Sabtu, 12 Juli 2014

Hidup Sehat di Belantara Jakarta

Dalam waktu nyaris sebulan saja, dua rekan kerja saya mengalami sakit parah. Kawan yang pertama, seorang laki-laki berusia 30-an, divonis menderita tumor paru-paru dan pengentalan darah. Berat badannya turun drastis dari 60 kg menjadi 41 kg. Wajahnya cekung dan tiap beberapa menit sekali dia terbatuk dahsyat sampai badannya terbungkuk-bungkuk. Saat ini, kawan saya itu sedang menjalani pengobatan di salah satu rumah sakit swasta di bilangan Mampang, Jakarta Selatan.


Kawan saya yang kedua, seorang petugas administrasi, perempuan berusia 23 tahun divonis gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seminggu sekali. Selain badan semakin mengurus, dia kini tidak bisa lagi bekerja seperti biasanya. Kelelahan sedikit saja, bisa membuatnya tidak sadarkan diri.


Ketika saya dan rekan-rekan kerja berencana menjenguk mereka, satu teman menyatakan dirinya tidak bisa ikut karena sinusitis yang diidapnya sedang kambuh. Satu teman lagi, tidak bisa ikut karena harus menjaga ibunya yang sedang dalam masa pemulihan pasca operasi pengangkatan rahim.


Ada dua kemungkinan. Pertama, saya memang berada di lingkungan orang-orang "penyakitan". Kedua, masa sekarang ini, penyakit memang sedang menyerang dimana-mana. Sekarang, coba anda hitung berapa jumlah kerabat anda yang sakit. Kalau tidak sebanyak jumlah kerabat saya, anda patut bersyukur. Kalau sebanyak atau malah lebih banyak dari jumah kerabat saya, kita patut waspada bahwa penyakit memang sedang mengintai kita.


Sakitnya Hidup Sehat

Saya rasa, kunci hidup sehat cuma tiga; makan makanan sehat, istirahat yang berkualitas dan olahraga teratur. Setiap anda berobat, tiga hal itu biasanya akan disampaikan dokter setelah menyampaikan obat-obatan yang harus anda minum.

Hidup saya sendiri, belum bisa disebut sehat. Saya sulit mendapatkan kualitas istirahat yang baik, karena saya senang bergadang. Tidak jarang, sesudah bergadang hampir semalam suntuk, saya melanjutkan bekerja di pagi harinya. Saya hanya tidur 3 atau 4 jam sehari. Hal itu tentu saja tidak sehat. Saya berupaya keras agar jam tidur saya meningkat. Namun, sebagai seorang yang sok "nyeni", kondisi otak saya memang sedang asik-asiknya diajak berpikir di jam-jam tengah malam hingga menjelang subuh. Saya sadar saya harus menghentikan kemalasan saya dan berhenti beralasan. Saya harus segera memperbaiki jam tidur saya.

Soal olahraga teratur, saya rasa kebanyakan dari kita punya persepsi yang salah soal olahraga. Termasuk saya sendiri. Kita seringkali mengira, ketika kita banyak bergerak dan banyak berkeringat, itu sudah dinamakan olahraga. Padahal, dalam gerakan kita itu, bisa saja kita melakukan hal yang justru merusak otot kita alih-alih melatihnya. Keseharian saya sebagai guru TK membuat saya banyak bergerak dan berkeringat. Mengejar anak-anak yang berhamburan ke segala arah, menggendong mereka, melompat dan menangkap mereka agar tidak jatuh adalah serangkaian gerakan akrobat harian yang harus saya lakukan. Namun tentu saja tidak semua bisa dihitung olahraga. Saya akan segera menyisakan dua hari dari satu pekan saya untuk olahraga yang benar.

Hal yang saat ini sudah saya lakukan untuk hidup sehat adalah menjaga pola makan. Saya rasa, hal inilah yang paling vital dari ketiga kunci itu, sekaligus hal yang paling gampang dilakukan.

Saya sudah meninggalkan kopi, minuman kecintaan saya. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali saya minum kopi. Setiap kali ada di coffe shop saya paling nekat hanya memesan green tea latte. Tidak lebih dari itu. Sebenarnya kopi bisa jadi minuman yang menyehatkan, hanya saja lambung saya sudah melewati serangkaian infeksi, sehingga saya memang disarankan untuk menjauh dari kopi.


Saya memakan sedikitnya dua jenis sayuran dan satu jenis buah setiap harinya. Khusus untuk wortel, saya selalu memakannya dalam keadaan mentah demi nutrisi yang utuh. Untuk buah, saya menghindari buah dalam bentuk jus. Sebab, buah-buahan akan memberi manfaat maksimalnya pada tubuh kita jika dicampur dengan enzim yang terdapat di air liur kita. Selain itu, dengan mengunyah buah utuh, gigi dan gusi kita akan turut merasakan manfaat buah. Hal itu tidak bisa anda dapatkan jika anda meminum jus. Apalagi, jika jus yang anda minum dicampur dengan banyak sekali es batu, gula atau susu.


Saya sedang mencoba untuk menjadi vegetarian. Dalam seminggu, saya menjatah diri saya untuk makan daging hanya dua kali. Selebihnya, saya makan dengan lauk tahu, tempe dan telur. Saya menjaga agar penyakit hipertensi yang dimiliki kedua orang tua saya tidak "turun" ke saya. Di antaranya dengan mengurangi konsumsi daging.


Makanan yang saya makan dimasak dengan cara direbus dan tanpa garam. Saya juga membiasakan diri untuk minum teh hijau tanpa gula setiap hari.


Apakah dengan gaya hidup seperti itu ada yang mencibir saya? Banyak. Ada yang bilang saya sok higienis, sok bergaya hidup sehat dan sok-sok lainnya. Tapi saya mengingatkan diri saya, ketika saya sakit diri sayalah yang paling menderita, bukan orang lain yang menghakimi saya dengan "sok-sok" tersebut. Jadi, lebih baik saya dianggap "sok" daripada menyakiti diri sendiri. Orang akan selalu menilai, akan selalu menghakimi, tapi ini hidup saya. Saya pemegang kendali atas apapun yang ada di dalamnya.


UMR Jakarta, Standar Hidup dan Standar Kesehatan

Kita tidak bisa bohong. Sebesar apapun kota Jakarta, kebanyakan orang di dalamnya hidup dengan standar yang amat menyedihkan. Saya membuat sebuah ilustrasi untuk perbandingan.


Di Belantara Jakarta, hiduplah seorang perempuan perantau bernama Mbak Van. Mbak Van bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji standar UMR Jakarta sejumlah 2.400.000,- tanpa tunjuangan tambahan. Asuransi kesehatannya tidak dijamin perusahaan, karena perusahaan tempat Mbak Van bekerja adalah satu dari sekian perusahaan yang tidak mau bertanggung jawab atas kesehatan pekerjanya. Jadi, kalo sakit, Mbak Van akan berobat sendiri dengan biaya sendiri.

Dengan gaji itu Mbak Van harus menutupi beberapa kebutuhan bulanan. Mbak Van harus membayar sewa kost seharga Rp.500.000,-. Untuk keperluan kebersihan (mandi, cuci, dsb), Mbak Van mengeluarkan Rp.200.000,-. Untuk kebutuhan pulsa, karena masih berstatus jomblo, Mbak Van hanya menghabiskan Rp.100.000,- untuk pulsa telepon. Hubungan teleponnya hanya terbatas untuk orang tua dan teman-teman saja. Kalau sudah punya pacar, mungkin biaya ini akan naik hingga dua kali lipat. Agar tidak terbelakang dalam informasi, Mbak Van menghabiskan Rp. 100.000,- untuk biaya kuota internet. Untuk biaya tidak terduga, Mbak Van mengalokasikan Rp. 100.000,-.


Total keseluruhan biaya bulanan itu adalah Rp. 1.000.000,-. Sekarang, kita masuk ke pengeluaran yang paling besar yaitu biaya makan. Mbak Van biasanya makan di warteg dengan biaya rata-rata Rp.10.000,- untuk sekali makan. Dalam sehari, Mbak Van akan menghabiskan Rp.30.000,- untuk makan. Dikali 30 hari, jumlah yang harus dikeluarkan adalah Rp. 900.000,-


Sisa dari gaji Mbak Vantad setelah semua pengeluaran adalah Rp.500.000,-. Ini dialokasikan Mbak Van untuk menabung untuk masa depan. Ya, kali aja ntar ada yang ajak nikah, gitu. Tapi tabungan itu tidak aman. Mbak Van kan juga pingin sekali-sekali nonton di 21 atau makan di mall sama teman-teman. Selain itu, Mbak Van juga hobi baca buku. Sehingga, sering kali sisa gajinya hanya seratus atau dua ratus ribu rupiah saja. Sedih, yes?

Masalahnya, menu makan seperti apa yang dimakan Mbak Van dengan alokasi dana seperti itu? Dengan harga seperti itu, Mbak Van makan di warteg kecil pinggir jalan. Warteg kecil? Emang ada warteg besar? Ada, dong. Warteg besar itu terdapat di kawasan perkantoran, warteg dengan konsep modern dan higienitas yang terjaga. Sementara warteg tempat Mbak Van makan adalah warteg dengan fasilitas air seadanya. Warteg yang etalasenya sering dirubung lalat, airnya tidak dimasak hingga matang dan sayurannya tidak segar. Hanya warteg-warteg macam inilah yang bisa mengakomodir kebutuhan makan Mbak Van dengan kemampuannya.


Di sinilah letak penurunan kualitas hidup yang saya bicarakan tadi. Kebanyakan pekerja di Jakarta terpaksa makan makanan "pinggir jalan" ini, mengabaikan kebersihan dan kesehatan agar harganya pas di kantong. Tidak terbayang berapa banyak makanan tidak sehat yang harus kita cerna. Dan kalau kita sakit karena makanan itu, kita harus bayar biaya berobat sendiri. Sekarang, mana tuh, manusia yang teriak-teriak kalau buruh udah keenakan punya gaji besar? Mana tuh yang teriak-teriak kalau buruh kebanyakan nuntut?


Saya pribadi, alhamdulillah, sudah membiasakan diri untuk terlepas dari makanan warteg, warung tenda dan abang-abang gerobak. Sekali lagi, dengan keputusan saya ini saya sering dibilang "sok". Tapi sekali lagi, ini hidup dan tubuh saya. Saya adalah manusia yang paling bertanggung jawab atas diri saya sendiri.

Tapi, seberapa banyak dari pekerja-pekerja kecil di Jakarta yang bisa terlepas dari makanan itu? Efek jangka pendek dari makanan itu mungkin tidak lagi terasa karena sistem pencernaan kita sudah beradaptasi dengan makanan-makanan kotor. Tapi bagaimana dengan efek jangka panjang? Cukupkah tabungan anda untuk menanggungnya kelak? Betapa menyedihkannya, ketika muda orang-orang bekerja keras tanpa peduli kesehatan dan ketika tua didera penyakit. Mending kalo punya tabungan.


Memulai


Memulai bukan sesuatu yang gampang, tapi harus dilakukan. Anda tentu tidak mau masa muda anda, anda gunakan untuk menabung penyakit karena makanan dan gaya hidup. Saya sudah hampir tiga bulan menjalani program hidup sehat versi saya. Saya tahu masih banyak kekurangannya, namun saya terus berusaha memperbaiki.


Jalan ini tidak mulus. Saya langsung kena diare karena suatu kali "terpaksa" makan sepiring batagor di pinggir jalan. Saya juga mual berhari-hari karena nasi goreng kambing di pinggir jalan yang penuh dengan minyak. Ternyata sistem pencernaan saya tidak lagi menerima makanan yang kurang higienis. Jadi, untuk ke depannya, pasti saya akan sering sakit karena "salah makan". Apa boleh buat, makan seperti itu sangat sulit dihindari di Jakarta. Belum lagi, orang-orang yang selalu melabeli saya dengan kata "sok".


Tapi saya mau sehat. Bagaimana dengan kamu?


2 komentar:

  1. Nice, i want to try to be vegetarian again.
    Huft how hard this thing when i'm in Capital City like this,,
    Thanks for the inspirational wrote..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes, it IS hard.
      but, here's a small tip: buy huge amount of veggies at market, slice them into tiny pieces, put them on plastic bag and store them in the freezer. they will last for days. every time you have to eat, just boil them like you boil indomie :D

      Hapus

Tiada kesan tanpa komentarmu...