Senin, 20 Februari 2017

Berharap Kepada Guru yang Rendah Hati



Di tangan guru yang salah, belajar adalah proses yang menakutkan. Mereka tidak tahu caranya mengarahkan para murid untuk menimba ilmu, menuntaskan dahaga akan pengetahuan. Ilmu dipaksakan, dicekokkan ke mulut-mulut murid yang pasrah. Di tangan guru yang salah, pendidikan bisa menjadi mesin pembunuh, sesuatu yang sangat menakutkan.

Saya ingat sekali, abang saya melakukan banyak hal untuk menghindari pelajaran Bahasa Inggris di sekolahnya. Dia berteriak, menangis, sampai pura-pura sakit. Di tangan guru yang salah, belajar adalah teror yang menakutkan.

Saya sendiri, tidak pernah takut pada pelajaran apapun sampai suatu ketika bertemu dengan pelajaran Bahasa Arab di bangku Madrasah Aliyah (setara SMA). Saya adalah tipikal anak yang umumnya dibesarkan oleh sebagian besar keluarga muslim Indonesia: bisa membaca aksara Arab, tapi tidak mengerti artinya. Jadi bahasa Arab, meski tak asing, cukup untuk membuat saya ketakutan. Bukan hanya takut mendapat nilai jelek, tapi juga takut akan terlibat paling bodoh diantara teman-teman saya yang rata-rata lulusan Madrasah Tsanawiyah.

Namun, saya beruntung sekali, saya jatuh ke tangan guru yang benar.

Nama beliau Ahyar. Lelaki berwajah ramah yang memiliki logat Melayu yang kental ketika dia berbicara. Beliau adalah guru Bahasa Arab pertama dan terakhir saya. Hingga saat ini, saya sangat pasif dalam berbahasa Arab tapi bagi saya beliau berhasil sebagai seorang guru. Alasannya satu: beliau berhasil membuat saya tidak membenci pelajaran Bahasa Arab.

Membuat sebuah pelajaran sulit menjadi menarik adalah hal yang hanya bisa dilakukan oleh guru yang hebat. Banyak sekali guru matematika di dunia ini yang gagal mengemas ilmu tersebut secara menarik, sehingga matematika menjadi pelajaran yang dibenci banyak murid. Tapi Pak Ahyar menjadikan pelajaran Bahasa Arab menjadi pelajaran yang tidak layak ditakuti karena kerendahan hatinya.

Di depan kelas, beliau berkata pada kami, "saya sendiri masih terus belajar Bahasa Arab. Kita sama-sama belajar di sini. Jadi yang bukan lulusan tsanawiyah jangan takut. Kita pelajari pelan-pelan. Bapak juga masih belajar.". Kerendahan hati beliau untuk "menurunkan" posisinya hingga sejajar dengan kami yang baru belajar, membuat saya bernapas lega di pertemuan pertama di kelas Bahasa Arab.

Sejak hari itu Beliau tidak berhenti membuat saya kagum. Beliau adalah guru yang tanpa ragu memberikan tumpangan di Vespa birunya kepada Murid yang ia lihat berjalan kaki menuju sekolah. Ini dia lakukan nyaris setiap hari. Beliau adalah satu-satunya guru yang menghapal semua nama-nama murid di sekolah, termasuk murid di kelas yang tidak diajarnya. Beliau adalah guru yang setiap kali menghadapi murid bermasalah, tidak memasang wajah marah. Beliau hanya terlihat kecewa, sesekali tampak sedih. Saya tidak pernah melihat dia memukul atau membentak.

Pernah suatu kali, ketika saya duduk di kelas 2 aliyah, teman sekelas saya membuat beliau marah. Tapi dalam marahnya beliau tidak membentak, tidak memukul. Wajahnya hanya memerah dan matanya sedikit berair. Sesudah hari itu, wajahnya kembali ramah seperti biasa.

Di sekolah kami, pintu gerbang ditutup pukul 7.30 pagi. Siapa saja yang datang setelah jam tersebut akan disuruh menunggu di luar gerbang. Mereka disuruh mencabut rumput atau menyapu halaman sekolah sebelum diperbolehkan masuk. Tapi peraturan itu tidak dijalankan Pak Ahyar. Jika ada murid yang sangat jarang terlambat tiba-tiba ada di "barisan terlambat", beliau akan mempersilahkan murid itu masuk tanpa hukuman. Beliau paham bahwa terkadang ada hal yang membuat murid yang disiplin harus terlambat. Entah karena kelelahan belajar di malam sebelumnya, entah karena harus membantu orang tua di pagi hari, entah angkot yang sulit ditemui (sebagaian dari kami tinggal di kampung yang jauhnya puluhan kilometer dari sekolah).

Beliau adalah satu dari sedikit sekali guru yang tidak tertarik menggunjing keburukan anak didiknya. Beliau adalah orang yang memilih ridak banyak bicara di tengah konflik internal sekolah, dia tetap berfokus mendidik muridnya. Guru yang selalu melarang dengan memberi pengertian dan marah dalam bahasa yang lembut.

Di tangan guru seperti ini, guru yang tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain, marilah kita letakkan harapan kita. Harapan masa depan yang akhir-akhir ini gampang sekali marah dan merendahkan orang lain ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...