Sabtu, 21 Desember 2013

Selamat Hari Ibu, Mamak.

Mak, apa aku ini anak durhaka? Bertahun-tahun aku menulis banyak hal untuk berbagai pekerjaan, hobi, blog, majalah dan laki-laki. Belum pernah sekalipun aku menulis surat untuk Mamak. Besok hari ibu, Mak. Sesekali, anakmu yang sok anti mainstream ini pingin juga merayakannya. Jadi, kutulis surat ini untuk mamak. Meski mata mamak yang rabun jauh itu bakal sulit membacanya.


Aku beruntung punya ibu yang luar biasa lucu seperti mamak. Orang-orang selalu bilang aku pintar melucu. Kurasa itu diturunkan dari mamak. Sampai saat ini aku tidak bisa berhenti tertawa mengingat ketika mamak mencoba memotong sendiri rambut mamak yang kribo itu. Bukannya membentuk poni, rambut depan mamak malah menggulung ke atas, seperti ombak sedang pasang.

Salah satu ketakutan paling besarku adalah menjadi ibu, Mak. Aku tidak bisa membayangkan membesarkan seorang manusia di tengah kondisi lingkungan tercemar, kerapuhan mental, tingkat kriminalitas yang tinggi an seterusnya. Lebih dari itu, aku sangat takut memiliki anak seperti diriku.

Percayalah, Mak, sebenarnya terkadang aku sendiri merinding memikirkan kekeras-kepalaan dan keteledoranku. Hampir delapan tahun kuhabiskan waktuku untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mamak mengerti. Sesuatu yang tidak bisa mamak banggakan ketika ibu-ibu lainnya menceritakan soal anak mereka yang jadi PNS. Bertahun-tahun menjadi anak yang berbeda dari anak-anak tetangga kita yang bekerja di bank atau kantor lainnya. Bertahun-tahun kuhabiskan hidup di kota yang sangat jauh dari mamak. Sesekali aku melakukan perjalanan-perjalanan ke kota-kota lain, yang tak kukenali, sendiri. Aku juga mempunyai keinginan-keinginan besar, yang gagal kucapai dan selalu kutangisi. Mamak selalu bingung tentang apa yang aku inginkan dan apa yang aku tangisi. Akulah anak dengan kerapuhan emosi akut itu, Mak. Ya, akulah si keras kepala yang sukar mamak pahami apa maunya.


Namun dengan keikhlasan dan keberanian yang sama hebatnya, mamak membiarkan aku memilih jalanku. Membiarkan aku lebih memilih buku ketimbang obat jerawat, memilih gunung ketimbang belanja, memilih komputer ketimbang mengunjungi saudara, memilih merantau ketimbang duduk manis di rumah, memilih bergadang berhari-hari, memilih mimpi tak masuk akal ketimbang jadi PNS, memilih semua pilihan yang dicibiri orang. Mamak demikian hebat hingga mampu membiarkan si bungsu yang teledor dan sakit-sakitan ini memilih hidupnya. Apa jadinya aku kalau menjadi ibu dari anak yang sekeras itu?


Mak, tentu tak baik kalau aku mengibaratkan mamak seperti sebuah benda. Namun, aku selalu melihat sebuah jembatan dalam diri mamak. Mamaklah jembatan itu, yang menghubungkan seorang anak bungsu keras kepala dan seorang ayah yang melankolis. Mamaklah yang selalu merapikan apa-apa yang kacau dari komunikasiku dengan ayah. Menghangatkan apa-apa yang mendingin diantara kami berdua.


Aku ingin sekali membanggakan mamak seperti anak-anak lain, Mak. Tapi aku lebih ingin menjalani hidupku dengan pilihan-pilihanku sendiri. Meski pilihan itu akhirnya membuat aku berjalan pincang karena terlalu sering terjatuh. Tapi mamak selalu menunjukkan sorot itu. Sorot bahwa mamak tak butuh dibikin bangga, sorot bahwa mamak menerima anak paling gagal sekalipun dengan pelukan hangat. Itulah yang membuat aku berani hidup tanpa merasa gagal jadi anak yang baik, Mak. Itulah cinta paling murni yang pernah kulihat.



Selamat hari ibu, mamakku sayang. Sehatlah selalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...