Minggu, 06 April 2014

Tempat Teraneh untuk Patah Hati

"I'm at critical moment now.
I can't handle this.
I need someone to talk to.
Meet me at the Smutzcher Primate Center.
Please."



Tawa saya langsung meledak membaca pesan singkat itu. Sebuah respon yang kurang manusiawi. Tidak seharusnya saya menertawai pesan dari teman yang sedang dalam kesusahan itu. Dia sedang bermasalah dengan kehidupan asmaranya, sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan dengan detil di sini. Kalau anda pikir ini adalah soal asmara remeh-temeh, soal putus dengan pacar atau sebagainya, anda salah. Dia adalah seorang laki-laki yang sudah menikah. Dengan kalimat tadi, saya rasa anda bisa merasakan komplikasinya.


Terkutuklah saya yang mentertawai kesulitan orang, terlebih kesulitan itu menyangkut kelangsungan hidup dua keluarga besar dan satu keluarga kecil. Namun, tidakkah Smutzcher Primate Center adalah sebuah tempat yang aneh untuk bercerita soal patah hati? Maksud saya, kenapa dia harus memilih tempat yang penuh dengan monyet-monyet bergelantungan untuk urusan seperti ini? Sudah terbakarkah semua kafe atau tempat nongkrong lain di Jakarta?

Seberapa anehpun itu, saya berangkat menemuinya. Saya memang bukan sahabat terbaiknya, bukan pula orang paling bijak yang dikenalnya. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Katanya, dia bisa gila kalau memendam semuanya sendiri. Sahabat-sahabatnya, adalah laki-laki dengan 1 atau 2 anak yang sudah memiliki tanggung jawab dan kerepotan hidup masing-masing. Tidak ada waktu untuk curhat, bahkan waktu untuk diri sendiripun langka. Dia juga tidak mungkin curhat pada keluarganya sendiri, demi menjaga perasaan mereka.

Saya berangkat, dengan dua keberatan di benak yang tidak berhasil menahan saya. Pertama, saya bukanlah adalah perempuan yang bukan siapa-siapanya. Saya tidak layak mencampuri urusan keluarganya. Di mata masyarakat, sungguh tidak baik kalau saya terlihat mengobrol berdua dengan suami orang. Kedua, saya tidak punya saran yang baik soal cinta. Nasihat seperti apa yang dia harapkan dari seseorang yang tidak bisa sembuh dari luka masa lalu seperti saya?

---

Dia memakai masker yang menutupi hidung dan mulutnya, juga sebuah topi yang dirapatkan dan menutup alisnya. Tidak akan ada yang mengenalinya. Tidak akan ada masalah yang muncul jika kamu duduk sejajar seperti layaknya teman. Saya sudah cukup terbiasa dengan polemik ini. Kata orang, tidak mungkin perempuan dan laki-laki itu saling bersahabat, pasti ada sesuatu yang lebih. Itu tidak terbukti pada saya. Saya punya banyak sahabat laki-laki. Satu di antara mereka sudah hampir delapan tahun jadi sahabat saya. Lalu percakapan itu kami mulai, seperti selayaknya sahabat.



"Gue nggak tahu kalo pernikahan bisa sesulit ini, Lung," kata sambil mencolak-colek layar ponselnya yang penuh dengan foto bayi mungil mereka yang baru berusia beberapa bulan. Bayi itu merubah segala cara pikirnya. Sebenarnya masalah yang dia hadapi cukup sepele. Hanya saja semuanya jadi sulit karena dia grogi dalam mengambil keputusan. Setiap keputusannya akan mempengaruhi bayi mungil dan lucu itu. Setiap tindakannya akan menentukan masa depan gadis kecilnya itu. Itu yang membuat segalanya lebih menegangkan.


"Santai aja. Ini wajar di awal-awal pernikahan. Kalian berdua itu orang yang puluhan tahun menjalani hidup masing-masing. Jadi butuh waktu untuk saling menyesuaikan ketika bersama," kataku sok bijak.


"I'm tired. Too bitter to taste."


"Hold on."


Lalu kami terdiam.



"It's a good sign, Bleh. Ketika pernikahan itu masih ada rasanya. Kalian masih bisa merasa pahit, merasakan manis. Itu tandanya hubungan kalian masih hidup, masih ada harapan untuk menjadi lebih baik. Lain halnya kalau lu udah mati rasa, udah nggak ngerasa apa-apa lagi. Semuanya datar. Rutin. Membosankan. Itu tanda sebuah hubungan yang sudah mati. That's what you should afraid of. Not this one and not now."


Entah dari mana saya dapat kata-kata itu. Entah apa yang membuat saya mengatakannya. Setelah makan es krim kami pulang.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...