Namanya
Debur Ombak Selatan.
Oke, orang
tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan? Mungkin orang tua sok eksentrik
dan menamai anak-anak mereka dengan nama sok unik. Menurutku, tak ada gunanya
menamai anak dengan nama yang bagus. Karena toh nama hanyalah nama. Karena
kelak, anak itu akan diberi julukan oleh teman-temannya. Julukan itulah yang
akan melekat, paling sering disebut dan lebih dikenal ketimbang nama asli. Ya,
kau tentu kenal seseorang bernama Yusuf dan tahu bagaimana hampir semua Yusuf
berakhir dengan panggilan “Ucup”.
Pendapatku
itu belum tentu benar. Pendapatku itu mungkin saja bagian dari sensitifnya
orang yang memiliki nama jelek. Namaku Ani. Tiga huruf itu saja, tanpa nama
panjang. Kalau orang tua yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan adalah orang
yang terlalu rajin, maka orang tuaku adalah jenis yang terlampau malas. Mereka
memilihkan nama klise itu padaku. Nama yang selalu tertera di buku pelajaran
Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar. Ini
ibu Ani. Ani pergi ke pasar. Ani sedang bermain.
Ani yang ada
dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia itu selalu tampak tenang, ya? Hidupnya
wajar-wajar saja. Dia juga melakukan hal yang wajar-wajar. Sementara aku adalah
Ani yang beda. Ani yang ini tak pernah pergi ke pasar. Ani yang ini tak senang
bermain. Ani yang ini, lebih senang menghabiskan hidupnya di atas tempat tidur,
membaca buku dan tidak suka bergaul. Entah kenapa berinteraksi dengan banyak
orang terasa melelahkan bagiku. Setelah datang ke sebuah pesta, misalnya, aku
merasa sangat capek hingga mampu tidur seharian.
Oh ya,
kembali ke Debur Ombak Selatan. Kukira orang tuanya kurang teliti dalam memilih
nama. Nama itu kurang satu kata. Harusnya dia bernama Debur Ombak Laut Selatan.
Segala sesuatu yang di selatan belum
tentu laut, kan? Debur Ombak Laut Selatan. Wah, itu jadi nama yang lebih jelek,
ya?
Apapun
alasannya, menamai dia Debur Ombak adalah hal yang salah. Ah, andai saja kau pernah melihat anak
laki-laki itu. Dia sama sekali tidak seperti ombak, apalagi ombak yang
berdebur. Jika aku jadi ibunya, akan
kunamai dia ‘Ambang Batas’. Jangan tertawa. Aku tahu nama ini jauh lebih konyol
dari Debur Ombak Selatan, tapi setidaknya itu lebih menggambarkan dia. Setiap
melihatnya, aku seperti berada di perbatasan antara memilki-kehilangan,
kesepian-keramaian, bahagia-sedih, gelap-terang.
Kau tahu,
aku seharusnya tidak ke sini. Tidak pergi ke taman ini, tidak duduk di bangku
ini dan tidak juga mengajak orang asing mengobrol seperti ini. Percayalah, ini
bukan kebiasaanku. Aku belum pernah mengajak orang asing mengobrol panjang.
Terlebih mengenai seseorang yang kusuka. Kau pasti berpikir aku ini orang aneh,
kan? Tak apa, memang banyak yang bilang seperti itu.
Kau boleh
menganggapku gila, bodoh, aneh, apa saja. Asal kau jangan pergi, ya? Aku sangat
butuh didengarkan. Kali ini aku ingin bercerita sepanjang-panjangnya. Kurasa
dua puluh lima tahun jadi orang pendiam, melelahkan juga. Kurasa karena aku
pendiam inilah urusan cintaku jadi rumit.
Sudah tiga
tahun aku mengenal Debur. Namun, kami tidak banyak mengobrol. Debur sangat
ramah. Setiap kali melihatku di kampus,
dia akan menegur, menanyakan banyak hal. Setiap itu pula, seluruh katup yang
ada di tubuhku rasanya tertutup. Katup jantungku rasanya menyempit, tanganku
dingin karena tak kebagian aliran darah. Katup pernapasanku juga tak berfungsi.
Setiap tarikan napas terasa berat, seperti tersangkut di tenggorokan. Otakku
tak bisa berhenti berpikir; aku harus
menjawabnya dengan nada riang, tidak boleh mengatakan kalimat bodoh, harus
terlihat intelek, jangan tertawa terlalu lebar, jangan terlalu bersemangat
sampai memuncratkan ludah, jangan membuat pembicaraan yang membosankan. Ini
bagian sialnya; saking banyaknya hal yang kupikirkan, mulutku tidak bisa
bergerak sama sekali. Aku hanya sanggup menjawabnya dengan jawaban yang
pendek-pendek.
Itulah yang
akhirnya membuat Debur berpikir bahwa aku ini orang yang sombong. Dia tidak
tahu, aku jadi begini karena terlalu mengaguminya. Aku tidak berani menatap
matanya karena mata indah itulah yang kerap membuatku merasa buruk rupa dari
ujung rambut hingga kaki. Setiap pagi aku merencanakan akan membicarakan apa
padanya, namun konsentrasiku bubar setiap kali melihat wajahnya. Debur membuat
aku bahagia bisa melihat makhluk seindah dia, namun membuatku sedih dengan
kenyataan bahwa aku tidak bisa memilikinya.
Aku tahu
kisah ini tidak penting bagimu, tidak menarik untuk didengarkan. Tapi, tolonglah,
jangan pergi dulu. Aku ingin sekali bicara panjang. Rasanya, jika semenit saja
aku diam, aku bisa gila.
Kau pernah
mendapat kabar buruk?
Aku jarang
mendapat kabar buruk. Kabar buruk yang datang kali ini menghadirkan rasa sakit
yang luar biasa. Awalnya sesuatu di dadaku terasa ngilu. Lama-kelamaan seluruh
sendi-sendiku ngilu. Kemudian aku merasa seluruh tubuhku berubah jadi rasa
ngilu. Kalau saja aku bisa menangis, tentu saja aku akan merasa sedikit lega.
Tapi aku tidak bisa menangis sama sekali.
Kau tahu,
tadi aku mendapat undangan pernikahan Debur. Lucu, ya? Ketika aku dalam tiga
tahun berusaha terbata-bata agar bisa berbicara lancar di depannya, dia malah
sudah menemukan orang lain. Orang yang diyakininya untuk menjadi teman seumur hidup.
Pernahkah
kamu merasa hidup ini lucu?
---
“Aku tadi
pergi ke taman komplek dekat rumah.”
“Ngapain?”
“Tidak apa-apa. Ingin duduk saja. Pernikahan kita tinggal
menghitung hari. Kelak aku akan jarang punya waktu untuk sendiri.”
“Begitu?”
“Ya. Menurutmu, di dunia ini ada berapa laki-laki yang
bernama Debur Ombak Selatan?”
“Hmmmm. Mungkin cuma satu, cuma aku. Kenapa tiba-tiba tanya itu?”
“Tadi , di taman aku diajak ngobrol oleh orang asing. Dia jatuh
cinta setengah mati pada Debur Ombak Selatan. Dia terlihat sangat menderita.
Mukanya pucat, tatapannya kosong.”
“Siapa?”
“Namanya Ani.”
“Ya, Tuhan…”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Hidup ini lucu, ya? Bagaimana bisa kita tahu bahwa kebahagiaan
kita membuat seseorang merasa sedih hingga seluruh tubuhnya ngilu?”
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tiada kesan tanpa komentarmu...