Kau tahu kenapa aku tidak pernah takut pada gunung curam, kota-kota asing
dan ombak? Karena aku tahu itu semua tidak akan bisa menyakitiku separah
kenangan. Kenangan. Kenangan. Aku ingin sekali, seumur hidupku, mengulangi kata
itu terus-menerus. Hingga mulutku mati rasa, hingga kata itu kehilangan arti.
Betapa lupa itu adalah anugerah. Kukira, jika aku berhasil membuang kenangan
ini dari kepalaku, tubuhku akan jauh lebih ringan.
"Jangan bungkukkan bahu ketika berjalan, Nak. Kau tampak seperti
orang kesepian."
Ibuku selalu bilang begitu. Beliau pasti sangat sedih jika tahu bahwa aku
bepergian dari satu kota ke kota lain dengan bahu sebungkuk ini. Ya, aku
kesepian sekaligus merasa dibebani kenangan. Aku menutupinya dengan ransel
besar. Terus berjalan, ke arah-arah yang tak kukarang sebelumnya. Dengan kereta
ekonomi, bis rombeng, kapal, pesawat murah.
Apa yang aku cari? Tidak ada. Aku hanya ingin membuang kenangan ini sejauh
mungkin. Namun, sejauh apapun perjalanan itu, ketika aku membuka pintu kamar,
kenangan itu sudah menunggu di atas tempat tidur. Perlawanan terbaik yang bisa
kulakukan terhadapnya adalah kembali mengangkat ransel dan pergi.
Kau tahu, bau parfummu mengikuti aku hingga Ranu Pane, betapapun tempat itu
menebarkan bau rumput yang sengit. Aku merasa teduh sorotmu memandangiku di
antara kabut Mandalawangi yang turun perlahan. Suaramu mengikutiku ke
penginapan kecil di gang-gang sempit di Malioboro. Kau bahkan tak membiarkanku
sendiri ketika aku di puncak Rinjani. Kau mengikut, menyergapku di
tengah-tengah pelarianku.
Ini bukan soal tiga tahun yang kuhabiskan denganmu. Bukan juga soal harga
diriku yang terluka ketika kau mempecundangiku lewat undangan pernikahanmu yang
berwarna ungu muda. Ini soal perasaan terbuang. Kadang aku merasa seperti anak
kucing yang kaupungut dari jalan, namun kemudian kau buang lagi. Aku terus
mengikutimu, meski kau mengangkatku, menaruhku lagi ke tempat dimana kau buang
aku. Aku terus mengikutimu, karena arah manapun asing bagiku. Aku hanya
terbiasa denganmu.
Perjalanan ini terasa dingin dan sepi. Aku hanya punya satu cara
menghangatkan rongga dada: merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tiada kesan tanpa komentarmu...