Selasa, 03 April 2012

Payung Teduh, teruslah sederhana

-Sebuah Review atau mungkin buku harian-

(-dan review tidak pernah se-bodoh ini. Maklum, yang nulis amatiran.)

Hujan deras mengamuk di kota Bekasi siang itu. Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 2. Anak-anak didik saya di KOPPAJA (Komunitas Peduli Pendidikan Anak Jalanan) masih sibuk dengan tali-tali, mereka sedang merangkai gelang. Setidaknya jam 3 nanti, saya harus berangkat dari sini agar sampai di Kemang tepat waktu. terlebih, saya kurang tahu letak Aksara dimana.

Hari itu, bisa jadi adalah hari yang ditunggu-tunggu banyak orang-orang yang rindu pada keteduhan. Hari itu adalah hari rilisnya album kedua Payung Teduh. Band sendu satu ini beberapa minggu terakhir tidak pernah lekang kepala saya. Jika view di video Resah yang ada di youtube bertambah drastis, itu mungkin adalah kerjaan saya. Membuka situs youtube dan mengetik kata kunci 'Payung Teduh' adalah ritual kedua yang saya lakukan begitu sampai di kantor setelah menyalakan komputer.


Dunia Batas. Hari ini, setelah penantian panjang, album itu akan diluncurkan. Namun semakin sore, hujan makin hebat mengamuk. setelah menyelimuti tas saya dengan cover bag dan melepas kaca mata, saya nekat menembus hujan. Untuk apa takut hujan? Toh, saya akan bertemu dengan Payung Teduh.



---
"Ke Kemang, Pak." ucap saya pada supir taksi. dia mengangguk, dari spion tampak mata tuanya yang ramah. kami sedikit bercerita tentang kenaikan bbm dan anaknya yang ingin kuliah.

Setelah berputar dua kali mengelilingi McD Kemang, akhirnya saya menemukan Aksara. Saya datang sendiri, berhubung saya sedikit sial. Sejak dulu sekali (saya bahkan lupa sejak kapan), selera musik saya selalu berbeda dengan orang-orang sekitar saya. Hasilnya, saya terbiasa menghadiri gigs sendirian. The Upstairs, SORE, White Shoes and The Couples Company, Rumah Sakit, Bangku Taman, entah sudah berapa kali saya  datang ke gigs sendirian.


Hari itu, Aksara penuh. pertama kali masuk ke Aksara saya mendapati Comi dengan baju lengan panjang ungu dan celana batik-nya. Ingin rasanya saya sapa, tapi malu. Sore itu saya sedang 'enggak banget'. Sendal gunung North Face yang kumal karena terkena hujan, baju acak-acakan karena beberapa kali ditarik-tarik anak didik saya, minta digendong.


tampak barisan anak-anak muda sudah berdiri terpana melihat penampilan Anehabis. Itu adalah kali pertama saya melihat penampilan band yang sama sekali tidak aneh itu. Tapi sudah sejak lama, dan sempat saya bilang pada Adink, kalau dia dan Mondo adalah kombinasi yang sempurna. Benar saja, Anehabis tampil memukau. Namun sayang ketika saya datang mereka sedang menyanyikan lagu terakhir.


Lagu pertama yang ditampilkan Payung Teduh setelah pemotongan tumpeng adalah "Cerita Tentang Gunung dan Laut". Grogi tampak jelas di wajah Is, sang vokalis.beberapa kali dia berhenti bicara dan menghela napas. gugup itu mungkin kombinasi antara rasa bahagia, tidak sabar dan haru. itu yang saya tangkap. Comi berkali-kali melemparkan senyum ke penonton. Cito beberapa kali menurunkan kupluknya hingga menutup mata, dan menaikkannya lagi. Entah kenapa wajahnya memancarkan raut "orang iseng dan tidak sabaran". Ivan tampak tenang, tidak menoleh kemana-mana, berkonsentrasi dengan okulele-nya. 

Pemandangan itu sangat teduh sekali. Mereka tidak seperti kebanyakan band lainnya. Sederhana adalah kata paling sempurna untuk menggambarkan mereka. Dengan sederhana mereka mengucapkan terima kasih yang tulus ke beberapa pihak. Dengan sederhana mereka menghanyutkan semua orang di Aksara hari itu. Dengan sederhana mereka menciptakan sihir. Dengan sederhana mereka menghangatkan senja mendung itu.


Hari itu tata panggung dan pencahayaan sangat unik. Saya jadi teringat pementasan teater, bukan gigs. di lagu pertama muncul sinden cantik dengan suaranya yang bikin merinding. dan yang tidak kalah menarik adalah barisan lima gadis cantik yang menjadi backing vokal. Indah sekali.


Secara sederhana, Aksara sore itu hanyut dalam nada. Saya memang pengangum nada. Tapi saya pemujua kata. salah satu yang menyebabkan saya jatuh cinta pada Payung Teduh adalah lirik mereka yang begitu "sastra".

Petikan gitar Is, dentuman bass Comi, hentakan drum Cito dan iringan okulele Ivan adalah harmonisasi sempurna. Tapi itu bukan kekuatan utama mereka. Kekuatan utama Payung Teduh justru kesederhanaan. Lirik lagu mereka yang begitu indah dan puitis tersampaikan dengan sederhana. Payung Teduh tidak berhenti pada tahap menampilkan, tapi mereka menyampaikan. Mendengarkan Payung Teduh, bagi saya seperti sedang diajak berdialog dengan seorang teman yang cerdas dan bijaksana. 


Mendengarkan Payung Teduh seperti diingatkan bahwa tidak ada yang perli dicemaskan, "Biarlah".  Mendengarkan Payung Teduh, saya diajari untuk berteman dengan sepi daripada mengutukinya, sebab sunyipun bisa bernyanyi, "sunyi ini merdu seketika".

Entalah, bagi saya, musik ini yang saya cari. Musik yang penuh kesederhanaan dan indah.


Payung Teduh adalah jendela. Dari jendela itu saya bisa melihat hujan yang indah, daun-daun gugur, orang-orang yang rindu, orang yang menanti, aspal basah yang dramatis, pelangi yang sebentar lagi muncul, dingin yang pas untuk berselimut. Sesekali saya bisa melihat pantulan wajah saya di jendela itu. Bukankah itu inti dari musik yang hebat? Musik dimana kau melihat apa yang kau ingin lihat, juga melihat wajahmu di dalamnya?


Payung Teduh, teruslah sederhana.




 

(Album payung teduh yang saya beli di Aksara. Jadi teman sehari-hari di kantor ^_^)



Review ngaco ini ditulis oleh:
Halimah
-penulis amatiran yang takut sama lele-

1 komentar:

  1. hei salam kenal, saya juga penyuka payung teduh,,,,
    lagunya sederhana tapi bermakna dalaaaam...
    :D

    BalasHapus

Tiada kesan tanpa komentarmu...