Senin, 06 Januari 2014

Apa yang Saya Benci Dari Pekerjaan Saya Sebagai Guru

Rasanya seperti kutukan.

Ketika kecil dulu, setiap ditanya tentang cita-cita, dengan mantap saya akan jawab bahwa saya ingin jadi guru. Cita-cita itu benar-benar saya yakini dan saya cintai. Bagi saya, tidak ada yang lebih menyenangkan dari mengoceh di depan kelas dan semua orang -mau tak mau- harus memperhatikan saya.


Ayah saya tampaknya sangat bahagia dan bangga dengan cita-cita itu. Beliau merencanakan biaya pendidikan saya sebaik mungkin. Beliau bahkan sudah memperhitungkan, ketika saya lulus SMA, ketika itu pula beliau akan dapat uang pensiun. Dengan uang itulah kelak saya akan dikuliahkan ke UNIMED (Universitas Negeri Medan). Ya, setidaknya rencana awal begitu.


Ketika kemudian saya mulai keranjingan membaca sastra, menonton film dan mencoba-coba menulis, cita-cita luhur itu menguap. Saya tidak tertarik lagi menjadi guru. Itu membuat ayah tidak senang. Intinya, ada serentetan drama panjang antara saya dan ayah, sampai akhirnya saya memutuskan untuk ke Jakarta.


Di Jakarta, saya makin tenggelam di hobi baru saya. Membaca sastra, menonton film, menulis. Namun, untuk bertahan hidup, saya bekerja sambilan sebagai guru. Awalnya saya hanya menganggap itu sebagai pekerjaan sampingan saja. Namun, akhirnya saya sadar, lima dari enam tahun hidup saya di Jakarta, terbiayai dari hasil menjadi guru.

Sesuatu yang saya hindari, sesuatu yang membuat saya harus 'berseberangan' dengan ayah saya, malah menjadi tempat saya menggantungkan hidup. 

***

Jangan buru-buru menyimpulkan saya benci profesi saya sebagai guru. Profesi ini sebenarnya menyenangkan jika kita ditempatkan di tempat yang tepat. Saya memang sempat sangat muak dengan dunia pendidikan ketika mengajar di sebuah Madrasah swasta yang cukup bonafit. Namun, ketika setahun belakangan saya mengajar di pre-school, semuanya tampak indah.


Tapi tetap saja ada yang mengganggu pikiran saya. Satu hal yang tidak bisa saya hindari -dan ini adalah fakta yang kita acuhkan- pendidikan di Indonesia adalah sebuah sistem yang sama komersilnya dengan supermarket waralaba. Jadi, lupakanlah mimpi-mimpi utopis bahwa negara kita akan maju. Pendidikan, dasar dari semua kemajuan itu, adalah justru sebuah tempat kotor yang tidak bisa diandalkan.


Menjadi guru pre-school, saya terbebas dari banyak drama. Drama mendongkrak nilai siswa demi sebuah predikat Sekolah Standard Nasional. Drama nilai anak-anak tidak boleh di bawah 7.5. Drama mengajar dengan Islami, mengesampingkan logika. Drama harus "irit penjelasan" di kelas agar murid butuh les tambahan. Dan drama-drama yang dulu saya dapat di sekolah sebelum ini. Oh ya, dan drama Ujian Nasional! Jangan pernah lupakan itu!


Di pre-school, saya hanya bermain saja dengan anak-anak itu. Sebisa mungkin merangsang rasa ingin tahu mereka. Tak ada nilai. Tak ada skor. Tak ada juara kelas. Perkembangan anak hanya dinilai dengan label "outstanding", "good", atau "need improvement". Itu saja.


Tapi kalau kita perhatikan lagi, sekolah manapun, mengandung banyak drama. Mungkin sama banyaknya seperti yang ada di TV.

***

DRAMA 1

Pembagian raport. Pertanyaan yang paling sering saya dengar ketika PTM (Parents-Teacher Meeting) adalah: "Kira-kira, dari semua temannya, anak saya itu ranking berapa, ya, Miss?"

Saya menjawab, "Kan di sekolah memang tidak ada sistem ranking, Bunda."


"Ya, kira-kira saja, gitu, Miss. Ya kali aja anak saya rankingnya bagus, jadi saya bisa bangga gitu bilangnya ke teman-teman."


Jawaban yang saya ucapkan: "Wah, sayang sekali, Bunda. Saya memang nggak tahu bagaimana harus menentukan ranking. Semua anak di sini pintar-pintar."

Jawaban yang tidak saya ucapkan: "Shut the hell up! Seberapapun hasil belajar anakmu, banggakanlah! Kenapa mengukur anakmu dengan angka-angka dan urutan?"



DRAMA 2

Masih pembagian raport.  Kebetulan kali ini si anak banyak mendapat ceklis di kolom "outstanding". Lalu, bapaknya berkata, "Alhamdulillah, ya, Miss. Anak saya ternyata lebih pintar dari bapaknya. Saya dulu nggak sepintar dia. Kalau bukan dia yang mengangkat derajat keluarganya, siapa lagi?"

Respon yang saya tunjukkan: tersenyum.
Respon yang tidak saya tunjukkan: "Mengangkat derajat? Really? Anak umur 4 tahun kamu bebankan untuk mengangkat derajat keluargamu? Lalu gunanya kamu hidup itu apa? Segitu mindernya sampai nggak yakin bisa mengangkat derajat sendiri?



DRAMA 3

Ini datang dari sentimentalisme pribadi saya. Kado. Pembagian raport, selain identik dengan angka-angka, juga indentik dengan kado yang diberikan pada guru. Orang tua berlomba-lomba memberikan bingkisan sebagai ucapan terima kasih kepada guru. Mereka berlomba-lomba memberi kado yang lebih "wah" demi gengsi.

Sebuah kenangan yang kecut kembali ke kepala saya. Ketika SD, saya selalu ada di urutan 3 besar. Namun, tidak sekalipun ibu saya membelikan kado untuk guru saya, seperti yang biasa dilakukan orang tua lain. Betapapun saya ingin ikut memberi kado, saya sadar pendapatan ibu saya tidak besar.

Bertahun-tahun tanpa pernah memberi kado, semuanya baik-baik saja. Namun ketika saya kelas enam, ketika saya mulai tahu rasa sakit hati,sebuah celetukan terlontar dari mulut guru saya:

"Si Halimah, dari kelas 1 sampai kelas 6 nggak pernah sekalipun kasih kado ke gurunya. Padahal dia selalu juara kelas."

Kalimat itu tidak langsung diucapkan pada saya, saya mendengarnya secara tidak sengaja ketika melintas di ruang guru. Selain malu, sedih, saya juga marah. Saya tidak berhasil menangkap hubungan antara kado dan gelar juara kelas saya. Seakan-akan gelar juara itu adalah hasil usaha guru saya sehingga saya harus memberi dia kado. Ibu saya tidak pernah memberi tahu hal itu pada ibu saya.

Ketika pembagian raport tiba dan orang tua memberi saya kado-kado itu, terbayang seorang anak kelas enam SD yang tidak pernah memeberi kado pada gurunya. Ini, adalah salah satu dari hal yang saya benci dari menjadi guru.



2 komentar:

  1. Hei, apa kamu bahagia jadi guru?
    http://bridgettbeaumont.blogspot.com/2012/12/melenceng-dari-tujuan-awal.html

    BalasHapus

Tiada kesan tanpa komentarmu...