Jumat, 27 Desember 2013

Jangan Bungkukkan Bahu, Kau Tampak Kesepian

Kau tahu kenapa aku tidak pernah takut pada gunung curam, kota-kota asing dan ombak? Karena aku tahu itu semua tidak akan bisa menyakitiku separah kenangan. Kenangan. Kenangan. Aku ingin sekali, seumur hidupku, mengulangi kata itu terus-menerus. Hingga mulutku mati rasa, hingga kata itu kehilangan arti.

Betapa lupa itu adalah anugerah. Kukira, jika aku berhasil membuang kenangan ini dari kepalaku, tubuhku akan jauh lebih ringan.

"Jangan bungkukkan bahu ketika berjalan, Nak. Kau tampak seperti orang kesepian."

Ibuku selalu bilang begitu. Beliau pasti sangat sedih jika tahu bahwa aku bepergian dari satu kota ke kota lain dengan bahu sebungkuk ini. Ya, aku kesepian sekaligus merasa dibebani kenangan. Aku menutupinya dengan ransel besar. Terus berjalan, ke arah-arah yang tak kukarang sebelumnya. Dengan kereta ekonomi, bis rombeng, kapal, pesawat murah.

Apa yang aku cari? Tidak ada. Aku hanya ingin membuang kenangan ini sejauh mungkin. Namun, sejauh apapun perjalanan itu, ketika aku membuka pintu kamar, kenangan itu sudah menunggu di atas tempat tidur. Perlawanan terbaik yang bisa kulakukan terhadapnya adalah kembali mengangkat ransel dan pergi.

Kau tahu, bau parfummu mengikuti aku hingga Ranu Pane, betapapun tempat itu menebarkan bau rumput yang sengit. Aku merasa teduh sorotmu memandangiku di antara kabut Mandalawangi yang turun perlahan. Suaramu mengikutiku ke penginapan kecil di gang-gang sempit di Malioboro. Kau bahkan tak membiarkanku sendiri ketika aku di puncak Rinjani. Kau mengikut, menyergapku di tengah-tengah pelarianku.

Ini bukan soal tiga tahun yang kuhabiskan denganmu. Bukan juga soal harga diriku yang terluka ketika kau mempecundangiku lewat undangan pernikahanmu yang berwarna ungu muda. Ini soal perasaan terbuang. Kadang aku merasa seperti anak kucing yang kaupungut dari jalan, namun kemudian kau buang lagi. Aku terus mengikutimu, meski kau mengangkatku, menaruhku lagi ke tempat dimana kau buang aku. Aku terus mengikutimu, karena arah manapun asing bagiku. Aku hanya terbiasa denganmu.

Perjalanan ini terasa dingin dan sepi. Aku hanya punya satu cara menghangatkan rongga dada: merindukanmu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...