactly their products. So when I found a great book (-or some great books, if I'm lucky), it feels like finding a soul-mate. It's like finding someone that you really like between thousands if uncertainty. How amazing is that?


My favorite second-handed bookstore in Jakarta is Blok M Square's underground. It's in South Jakarta, an easy spot to find. I've been a regular visitor there for like 3 or 4 years. I make friends with some of the sellers there. Sometimes, when  friends from other city come to Jakarta for a visit, I take them to Blok M Square's underground, show them the books stalls like a proud mother. Hahahaha. Oh ya, they also had a mini coffee shop with a nice wooden furniture. Unfortunately the waiters always look like they're having a bad day (I'm wondering why, Mbak. Whyyyyyy?)


So, in many great books that I found there is this one.

ayyye the sexy back


Tittle        :  Unaccustomed Earth
Writer      :  Jhumpa Lahiri
Publisher  :  Random House India, 2009


Okay, some say that Jhumpa Lahiri is just another pop-novel writer, nothing special. Well, I find her special since "The Namesake". Her sentences are clear, she states her point strongly. Some say it's kind of boring  that she always writes things related to India, Indian migrant and family issues. But I always find a lot of surprises on her stories.


My obsession about Indian culture may be one of the reason why I love Lahiri's writings. The detail she puts in her stories about the culture blow my mind. This book begins with the stories about Ruma and her  Father who traveled around the world in his retirement days. One day her father came for a visit to Ruma's house. Something changed inside her father, Ruma just can't resist that feeling. He played with Ruma's son, something that he rarely did when back then he came with Ruma's mom when she's still alive. He did not complain about the food like usual, he made his own tea unlike usual and he started to planted seed happily with his grand-son.

Ruma started to speculate in her mind. Was the traveling so spiritual that her father had been enlightened? Or was it her mother's death that hit him so bad? Or was he trying to prove that he would not give her any trouble if he's staying in? Ruma's heart started to melt down. She encouraged herself and said to her father that he could stay in her house, with all the risks that her non-Indian husband would had objections.


But none of all those speculations was right. The fact was her father fell in love with a middle-aged Bengali woman he met during the traveling days.


All of the stories in this book are so simple. In the other side that's what makes them "real". There's no thrilling plot or something. It's just so soft and real. That's what I like the most from this book.


And this is my favorite story of all: "Hell Heaven"

It's about an Indian woman, staying in London with her husband who's a workaholic professor. One day, there's this young Bengali man came to her and called her "Boudi". Boudi is how the Bengali call their sister-in-low. This man was not practically her brother in law. But all the Bengali in foreign countries are family. And he was actually be the part of the family. He came to the house everyday and the woman cooked more then she usually did. She served him better then any guess who ever come to the house. The woman stated to fall in love, something that never happened between her and her husband. Her husband knew it. He knew the sparks coming out from her eyes every time that guy come for a dinner. He noticed that his wife was now smiling a lot. But he didn't get mad. He's kind of relieved that finally this woman found the happiness that he could never gave.


After lots of dinners and lunches, one day that guy came with a girl. A girl he's finally married with. A girl that finally he divorced after having twin babies.

The story ended with this scene: The woman's daughter named Usha came. Usha told her mother that her heart was terribly broken. Her mom told her a stories about that day when she spread the gasoline all over the house and ready to set the house and herself in fire. That day was the day that the guy he liked was getting married. Suddenly,  there was this neighbor shouting from her own window and tell her how beautiful the sunset was. She starred at the sunset. It was beautiful. After that she cleaned all the mess and cooked rice for her husband and Usha, as if nothing happened.



Okay, too many spoilers. But I just can't resist to tell you guys how emotional and great the book is. Yea, in some part it goes too dramatic like any other Bollywood things. But it's worth to read. 4 of 5 stars!



Minggu, 06 April 2014

Tempat Teraneh untuk Patah Hati

"I'm at critical moment now.
I can't handle this.
I need someone to talk to.
Meet me at the Smutzcher Primate Center.
Please."



Tawa saya langsung meledak membaca pesan singkat itu. Sebuah respon yang kurang manusiawi. Tidak seharusnya saya menertawai pesan dari teman yang sedang dalam kesusahan itu. Dia sedang bermasalah dengan kehidupan asmaranya, sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan dengan detil di sini. Kalau anda pikir ini adalah soal asmara remeh-temeh, soal putus dengan pacar atau sebagainya, anda salah. Dia adalah seorang laki-laki yang sudah menikah. Dengan kalimat tadi, saya rasa anda bisa merasakan komplikasinya.


Terkutuklah saya yang mentertawai kesulitan orang, terlebih kesulitan itu menyangkut kelangsungan hidup dua keluarga besar dan satu keluarga kecil. Namun, tidakkah Smutzcher Primate Center adalah sebuah tempat yang aneh untuk bercerita soal patah hati? Maksud saya, kenapa dia harus memilih tempat yang penuh dengan monyet-monyet bergelantungan untuk urusan seperti ini? Sudah terbakarkah semua kafe atau tempat nongkrong lain di Jakarta?

Seberapa anehpun itu, saya berangkat menemuinya. Saya memang bukan sahabat terbaiknya, bukan pula orang paling bijak yang dikenalnya. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Katanya, dia bisa gila kalau memendam semuanya sendiri. Sahabat-sahabatnya, adalah laki-laki dengan 1 atau 2 anak yang sudah memiliki tanggung jawab dan kerepotan hidup masing-masing. Tidak ada waktu untuk curhat, bahkan waktu untuk diri sendiripun langka. Dia juga tidak mungkin curhat pada keluarganya sendiri, demi menjaga perasaan mereka.

Saya berangkat, dengan dua keberatan di benak yang tidak berhasil menahan saya. Pertama, saya bukanlah adalah perempuan yang bukan siapa-siapanya. Saya tidak layak mencampuri urusan keluarganya. Di mata masyarakat, sungguh tidak baik kalau saya terlihat mengobrol berdua dengan suami orang. Kedua, saya tidak punya saran yang baik soal cinta. Nasihat seperti apa yang dia harapkan dari seseorang yang tidak bisa sembuh dari luka masa lalu seperti saya?

---

Dia memakai masker yang menutupi hidung dan mulutnya, juga sebuah topi yang dirapatkan dan menutup alisnya. Tidak akan ada yang mengenalinya. Tidak akan ada masalah yang muncul jika kamu duduk sejajar seperti layaknya teman. Saya sudah cukup terbiasa dengan polemik ini. Kata orang, tidak mungkin perempuan dan laki-laki itu saling bersahabat, pasti ada sesuatu yang lebih. Itu tidak terbukti pada saya. Saya punya banyak sahabat laki-laki. Satu di antara mereka sudah hampir delapan tahun jadi sahabat saya. Lalu percakapan itu kami mulai, seperti selayaknya sahabat.



"Gue nggak tahu kalo pernikahan bisa sesulit ini, Lung," kata sambil mencolak-colek layar ponselnya yang penuh dengan foto bayi mungil mereka yang baru berusia beberapa bulan. Bayi itu merubah segala cara pikirnya. Sebenarnya masalah yang dia hadapi cukup sepele. Hanya saja semuanya jadi sulit karena dia grogi dalam mengambil keputusan. Setiap keputusannya akan mempengaruhi bayi mungil dan lucu itu. Setiap tindakannya akan menentukan masa depan gadis kecilnya itu. Itu yang membuat segalanya lebih menegangkan.


"Santai aja. Ini wajar di awal-awal pernikahan. Kalian berdua itu orang yang puluhan tahun menjalani hidup masing-masing. Jadi butuh waktu untuk saling menyesuaikan ketika bersama," kataku sok bijak.


"I'm tired. Too bitter to taste."


"Hold on."


Lalu kami terdiam.



"It's a good sign, Bleh. Ketika pernikahan itu masih ada rasanya. Kalian masih bisa merasa pahit, merasakan manis. Itu tandanya hubungan kalian masih hidup, masih ada harapan untuk menjadi lebih baik. Lain halnya kalau lu udah mati rasa, udah nggak ngerasa apa-apa lagi. Semuanya datar. Rutin. Membosankan. Itu tanda sebuah hubungan yang sudah mati. That's what you should afraid of. Not this one and not now."


Entah dari mana saya dapat kata-kata itu. Entah apa yang membuat saya mengatakannya. Setelah makan es krim kami pulang.

---

Selasa, 18 Maret 2014

Untuk Danendra Bennett Assikin

Kamu sudah tidur, Ben? Pasti sudah. Ini sudah tengah malam. Kamu adalah salah satu orang yang paling cepat mengantuk yang pernah kukenal. Kamu bisa tertidur di mana saja. Di kelas, di mobil ketika perjalanan pulang, di food court dan yang terakhir, sore tadi, kamu tertidur dengan kepala merebah di pangkuanku.


Wajahmu terlihat sangat tenang ketika tidur. Sangat berbeda dengan wajahmu ketika sadar. Kamu hampir selalu tampak marah dan kesal ketika sadar. Kalau ada hal-hal berisik di sepanjang siangku, itu hampir selalu berasal dari kamu. Kamu yang menghantam-hantamkan sendok ke meja saat makan nasi goreng, suara tangis temanmu yang kamu dorong hingga terjungkal, kursi plastik yang kamu banting dan orang-orang yang berteriak karena melihatmu memanjat perosotan dari arah berlawanan.


Bodohnya aku. Aku tidak percaya aku sedang menuliskan ini untukmu, Ben. Bagaimana mungkin aku menulis di tengah malam begini untuk seseorang yang bahkan kesulitan mengenal huruf? Aku tahu, bicara denganmu butuh sesuatu yang lebih lugas dari kata-kata dan huruf. Tapi, Ben, aku tidak lebih baik darimu. Huruf-huruf yang kuketik, kata-kata yang kujadikan kalimat ini sering kali membuat aku merasa tidak tahu apa-apa, tidak berhasil memahami apa-apa.


Kamu tahu, Ben, setiap kali marah padamu, sebenarnya aku tengah marah pada diriku. Aku marah pada ketidak-berhasilanku untuk menebak dirimu. Kamu jarang sekali bicara. Kamu tiba-tiba marah, tiba-tiba meledak, tiba-tiba menerobos pintu kelas sambil berteriak. Kamu selalu menemukan cara untuk membuatku berlari-lari panik mengejarmu. Dan yang terbaik yang bisa kulakukan setelahnya adalah menarik tanganmu, menyeretmu kembali ke kelas. Kemudian aku bertanya dengan nada tinggi, "kamu mau apa?". Sebuah kalimat yang lebih mengarah pada intimidasi ketimbang bertanya. Aku bahkan tidak meluangkan waktu untuk mendengarkan apa maumu. Aku meninggalkanmu dan beberapa detik kemudian kamu berteriak lagi sambil memelukku dari belakang. Setengah merengek kamu bilang, "Jangan tinggalin... Nggak mau ditinggalin..."


Hei, kawan kecil, maafkan aku.


Aku kehabisan cara untuk memahamimu. Bukan karena kamu sulit dipahami, Ben. Melainkan karena aku tidak lebih baik darimu. Aku juga adalah seorang anak kecil tempramental yang terjebak di tubuh perempuan berusia 23 tahun. Seperti halnya kamu, di dalam tempurung otakku, aku sering kali berteriak dan marah tanpa alasan. Kalau masih pantas, rasanya aku akan melakukan hal yang sama denganmu: tiba-tiba menangis meski tak ada apa-apa. Aku tidak berhasil menebak apa maumu dan kamu selalu berakhir begitu: berteriak sambil menangis. Ben, percayalah, kalau saja tidak ada 13 anak lain yang harus kuurus, aku akan meluangkan banyak sekali waktu untuk memelukmu ketika kamu marah. Aku kenal perasaan itu, Ben. Rasa ketika tubuh ini hanya minta dipeluk diantara banyak sekali emosi-emosi yang susah dijelaskan.


Beberapa kali aku menemukan kamu sedang menatap langit-langit kelas sambil mengguman, "Kenapa siiiiih? Kenapa? Kenapaa siiiih?" sambil meremas-remas kertas yang baru kuberikan. Kamu melempar kertas itu ke lantai ketika teman-temanmu mulai menulis. Kemudian kamu mulai berteriak, "Kenapaaaa?" Kamu tampak sangat kesal.



Kalau sudah begitu, aku akan berlutut di sampingmu, mengelus rambutmu sekilas. Kamu tampak sedikit tenang, lalu aku berlalu, melanjutkan tugasku sebagai guru untuk kamu dan 13 temanmu. Harusnya aku bisa melakukan yang lebih baik dari itu, Ben. Harusnya aku bisa menjelaskan sesuatu padamu, agar kamu tidak sering marah-marah. Tapi lagi-lagi, aku tidak lebih baik darimu. Di usiaku sekarang ini, aku juga sering bertanya 'kenapa?' dan marah jika tidak kunjung menemui penjelasan.


Jadi, kawan kecil, maafkan aku. Malam ini, tidurlah yang nyenyak. Besok, ketika kita bertemu lagi di sekolah, aku akan mencoba jadi anak kecil yang lebih baik, jadi teman yang lebih bisa mengerti kamu.





Selamat malam, Ben





--------untuk Danedra Bennett Assikin, muridku yang berumur 5 tahun.

Sabtu, 08 Maret 2014

Kawan Kecil Ini...

Mari kuceritakan keadaannya,


semua berantakan.


Aku berada dalam sebuah perjalanan panjang. Teman-teman seperjalananku satu-satu berguguran. Ada yang pulang. Ada yang berhenti. Ada yang memutar arah, mengubah tujuan. Mereka bilang jalan ini terlalu melelahkan. Aku kecewa, namun tidak bisa marah. Aku tidak berhak memaksa mereka menjalani arah peta yang sama.

Ada juga yang mengirimiku surat. Teman-teman dari masa lalu. "Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan? Sudah sampaikah kamu di tujuan?"

 Sungguh sebuah surat yang kurang ajar. Mereka tidak benar-benar ingin menanyakan perjalananku. Mereka hanya ingin mentertawaiku, mentertawai pilihanku. Ini yang tidak mereka tuliskan (tapi aku yakin mereka bicarakan di belakangku): "Lihat si bodoh itu. Dulu dia sok berani, sok pingin melawan arus, sok berbeda. Sekarang dia tersesat di perjalanan panjang dan tidak kunjung sampai di tujuannya."


Jadi di sinilah aku. Sendiri. Di jalan yang tidak kukenal, tidak kuketahui ujungnya. Segalanya terasa menakutkan. Apa yang kucoba acapkali berakhir gagal. Sangat menyiksa. Aku ragu dan mulai mempertanyakan setiap keputusan, setiap detik. Melelahkan.


Lalu datanglah kawan kecil ini. Sungguh kali ini semesta menggunakan cara yang cukup aneh untuk mengirim seorang kawan.Namun aku tidak pernah merasa asing padanya. Kurasa, di kehidupan sebelumnya kami memang sudah berteman.

 Kawan kecil ini menyediakan waktunya setiap malam untuk bertanya, "sudah sampai mana?" seakan memastikan aku masih meneruskan perjalanan itu dan tidak berhenti.

Kawan kecil ini percaya pada perjalanan yang kupilih, ketika semua orang menganggapku bodoh karena itu.
 
Kurasa, kepercayaan dari kawan kecil ini adalah pertanda bahwa aku harus tetap berjalan.


Meneruskan perjalanan.

Senin, 13 Januari 2014

Pada Sebuah Kepulangan

:buat ayah


Ini adalah pulang tersingkat yang kulakukan. Seperti sebelum-sebelumnya, tak peduli selama apapun aku berada di rumah, kau akan selalu merasa aku pergi terlalu cepat. Bagimu, mungkin aku adalah sesuatu yang selalu ingin kautahan, selalu ingin kaurumahkan, namun tak berhasil. Mungkin itu yang membuat apa-apa yang dulu hangat antara kita kini mendingin.

Aku ingin sekali bercerita banyak denganmu. Tapi obrolan kita selalu akan berujung pada pembahasan soal perbedaan kita, yang itu-itu juga. Tak berubah sejak dulu. Aku lebih suka diam ketimbang memulai lagi perdebatan yang itu-itu juga.

 Pada setiap kepulanganku, sebenarnya aku berharap lebih dari sekedar jabat tangan yang kita lakukan dengan rikuh dan kaku. Kalaulah masih pantas, aku ingin sekali kaubonceng seperti dulu kau mengantarku pergi ke sekolah untuk pertama kali. Kalau masih pantas, aku ingin sekali menggandeng tanganmu, lalu pergi berkeliling pasar dan pulang dengan berbagai macam kue dalam kantong plastik. Kalau masih pantas, aku ingin kau gendong seperti dulu kau mengangkatku dari ruang TV ke kamar ketika aku tertidur.


Sering aku berpikir tentang seberapa jauh keputusan-keputusanku ini menyakitimu. Sering aku merasa sedih bahwa untuk menjalani hidup yang aku inginkan, aku tidak menghiraukan perasaanmu. Sering terpikir untuk mengakhiri semua dan menjadi anak perempuan yang baik bagimu. Semua itu membuat aku sangat kesepian.


Pada kepulangan kali ini kita tidak banyak bicara. Tidak banyak bertukar kabar. Tapi setidaknya, kita juga tidak berdebat. Mungkin diam ini adalah usaha terbaik kita berdua untuk menjembatani perbedaan itu. Dan aku tahu dalam diam ini kita sedang berusaha untuk tidak saling melukai.


Maka dalam diam ini, kuharap kita saling tahu bahwa kita saling cinta.

Senin, 06 Januari 2014

Apa yang Saya Benci Dari Pekerjaan Saya Sebagai Guru

Rasanya seperti kutukan.

Ketika kecil dulu, setiap ditanya tentang cita-cita, dengan mantap saya akan jawab bahwa saya ingin jadi guru. Cita-cita itu benar-benar saya yakini dan saya cintai. Bagi saya, tidak ada yang lebih menyenangkan dari mengoceh di depan kelas dan semua orang -mau tak mau- harus memperhatikan saya.


Ayah saya tampaknya sangat bahagia dan bangga dengan cita-cita itu. Beliau merencanakan biaya pendidikan saya sebaik mungkin. Beliau bahkan sudah memperhitungkan, ketika saya lulus SMA, ketika itu pula beliau akan dapat uang pensiun. Dengan uang itulah kelak saya akan dikuliahkan ke UNIMED (Universitas Negeri Medan). Ya, setidaknya rencana awal begitu.


Ketika kemudian saya mulai keranjingan membaca sastra, menonton film dan mencoba-coba menulis, cita-cita luhur itu menguap. Saya tidak tertarik lagi menjadi guru. Itu membuat ayah tidak senang. Intinya, ada serentetan drama panjang antara saya dan ayah, sampai akhirnya saya memutuskan untuk ke Jakarta.


Di Jakarta, saya makin tenggelam di hobi baru saya. Membaca sastra, menonton film, menulis. Namun, untuk bertahan hidup, saya bekerja sambilan sebagai guru. Awalnya saya hanya menganggap itu sebagai pekerjaan sampingan saja. Namun, akhirnya saya sadar, lima dari enam tahun hidup saya di Jakarta, terbiayai dari hasil menjadi guru.

Sesuatu yang saya hindari, sesuatu yang membuat saya harus 'berseberangan' dengan ayah saya, malah menjadi tempat saya menggantungkan hidup. 

***

Jangan buru-buru menyimpulkan saya benci profesi saya sebagai guru. Profesi ini sebenarnya menyenangkan jika kita ditempatkan di tempat yang tepat. Saya memang sempat sangat muak dengan dunia pendidikan ketika mengajar di sebuah Madrasah swasta yang cukup bonafit. Namun, ketika setahun belakangan saya mengajar di pre-school, semuanya tampak indah.


Tapi tetap saja ada yang mengganggu pikiran saya. Satu hal yang tidak bisa saya hindari -dan ini adalah fakta yang kita acuhkan- pendidikan di Indonesia adalah sebuah sistem yang sama komersilnya dengan supermarket waralaba. Jadi, lupakanlah mimpi-mimpi utopis bahwa negara kita akan maju. Pendidikan, dasar dari semua kemajuan itu, adalah justru sebuah tempat kotor yang tidak bisa diandalkan.


Menjadi guru pre-school, saya terbebas dari banyak drama. Drama mendongkrak nilai siswa demi sebuah predikat Sekolah Standard Nasional. Drama nilai anak-anak tidak boleh di bawah 7.5. Drama mengajar dengan Islami, mengesampingkan logika. Drama harus "irit penjelasan" di kelas agar murid butuh les tambahan. Dan drama-drama yang dulu saya dapat di sekolah sebelum ini. Oh ya, dan drama Ujian Nasional! Jangan pernah lupakan itu!


Di pre-school, saya hanya bermain saja dengan anak-anak itu. Sebisa mungkin merangsang rasa ingin tahu mereka. Tak ada nilai. Tak ada skor. Tak ada juara kelas. Perkembangan anak hanya dinilai dengan label "outstanding", "good", atau "need improvement". Itu saja.


Tapi kalau kita perhatikan lagi, sekolah manapun, mengandung banyak drama. Mungkin sama banyaknya seperti yang ada di TV.

***

DRAMA 1

Pembagian raport. Pertanyaan yang paling sering saya dengar ketika PTM (Parents-Teacher Meeting) adalah: "Kira-kira, dari semua temannya, anak saya itu ranking berapa, ya, Miss?"

Saya menjawab, "Kan di sekolah memang tidak ada sistem ranking, Bunda."


"Ya, kira-kira saja, gitu, Miss. Ya kali aja anak saya rankingnya bagus, jadi saya bisa bangga gitu bilangnya ke teman-teman."


Jawaban yang saya ucapkan: "Wah, sayang sekali, Bunda. Saya memang nggak tahu bagaimana harus menentukan ranking. Semua anak di sini pintar-pintar."

Jawaban yang tidak saya ucapkan: "Shut the hell up! Seberapapun hasil belajar anakmu, banggakanlah! Kenapa mengukur anakmu dengan angka-angka dan urutan?"



DRAMA 2

Masih pembagian raport.  Kebetulan kali ini si anak banyak mendapat ceklis di kolom "outstanding". Lalu, bapaknya berkata, "Alhamdulillah, ya, Miss. Anak saya ternyata lebih pintar dari bapaknya. Saya dulu nggak sepintar dia. Kalau bukan dia yang mengangkat derajat keluarganya, siapa lagi?"

Respon yang saya tunjukkan: tersenyum.
Respon yang tidak saya tunjukkan: "Mengangkat derajat? Really? Anak umur 4 tahun kamu bebankan untuk mengangkat derajat keluargamu? Lalu gunanya kamu hidup itu apa? Segitu mindernya sampai nggak yakin bisa mengangkat derajat sendiri?



DRAMA 3

Ini datang dari sentimentalisme pribadi saya. Kado. Pembagian raport, selain identik dengan angka-angka, juga indentik dengan kado yang diberikan pada guru. Orang tua berlomba-lomba memberikan bingkisan sebagai ucapan terima kasih kepada guru. Mereka berlomba-lomba memberi kado yang lebih "wah" demi gengsi.

Sebuah kenangan yang kecut kembali ke kepala saya. Ketika SD, saya selalu ada di urutan 3 besar. Namun, tidak sekalipun ibu saya membelikan kado untuk guru saya, seperti yang biasa dilakukan orang tua lain. Betapapun saya ingin ikut memberi kado, saya sadar pendapatan ibu saya tidak besar.

Bertahun-tahun tanpa pernah memberi kado, semuanya baik-baik saja. Namun ketika saya kelas enam, ketika saya mulai tahu rasa sakit hati,sebuah celetukan terlontar dari mulut guru saya:

"Si Halimah, dari kelas 1 sampai kelas 6 nggak pernah sekalipun kasih kado ke gurunya. Padahal dia selalu juara kelas."

Kalimat itu tidak langsung diucapkan pada saya, saya mendengarnya secara tidak sengaja ketika melintas di ruang guru. Selain malu, sedih, saya juga marah. Saya tidak berhasil menangkap hubungan antara kado dan gelar juara kelas saya. Seakan-akan gelar juara itu adalah hasil usaha guru saya sehingga saya harus memberi dia kado. Ibu saya tidak pernah memberi tahu hal itu pada ibu saya.

Ketika pembagian raport tiba dan orang tua memberi saya kado-kado itu, terbayang seorang anak kelas enam SD yang tidak pernah memeberi kado pada gurunya. Ini, adalah salah satu dari hal yang saya benci dari menjadi guru.