Minggu, 06 Juli 2014

Jokowi, Cerita Sinetron dan Mas Keriting Berbaju Lurik yang Ganteng

Kemarin, 5 Juli 2014, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menghadiri sebuah kampanye. I can't believe it. Manusia paling malas keluar rumah (bahkan malas keluar kamar) seperti saya, menghadiri sebuah kampanye besar. Padahal saya adalah tipe orang yang tidak kuat dengan keramaian. Bahkan berjalan di mall ramaipun membuat kepala saya pusing.


Tapi, di sanalah saya kemarin. Gelora Bung Karno yang disesaki oleh ribuan manusia. Baru kali ini saya antusias untuk bertemu dengan tokoh politik. Saya mengabaikan rasa tidak suka saya pada keramaian, juga rasa sebal saya pada jalanan Jakarta di Malam Minggu.


Saya berangkat bersama seorang teman dengan angkutan umum yang penuh dengan orang-orang yang juga sedang menuju Gelora Bung Karno. Kami tidak saling mengenal. Kami bayar ongkos masing-masing. Baju kami tidak seragam. Sepanjang perjalanan di dalam angkutan itu, seorang Ibu berkali-kali bertanya pada kondektur, "Pak, Senayan sudah terlewat, ya?" Si ibu kelihatannya jarang pergi jauh, kelihatan dari gerak-geriknya yang celingak-celinguk dan tidak tahu daerah sekitar Senayan.


Ketika kami turun dari angkutan dan akan menyeberang ke GBK, si ibu tadi ikut turun dan bertanya, "Mbak, ini GBK Senayan, kan, ya? Ada Jokowi 'kan di sini, ya?" Saya, teman saya, seorang Mbak bertas ransel, sepasang kekasih berbaju kotak-kotak, seorang bapak tinggi-tegap berbaju "2", hampir bersamaan menjawab, "iya, bener, Bu." Lalu kami menyeberang bersama.


Ini seperti cerita di sinetron, bukan? Seorang Ibu hampir setengah baya, sendirian naik angkutan umum, ke daerah yang asing baginya untuk bertemu seorang calon pemimpin. Sounds like drama. But it was happenning. I was there.


Di twitter, lebih banyak lagi "sinetron" yang "ditayangkan". Soal relawan-relawan yang memunguti sampah setelah selesai konser, soal seorang kakek dari Sunter yang datang sendiri dengan bekal sebotol aqua dan koran alas duduk, soal nenek berambut pirang yang bajunya penuh stiker Jokowi. Tapi itu semua benar-benar terjadi. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Kapan terakhir kali kita tergerak untuk se-bersatu ini dalam keragaman? Kapan terakhir kali kita benar-benar menikmati pilpres sebagai ajang pesta, yang benar-benar pesta! Di mana kita menari dan bernyanyi bersama walau tidak saling kenal? Lucunya, semua ini karena kita melihat harapan di sosok berbadan kerempeng itu: JOKOWI.


Saya melihat harapan di sosok bersahaja yang kemarin bersepatu sneakers itu. Saya melihat harapan ketika dia berkata, "adik-adikku sekalian, izinkan kakakmu ini ikut menentukan arah..." Saya melihat ketulusan di cengirannya yang lugu itu. Saya baru kali ini merasa ingin sekali memeluk seorang tokoh politik.


Saya kurang peduli siapa artis yang manggung kemarin. Pilihan saya bukan karena mereka beramai-ramai mendukung Jokowi. Yang jadi perhatian saya hanyalah Jay Subiakto yang naik ke atas giant screen untuk megambil gambar dahsyat ini.




ini orang gila yang mengambil gambar itu




------


terakhir, saya mau curhat soal mas ganteng berbaju lurik, berambut keriting dan brewokan. Mas, betapa saya tahu kamu itu orang penyendiri. Kamu datang sendirian, nggak bawa bendera Slank, nggak pake kaos Jokowi. Kamu berdiri kaku di antara keramaian. Kamu tidak berteriak apa-apa di tengah ingar-bingar. Kamu hanya mengepalkan tangan kiri dan merentangkan dua jari tangan kanan. Kamu melirik-lirik cemas ke sekitar, seolah tidak ingin berada di situ namun sekaligus ingin tetap menyukseskan konser. Kamu kantongi sebotol aqua yang masih bersegel untuk buka puasa. Ketika /rif naik panggung, kamu mulai jingkrak-jingkrak dan terlepas dari kerikuhanmu.


Karena terdorong keramaian, saya akhirnya maju lebih dekat ke arah panggung. Padahal sebelumnya kita berdiri bersebelahan. Ketika saya melihat ke belakang untuk mencari-cari kamu, kamu juga sedang melihat ke arah saya. Kamu tersenyum sambil mengacungkan dua jari. Kamu tersenyum ke arah saya. Saya balas senyum itu. Lalu saya kehilangna jejak kamu.


Hei, Mas,

Meniqa, yuk?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...