Kamis, 26 Desember 2013

Kabar Buruk



Namanya Debur Ombak Selatan.

Oke, orang tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan? Mungkin orang tua sok eksentrik dan menamai anak-anak mereka dengan nama sok unik. Menurutku, tak ada gunanya menamai anak dengan nama yang bagus. Karena toh nama hanyalah nama. Karena kelak, anak itu akan diberi julukan oleh teman-temannya. Julukan itulah yang akan melekat, paling sering disebut dan lebih dikenal ketimbang nama asli. Ya, kau tentu kenal seseorang bernama Yusuf dan tahu bagaimana hampir semua Yusuf berakhir dengan panggilan “Ucup”.

Pendapatku itu belum tentu benar. Pendapatku itu mungkin saja bagian dari sensitifnya orang yang memiliki nama jelek. Namaku Ani. Tiga huruf itu saja, tanpa nama panjang. Kalau orang tua yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan adalah orang yang terlalu rajin, maka orang tuaku adalah jenis yang terlampau malas. Mereka memilihkan nama klise itu padaku. Nama yang selalu tertera di buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar. Ini ibu Ani. Ani pergi ke pasar. Ani sedang bermain.

Ani yang ada dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia itu selalu tampak tenang, ya? Hidupnya wajar-wajar saja. Dia juga melakukan hal yang wajar-wajar. Sementara aku adalah Ani yang beda. Ani yang ini tak pernah pergi ke pasar. Ani yang ini tak senang bermain. Ani yang ini, lebih senang menghabiskan hidupnya di atas tempat tidur, membaca buku dan tidak suka bergaul. Entah kenapa berinteraksi dengan banyak orang terasa melelahkan bagiku. Setelah datang ke sebuah pesta, misalnya, aku merasa sangat capek hingga mampu tidur seharian.

Oh ya, kembali ke Debur Ombak Selatan. Kukira orang tuanya kurang teliti dalam memilih nama. Nama itu kurang satu kata. Harusnya dia bernama Debur Ombak Laut Selatan.  Segala sesuatu yang di selatan belum tentu laut, kan? Debur Ombak Laut Selatan. Wah, itu jadi nama yang lebih jelek, ya?

Apapun alasannya, menamai dia Debur Ombak adalah hal yang salah.  Ah, andai saja kau pernah melihat anak laki-laki itu. Dia sama sekali tidak seperti ombak, apalagi ombak yang berdebur.  Jika aku jadi ibunya, akan kunamai dia ‘Ambang Batas’. Jangan tertawa. Aku tahu nama ini jauh lebih konyol dari Debur Ombak Selatan, tapi setidaknya itu lebih menggambarkan dia. Setiap melihatnya, aku seperti berada di perbatasan antara memilki-kehilangan, kesepian-keramaian, bahagia-sedih, gelap-terang.
Kau tahu, aku seharusnya tidak ke sini. Tidak pergi ke taman ini, tidak duduk di bangku ini dan tidak juga mengajak orang asing mengobrol seperti ini. Percayalah, ini bukan kebiasaanku. Aku belum pernah mengajak orang asing mengobrol panjang. Terlebih mengenai seseorang yang kusuka. Kau pasti berpikir aku ini orang aneh, kan? Tak apa, memang banyak yang bilang seperti itu.

Kau boleh menganggapku gila, bodoh, aneh, apa saja. Asal kau jangan pergi, ya? Aku sangat butuh didengarkan. Kali ini aku ingin bercerita sepanjang-panjangnya. Kurasa dua puluh lima tahun jadi orang pendiam, melelahkan juga. Kurasa karena aku pendiam inilah urusan cintaku jadi rumit.

Sudah tiga tahun aku mengenal Debur. Namun, kami tidak banyak mengobrol. Debur sangat ramah.  Setiap kali melihatku di kampus, dia akan menegur, menanyakan banyak hal. Setiap itu pula, seluruh katup yang ada di tubuhku rasanya tertutup. Katup jantungku rasanya menyempit, tanganku dingin karena tak kebagian aliran darah. Katup pernapasanku juga tak berfungsi. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti tersangkut di tenggorokan. Otakku tak bisa berhenti berpikir; aku harus menjawabnya dengan nada riang, tidak boleh mengatakan kalimat bodoh, harus terlihat intelek, jangan tertawa terlalu lebar, jangan terlalu bersemangat sampai memuncratkan ludah, jangan membuat pembicaraan yang membosankan. Ini bagian sialnya; saking banyaknya hal yang kupikirkan, mulutku tidak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya sanggup menjawabnya dengan jawaban yang pendek-pendek.

Itulah yang akhirnya membuat Debur berpikir bahwa aku ini orang yang sombong. Dia tidak tahu, aku jadi begini karena terlalu mengaguminya. Aku tidak berani menatap matanya karena mata indah itulah yang kerap membuatku merasa buruk rupa dari ujung rambut hingga kaki. Setiap pagi aku merencanakan akan membicarakan apa padanya, namun konsentrasiku bubar setiap kali melihat wajahnya. Debur membuat aku bahagia bisa melihat makhluk seindah dia, namun membuatku sedih dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa memilikinya.

Aku tahu kisah ini tidak penting bagimu, tidak menarik untuk didengarkan. Tapi, tolonglah, jangan pergi dulu. Aku ingin sekali bicara panjang. Rasanya, jika semenit saja aku diam, aku bisa gila.

Kau pernah mendapat kabar buruk?

Aku jarang mendapat kabar buruk. Kabar buruk yang datang kali ini menghadirkan rasa sakit yang luar biasa. Awalnya sesuatu di dadaku terasa ngilu. Lama-kelamaan seluruh sendi-sendiku ngilu. Kemudian aku merasa seluruh tubuhku berubah jadi rasa ngilu. Kalau saja aku bisa menangis, tentu saja aku akan merasa sedikit lega. Tapi aku tidak bisa menangis sama sekali.

Kau tahu, tadi aku mendapat undangan pernikahan Debur. Lucu, ya? Ketika aku dalam tiga tahun berusaha terbata-bata agar bisa berbicara lancar di depannya, dia malah sudah menemukan orang lain. Orang yang diyakininya untuk menjadi teman seumur hidup.

Pernahkah kamu merasa hidup ini lucu?
---
“Aku tadi pergi ke taman komplek dekat rumah.”
Ngapain?”
“Tidak apa-apa. Ingin duduk saja. Pernikahan kita tinggal menghitung hari. Kelak aku akan jarang punya waktu untuk sendiri.”
“Begitu?”
“Ya. Menurutmu, di dunia ini ada berapa laki-laki yang bernama Debur Ombak Selatan?”
“Hmmmm. Mungkin cuma satu, cuma aku. Kenapa tiba-tiba tanya itu?”
“Tadi , di taman aku diajak ngobrol oleh orang asing. Dia jatuh cinta setengah mati pada Debur Ombak Selatan. Dia terlihat sangat menderita. Mukanya pucat, tatapannya kosong.”
“Siapa?”
“Namanya Ani.”
“Ya, Tuhan…”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Hidup ini lucu, ya? Bagaimana bisa kita tahu bahwa kebahagiaan kita membuat seseorang merasa sedih hingga seluruh tubuhnya ngilu?”
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...