Selasa, 31 Desember 2013

Pertemuan


Kalau kau adalah satu dari sekian orang yang membenci Jakarta karena kemacetannya, riuhnya, semrawutnya, maka tungglah hingga tahun baru. Kebencianmu akan bertambah berkali-kali lipat. Seperti saat ini. Jika aku punya perbendaharaan kata yang bisa melampaui kata muak, sebal atau bahkan jijik, kata itulah yang ingin kuteriakkan pada kota ini.
Suasana hatiku tidak pernah baik setiap malam tahun baru. Susah untuk kujelaskan alasannya. Di malam tahun baru, aku merasa seperti jagung yang dibakar hanya untuk formalitas pengisi acara, tidak benar-benar dinikmati sebagai makanan. Aku merasa seperti terompet yang ditiup habis-habisan semalaman untuk kemudian dibuang esok pagi. Aku merasa terbuang, seperti sampah yang ditinggalkan pengunjung di taman-taman, tanpa merasa bersalah. Aku merasa seperti kembang api yang meledak di langit, membuat orang tercengang beberapa detik, lalu terlupakan. Begitu buruknyalah perasaanku setiap menjelang tahun baru. Ya, perasaan tidak berguna macam itu.
Memang, ini bukan lagi soal tahun baru. Ada campur tangan kekecewaan, melankoli dan cinta hingga aku merasa seperti ini.
Aku benci kenyataan segalanya berganti, segalanya menjadi baru, namun aku masih terseok-seok dengan kenangan lama. Orang-orang ramai bicara soal resolusi, sementara aku masih susah melupakan suara tawanya. Kau tahu, sering kali ketika aku tidur, aku merasa mendengar suara tawanya dekat sekali di telingaku. Namun saat terjaga dan aku tahu dia tidak ada, aku merasa dicampakkan ke kesunyian yang lebih dalam lagi. Orang-orang ramai bicara soal harapan. Harapan. Hatiku terasa kecut mendengar kata itu.
Dua belas jam lagi. Terompet-terompet, klakson-klakson, kembang api, gelas yang diangkat tinggi-tinggi dan teriakan, jangan lupakan teriakan. SELAMAT TAHUN BARU! Semuanya kuanggap tak lebih dari ledekan massal karena aku, seperti dua tahun sebelumnya, masih belum berhasil menyelesaikan kenangan.

Ada satu hal lagi yang merepotkanku menjelang tahun baru. Aku harus menemukan tempat bersembunyi. Aku benci dengan pertanyaan, “Malam tahun baruan di mana?” Pertanyaan yang hanya sanggup aku jawab dengan mengangkat bahu. Kemudian aku mendapat tatapan aneh sebagai balasan, seolah gigiku akan bertambah panjang beberapa senti jika tidak merayakan malam tahun baru.
---
Kata orang, waktu mengalir. Tapi bagiku, lebih dahsyat dari itu, waktu membanjir seperti air bah yang tidak bisa ditebak datang dan perginya. Entah kemana lagi takdir akan melemparkan aku. Takdir yang sulit ditebak dan bekerja dengan cara yang sangat acak.

Dulu, sedikitpun tidak terpikir olehku yang kutubuku ini akan mencintai seseorang yang bekerja serabutan, mati-matian mengumpulkan uang hanya untuk mendaki gunung. Tidak sedikitpun terlintas di pikiranku untuk jatuh cinta pada orang yang menghabiskan hari-harinya di gerbong kereta ekonomi, menumpang truk barang dan berjalan kaki puluhan kilometer demi mendaki gunung.

Padahal, sebelumnya aku memimpikan pangeran kutu buku pula. Pria bertubuh kurus dan berkacamata yang menghabiskan hari-harinya yang tenang dengan buku Murakami atau Kafka. Pria yang bisa kuajak berdiskusi panjang soal buku.

Tapi, lewat laki-laki bertampang sangar, berkulit legam dan selalu membawa ransel besar itulah akhirnya aku menjatuhkan pilihan.

Semula, aku tidak menduga semua akan jadi serumit ini. Semua bermula di sebuah sore yang gerimis. Bermula dari sebuah sapaan dan jabat tangan. Baru kali itu aku merasa dadaku bergemuruh saat seorang laki-laki menyebut namaku.

“Farah, ya? Aku Rundung.” katanya sambil tersenyum ramah menyalamiku saat pertama kali kamu bertemu. Minggu, 15 Februari 2009, jam 15.13.
Lagi-lagi ini adalah cara kerja takdir yang acak. Aku dan Rundung hanyalah dua blogger yang saling mengunjungi. Aku mengagumi foto-foto yang dia ambil di setiap perjalanan atau pendakian. Sementara dia pembaca setia blogku yang tidak lebih dari sebuah buku harian yang sembarang dan kacau. Enam bulan saling mengunjungi laman, sekitar dua bulan saling berkicau di twitter, maka hari itu kami berjanji untuk bertemu.

Semuanya masih terekam jelas di kepalaku. 15 Februari 2009, jam 15.13, di sebuah restoran cepat saji kawasan Blok M Mall. Pertama kali aku melihat Rundung. Mata elangnya yang terbingkai kacamata frameless, baju kaos putihnya, celana cargo warna abu-abunya, sandal gunungnya dan rambut agak bergelombang yang basah karena gerimis hari itu. Seperti ada sesuatu yang rubuh dalam diriku saat memandang mata dengan minus dua itu.

Kemudian semuanya terasa sangat indah. Cerita tentang gunung-gunung yang didakinya. Cerita tentang tempat-tempat aneh yang dikunjunginya. Lagu-lagu Efek Rumah Kaca yang sama-sama kami sukai. Telepon berjam-jam hingga subuh. Film-film bagus di 21. Umurnya yang lebih tua empat tahun dariku tidak membuat aku canggung, demikian sebaliknya.

Terlintas di kepalaku untuk bertanya, ‘Apa kita pacaran sekarang?’. Tapi waktuku tidak cukup banyak untuk mengeluarkan pertanyaan itu. Bagiku semua jelas. Bagiku, ketika dia menggandeng tanganku di depan umum, sudah cukup menjadi sebuah kejelasan. Mungkin aku terlalu bodoh. Bagiku, cinta itu sesederhana sebuah gandengan tangan.
---
Tidak kuhitung persis, namun sepertinya dalam setahun, ada kira-kira enam puluh hari yang aku lalui dengan berpegangan tangan dengan Rundung. Kami memang jarang bertemu karena dia sibuk dengan pendakiannya, sementara aku dengan kuliah dan kerja paruh waktuku.
Pegangan demi pegangan tangan itu kunimati, tanpa sedikitpun kecurigaan bahwa satu saat, tanganku akan terlepas dari tangannya.

Suatu hari, ponsel Rundung tidak aktif. Bukan kejadian luar biasa, karena dia memang sering pergi ke gunung atau hutan-hutan yang tidak tertembus sinyal telepon selular. Namun keadaan itu berlanjut berhari-hari, dan aku mulai panik di hari ketujuh. Rundung tidak pernah pergi selama itu tanpa kabar.
Ternyata, takdir menyiapkan sebuah kejutan untukku. Tidak hanya ponsel yang tidak aktif, melainkan semua media sosial Rundung, termasuk blognya. Terdengar kabar kalau dia bekerja di sebuah perusahaan konstruksi yang mengharuskan dia menetap di Makassar.

Di situlah, aku mulai sadar bahwa cinta tidak sesederhana pegangan tangan. Komitmen pacaran yang selama ini kuanggap tidak penting, kini menyerang balik. Dia pergi, itu haknya. Namun untuk memintanya kembali, aku tidak berhak. Aku dan dia tidak pernah berada dalam ikatan, tidak ada persetujuan status. Dan ditinggalkan tanpa penjelasan, kurasa, adalah hal yang paling pahit dalam sebuah hubungan tanpa status.

Dia menghilang selama dua tahun. Dua tahun yang teramat sepi.

Dua tahun itu, hidupku seperti mengambang. Aku melakukan semuanya dengan baik. IPK yang stabil di atas 3.5, beasiswa yang yang diberikan hingga akhir pendidikan S1-ku nanti, pekerjaan sampingan sebagai instruktur Lab Bahasa di sebuah SMP Swasta tapi semua itu terasa hambar.

Meski aku tidak banyak berbicara tentang kehambaran ini, diam-diam, aku hampir gila karena kehilangan Rundung. Aku merindukan sifatnya yang meledak-ledak, marah kapan saja dia mau namun segera minta maaf. Aku rindu saat dia menungguiku berjam-jam di perpustakaan meskipun tak satupun buku disentuhnya.

Aku rindu saat-saat memergokinya sedang memperhatikan wajahku ketika aku asik membaca buku. Mata kami saling bertemu dan saling melempar senyum kecil.

Dua tahun, aku merasa telah bergerak, bahkan berlari untuk tidak memikirkan Rundung, namun pegerakan itu tak ubahnya seperti pergerakan Bumi. Bumi berputar, terus begerak namun tidak kemana-mana, tetap mengelilingi matahari. Dua tahun, hidupku terasa seperti gelas kosong. Aku terlihat baik-baik saja, tidak sedikitpun retak. Tapi aku kosong
---

Dua belas jam lagi, tahun akan berganti. Aku membuka buku dimana aku mencatatkan sesuatu pada malam tahun baru yang lalu.

Jakarta, 31 Desember 2012

Kau tahu kenapa aku tidak pernah takut pada gunung curam, kota-kota asing dan ombak? Karena aku tahu itu semua tidak akan bisa menyakitiku separah kenangan. Kenangan. Kenangan. Aku ingin sekali, seumur hidupku, mengulangi kata itu terus-menerus. Hingga mulutku mati rasa, hingga kata itu kehilangan arti.

Betapa lupa itu adalah anugerah. Kukira, jika aku berhasil membuang kenangan ini dari kepalaku, tubuhku akan jauh lebih ringan.

"Jangan bungkukkan bahu ketika berjalan, Nak. Kau tampak seperti orang kesepian."

Ibuku selalu bilang begitu. Beliau pasti sangat sedih jika tahu bahwa aku bepergian dari satu kota ke kota lain dengan bahu sebungkuk ini. Ya, aku kesepian sekaligus merasa dibebani kenangan. Aku menutupinya dengan ransel besar. Terus berjalan, ke arah-arah yang tak kukarang sebelumnya. Dengan kereta ekonomi, bis rombeng, kapal, pesawat murah.

Apa yang aku cari? Tidak ada. Aku hanya ingin membuang kenangan ini sejauh mungkin. Namun, sejauh apapun perjalanan itu, ketika aku membuka pintu kamar, kenangan itu sudah menunggu di atas tempat tidur. Perlawanan terbaik yang bisa kulakukan terhadapnya adalah kembali mengangkat ransel dan pergi.

Kau tahu, bau parfummu mengikuti aku hingga Ranu Pane, betapapun tempat itu menebarkan bau rumput yang sengit. Aku merasa teduh sorotmu memandangiku di antara kabut Mandalawangi yang turun perlahan. Suaramu mengikutiku ke penginapan kecil di gang-gang sempit di Malioboro. Kau bahkan tak membiarkanku sendiri ketika aku di puncak Rinjani. Kau mengikut, menyergapku di tengah-tengah pelarianku.

Ini bukan soal tiga tahun yang kuhabiskan denganmu. Bukan juga soal harga diriku yang terluka ketika kau mempecundangiku lewat undangan pernikahanmu yang berwarna ungu muda. Ini soal perasaan terbuang. Kadang aku merasa seperti anak kucing yang kaupungut dari jalan, namun kemudian kau buang lagi. Aku terus mengikutimu, meski kau mengangkatku, menaruhku lagi ke tempat dimana kau buang aku. Aku terus mengikutimu, karena arah manapun asing bagiku. Aku hanya terbiasa denganmu.

Perjalanan ini terasa dingin dan sepi. Aku hanya punya satu cara menghangatkan rongga dada: merindukanmu.

Dari pergantian ke pergantian, yang kutulis tak berubah. Sama pahit dan putus asanya. Perjalanan demi perjalanan, pergantian tahun ke tahun ternyata tidak berhasil menyelamatkan aku dari kenangan.
---

Kostku mulai sepi. Semua tetangga-tetanggaku, satu-satu dijemput pacarnya untuk makan malam atau kencan. Aku mengunci diri di kamar. Sesekali, bunyi petasan mulai terdengar sahut-menyahut. Padahal masih pukul tujuh malam.

Kau tahu, kadang-kadang semesta sangat iseng. Ketika kau ingin melupakan sesuatu, justru kenangan tentang sesuatu itu dimunculkan, menggagalkan semua usaha pelarianmu. Seperti saat ini, ketika aku mulai memejamkan mata dengan earphone menyumpal di telinga, lagu “It’s Raining Outside” milik solois Perancis Soko terputar.

Lagu ini mengingatkanku pada sebuah puisi yang pernah kutulis untuknya.


di luar hujan
boleh aku masuk ke hatimu?
izinkanlah, aku akan masuk tanpa mengambil apa-apa
tanpa menyentuh apa-apa

di luar hujan
boleh aku berteduh di alismu?
berselimut di kelopak matamu
berenang di air matamu
tenggelam dalam dukamu

di luar hujan
boleh aku menyerahkan takdirku pada lengkung bibirmu?
tersenyum setiap kali kau tersenyum
tertawa setiap kali kau tertawa

di luar hujan
dingin sekali
boleh aku tetap merindukanmu?
karena hanya dengan merindukanmu seluruh rongga dada menghangat

di luar hujan
boleh aku masuk ke kamarmu?
hanya ingin merapatkan selimutmu
dan memastikan kau hangat di dalam sana

Air mataku mulai merambat pelan-pelan. Namun aku terus berusaha meyakinkan diriku, bahwa semua adalah masa lalu. Masa lalu adalah masa lalu. Apa yang hilang tidak penting, sebab tidak ada pilihan selain menjalani hidup dengan apa yang tersisa.
Seperti sebuah perjalanan dengan kereta. Cuaca begitu bagus dan kamu duduk satu bangku dengan orang yang sangat kamu sukai. Semua terasa menyenangkan. Namun pada sebuah stasiun asing yang tidak kamu ketahui, orang yang itu turun. Dia melanjutkan perjalanan dengan kereta lain yang berangkat begitu cepat, di luar dugaanmu. Kamu mengejar dia sekuat tenaga tapi terlambat.

Patah hati rasanya seperti itu. Kamu tahu, kamu harus melanjutkan perjalanan tapi kamu tidak tahu harus melanjutkan dengan kereta apa dan ke arah mana. Sementara hatimu, terbawa oleh orang itu. Kamu terduduk sendirian di stasiun itu. Kepalamu berat, penuh dengan kenangan. Seperti ketika rumahmu terbakar. Kau tahu kau harus segera pergi, meski tidak tahu harus kemana.

Ah, aku baru saja membayangkan perbandingan yang sangat menyedihkan. Sebaiknya aku tidur.
---
Aku hanya berhasil tertidur lima belas menit.

Tidurku tidak pernah lelap tiga mingu terakhir. Menuju subuh, aku selalu terbangun karena bermimpi tentang Rundung. Seringkali dalam mimpi-mimpi itu, aku merasa sudah memegang tangannya cukup erat. Tapi entah bagaimana caranya, tangan hangat itu terlepas dari genggamanku dan aku tidak bisa melihat dia lagi.
Bahkan untuk makan pun terasa sulit. Makanan yang aku kunyah sering kali terhenti di kerongkongan dan aku sulit menelan. Rasanya seperti tercekik. Sudah sebulan setelah perpisahan dengan Rundung, sakit itu masih tersisa, tidak mau hilang.

Mungkin karena perpisahan ini tidak seperti perpisahan. Tidak ada lambaian tangan, tidak ada permintaan maaf, tidak ada nasihat-nasihat, ‘jaga dirimu’, tidak ada adegan menatap punggung hingga menjauh dan hilang. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa isyarat, tanpa firasat bahkan tanpa disadari. Snap!
Setidaknya izinkan aku memberimu peluk tanda perpisahan. Aku ingin mengusap punggungmu sambil mendoakan agar kamu selalu bahagia.

Demi Tuhan, aku tidak mau berlarut-larut dalam situasi ini. Belakangan, aku menyibukkan diriku dengan membaca. Aku terus membaca apa saja yang bisa membuat pikiranku sibuk dan tidak dirasuki oleh kenangan-kenangan itu. Tapi percuma, ketika aku tertidur, potongan-potongan adegan sialan itu kembali datang di mimpiku. Paginya, aku tidak bisa apa-apa selain menangis.

Dalam hati pasti kau menyuruhkan mendekatkan diri pada Tuhan dan berdoa. Aku sangat dekat dengan Tuhan. Tapi mungkin konsep ‘dekat’-mu dan ‘dekat’-ku berbeda. Aku juga rajin berdoa. Tapi mungkin doaku tidak sama dengan doamu, demikian juga dengan caraku dan caramu berdoa.
Lagipula, Tuhan masih punya banyak urusan. Di dunia yang mengerikan ini, ada banyak bayi lapar, binatang-binatang yang dieksploitasi hingga sekarat, orang-orang sakit yang tidak sanggup membayar obat dan penjahat-penjahat tengik. Tidak adil rasanya kalau aku harus minta Tuhan untuk mengurusi hatiku yang patah. Tuhan terlalu agung untuk mengurusi roman manusia. Barangkali, karena itulah banyak yang mati karena cinta. Biarkanlah Tuhan berkonsentrasi mengurusi hal lain. Mungkin aku bisa mengatasi patah hati ini sendiri. Mungkin.

Dulu, setiap awal bulan, kami akan menempuh macet yang panjang di simpang Gadog hingga Puncak dengan bis AC. Macet selama empat jam tidak pernah terasa panjang. Di earphone yang menempel masing-masing satu di telinga kami terdengar lagu Aditya Sofyan “Big Blue Sky’s Collapse”. Kepalaku tersandar di bahunya. Jari-jari kami saling terkait. Sesekali dia menyuruhku bangun, mengurut-urut bahunya, kemudian menyuruhku bersandar lagi.

Sialan! Sedikit saja aku lengah, kenangan itu masuk lagi ke kepalaku. Batas antara lelap dan sadar, antara nyata dan mimpi kini semakin samar. Aku takut.
---
Nama itu berkedip-kedip di layar ponselku, membuat jantungku hampir melompat keluar rongga dada. Rundung.

“Halo?” sapaku ragu. Aku takut ini hanyalah ilusi antara mimpi dan nyata yang sering kualami akhir-akhir ini.

“Farah?”

“Ya?”

“Ini Rundung. Aku ada di depan kostmu.”

Dan yang terjadi selanjutnya, adalah sebuah pertemuan di malam tahun baru yang sangat aneh. Dua orang yang terpisah selama dua tahun, tersisihkan dari keramaian pesta, bercakap-cakap dalam pembicaraan yang aneh dan kaku.
---

"Hai."

"...."

"Apa kabar?"

"...." aku tersenyum.

"Masih suka hujan?" dia menyodorkan segelas cola dingin yang masih mendesis sodanya karena baru dituang. Berjalan kaki lima belas menit, kami sampai pada sebuah restoran Pizza 24 jam yang agak sepi, karena semua orang memilih berpesta kembang api di luar.

"...."

"Kenapa?"

"...."

"Kok diam?"

"...." Aku tersenyum lagi.

"Bagaimana? masih suka terbangun tengah malam cuma untuk menangis?"

Aku mengangguk.

"Kenapa jadi gini ya?"

Aku mengangkat alis.

"Kamu seolah-olah mau jadi pendiam seperti aku."

"Kukasih tau ya. gak akan ada makhluk yang lebih pendiam dari aku." ucapnya sambil memalingkan muka dan menghela napas.

"Sampai kapanpun, kamu adalah manusia paling pendiam. gak akan ada yang merubah hal itu. jangan takut." Padahal aku yang takut. setelah dua tahun, baru kali ini Tuhan, nasib, waktu dan kesempatan memihak padaku dan bertemu dia lagi. menggigil karena tatapnya lagi. dengan memaling sedikit seperti tadi saja, dia membuat aku ketakutan. Padahal entah apa dan entah mengapa aku takut. kehilangan dirinya telah kualami sejak dua tahun lalu.

"Cukup aku yang pendiam. kita gak nyambung kalo sama-sama pendiam."

"Iya."

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik. kamu?"

"Baik."

"Bohong. kelopak dan kantung matamu merah. tadi malam kamu pasti tidak tidur, sinusitismu kambuh."

"Iya."

"Jaketmu lusuh, kelamaan digantung. kamu terlalu wangi hari ini, pasti kamu pakai parfum banyak-banyak untuk menutupi bau jaket yang belum dicuci ini."

"Hahahaha.."

Bodoh. ah, kenapa aku? kenapa aku masih begitu hapal segala detail tentang dia. bahkan aku masih bisa membedakan wanginya berlebihan atau tidak. Aku masih tau kebiasaan-kebiasaannya.

"Kalo cukur kumis jangan buru-buru. dagu kamu tergores sedikit." Ah, Tuhan! kenapa aku sangat sering mengulang kesalahan.

"Kamu masih seperti dulu. Teliti."

"Kamu masih seperti dulu. Teledor."

"Hahahhaa..."

Jangan, lelaki! jangan tertawa sekarang. aku belum siap. kebahagiaan karena melihat wajahmu belum selesai menyesakkan dadaku. jangan tertawa dulu. nanti aku mati karena kebahagiaan.

"Aku rindu membaca sms yang isinya puisi darimu. apa kamu rindu membuat puisi untukku?"

"....."

"Rindu atau tidak?"

"Tidak."

"Hahahha. ada orang baru yang harus diberi puisi cinta. kenapa musti aku, ya? hahaha.."

"....."

"kamu... nangis?"

Tuhan, hentikan airmataku. aku tidak sanggup mengentikannya sendiri. bahkan tanganku tak kuat untuk menjangkau wajahku sendiri dan mengusap air mata.

"Kenapa?"

"...."

"Pacar barumu jahat sa..."

"Bukan. aku, aku tidak pernah rindu menulis puisi untuk kamu, karena setiap hari aku menulis puisi untuk kamu. hanya saja tidak ku kirimkan. aku takut kamu marah." ah... lebih baik aku jujur. kalo tidak jujur sekarang, aku tidak tau kapan Tuhan, waktu dan kesempatan mengijinkan kami bertemu lagi. dua tahun dipisahkan dari dia saja hampir membuatku mati. aku tidak bisa membayangkan yang lebih dari itu.

"lalu kenapa menangis?"

"pertama, aku senang kamu merindukan puisiku. entah itu bohong atau tidak. tapi setahuku kamu tidak suka berbohong. kedua, aku benci kenapa kamu berani sekali menganggap aku mau menulis puisi cinta selain untuk kamu."

"maaf."

"aku tidak pernah berniat menjadi pendiam sepertimu. tidak. cuma saja, kepergianmu, kehadiranmu meninggalkan terlalu banyak hal yang harus ku pikirkan. dan terlalu banyak kenangan yang harus ku usir setiap saat tapi gagal. aku harus jujur, sudah tiga tahun aku diam. marahlah kalau kamu mau marah. asal jangan kasihan padaku."

"...."

"aku tidak pernah terbangun tengah malam hanya untuk menangis lagi. sejak kamu pergi aku terbangun tengah malam untuk menjeritkan namamu tanpa sedikitpun suara yang boleh keluar. kalau kamu jijik padaku, jijiklah! asal jangan kasihani aku."

aku masih sesengukan menangis. dia diam. untung restoran Pizza ini sepi. untung hujan deras di luar sana. sehingga kelakuanku tidak terlalu mencolok. Tuhan, waktu dan kesempatan benar-benar merestuiku untuk jujur.

"dua tahun perpisahan itu tidak cukup kuat untuk membuat aku lupa kamu. belasan lelaki tidak cukup menarik untuk membuat aku lupa kamu. aku cuma mau jujur itu saja. marahlah kalau mau marah. sebenarnya aku masih sangat takut kalau kamu marah. tapi aku tidak punya pilihan lain. tidak kalau aku tidak mau gila."

aku mengelap sisa air mataku dan ingusku dengan tisu.

"ayo. cepat hapus airmatamu. kita naik vespa baruku ke monas. sebenarnya itu vespa sudah ku beli dua tahun lalu. tapi belum ada satu perempuanpun yang ku ajak menaikinya. ayo. aku rindu bermain hujan di atas vespa bersamamu." katanya lalu meneguk cola.

---
 

Jumat, 27 Desember 2013

Jangan Bungkukkan Bahu, Kau Tampak Kesepian

Kau tahu kenapa aku tidak pernah takut pada gunung curam, kota-kota asing dan ombak? Karena aku tahu itu semua tidak akan bisa menyakitiku separah kenangan. Kenangan. Kenangan. Aku ingin sekali, seumur hidupku, mengulangi kata itu terus-menerus. Hingga mulutku mati rasa, hingga kata itu kehilangan arti.

Betapa lupa itu adalah anugerah. Kukira, jika aku berhasil membuang kenangan ini dari kepalaku, tubuhku akan jauh lebih ringan.

"Jangan bungkukkan bahu ketika berjalan, Nak. Kau tampak seperti orang kesepian."

Ibuku selalu bilang begitu. Beliau pasti sangat sedih jika tahu bahwa aku bepergian dari satu kota ke kota lain dengan bahu sebungkuk ini. Ya, aku kesepian sekaligus merasa dibebani kenangan. Aku menutupinya dengan ransel besar. Terus berjalan, ke arah-arah yang tak kukarang sebelumnya. Dengan kereta ekonomi, bis rombeng, kapal, pesawat murah.

Apa yang aku cari? Tidak ada. Aku hanya ingin membuang kenangan ini sejauh mungkin. Namun, sejauh apapun perjalanan itu, ketika aku membuka pintu kamar, kenangan itu sudah menunggu di atas tempat tidur. Perlawanan terbaik yang bisa kulakukan terhadapnya adalah kembali mengangkat ransel dan pergi.

Kau tahu, bau parfummu mengikuti aku hingga Ranu Pane, betapapun tempat itu menebarkan bau rumput yang sengit. Aku merasa teduh sorotmu memandangiku di antara kabut Mandalawangi yang turun perlahan. Suaramu mengikutiku ke penginapan kecil di gang-gang sempit di Malioboro. Kau bahkan tak membiarkanku sendiri ketika aku di puncak Rinjani. Kau mengikut, menyergapku di tengah-tengah pelarianku.

Ini bukan soal tiga tahun yang kuhabiskan denganmu. Bukan juga soal harga diriku yang terluka ketika kau mempecundangiku lewat undangan pernikahanmu yang berwarna ungu muda. Ini soal perasaan terbuang. Kadang aku merasa seperti anak kucing yang kaupungut dari jalan, namun kemudian kau buang lagi. Aku terus mengikutimu, meski kau mengangkatku, menaruhku lagi ke tempat dimana kau buang aku. Aku terus mengikutimu, karena arah manapun asing bagiku. Aku hanya terbiasa denganmu.

Perjalanan ini terasa dingin dan sepi. Aku hanya punya satu cara menghangatkan rongga dada: merindukanmu.



Kamis, 26 Desember 2013

Kabar Buruk



Namanya Debur Ombak Selatan.

Oke, orang tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan? Mungkin orang tua sok eksentrik dan menamai anak-anak mereka dengan nama sok unik. Menurutku, tak ada gunanya menamai anak dengan nama yang bagus. Karena toh nama hanyalah nama. Karena kelak, anak itu akan diberi julukan oleh teman-temannya. Julukan itulah yang akan melekat, paling sering disebut dan lebih dikenal ketimbang nama asli. Ya, kau tentu kenal seseorang bernama Yusuf dan tahu bagaimana hampir semua Yusuf berakhir dengan panggilan “Ucup”.

Pendapatku itu belum tentu benar. Pendapatku itu mungkin saja bagian dari sensitifnya orang yang memiliki nama jelek. Namaku Ani. Tiga huruf itu saja, tanpa nama panjang. Kalau orang tua yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan adalah orang yang terlalu rajin, maka orang tuaku adalah jenis yang terlampau malas. Mereka memilihkan nama klise itu padaku. Nama yang selalu tertera di buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar. Ini ibu Ani. Ani pergi ke pasar. Ani sedang bermain.

Ani yang ada dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia itu selalu tampak tenang, ya? Hidupnya wajar-wajar saja. Dia juga melakukan hal yang wajar-wajar. Sementara aku adalah Ani yang beda. Ani yang ini tak pernah pergi ke pasar. Ani yang ini tak senang bermain. Ani yang ini, lebih senang menghabiskan hidupnya di atas tempat tidur, membaca buku dan tidak suka bergaul. Entah kenapa berinteraksi dengan banyak orang terasa melelahkan bagiku. Setelah datang ke sebuah pesta, misalnya, aku merasa sangat capek hingga mampu tidur seharian.

Oh ya, kembali ke Debur Ombak Selatan. Kukira orang tuanya kurang teliti dalam memilih nama. Nama itu kurang satu kata. Harusnya dia bernama Debur Ombak Laut Selatan.  Segala sesuatu yang di selatan belum tentu laut, kan? Debur Ombak Laut Selatan. Wah, itu jadi nama yang lebih jelek, ya?

Apapun alasannya, menamai dia Debur Ombak adalah hal yang salah.  Ah, andai saja kau pernah melihat anak laki-laki itu. Dia sama sekali tidak seperti ombak, apalagi ombak yang berdebur.  Jika aku jadi ibunya, akan kunamai dia ‘Ambang Batas’. Jangan tertawa. Aku tahu nama ini jauh lebih konyol dari Debur Ombak Selatan, tapi setidaknya itu lebih menggambarkan dia. Setiap melihatnya, aku seperti berada di perbatasan antara memilki-kehilangan, kesepian-keramaian, bahagia-sedih, gelap-terang.
Kau tahu, aku seharusnya tidak ke sini. Tidak pergi ke taman ini, tidak duduk di bangku ini dan tidak juga mengajak orang asing mengobrol seperti ini. Percayalah, ini bukan kebiasaanku. Aku belum pernah mengajak orang asing mengobrol panjang. Terlebih mengenai seseorang yang kusuka. Kau pasti berpikir aku ini orang aneh, kan? Tak apa, memang banyak yang bilang seperti itu.

Kau boleh menganggapku gila, bodoh, aneh, apa saja. Asal kau jangan pergi, ya? Aku sangat butuh didengarkan. Kali ini aku ingin bercerita sepanjang-panjangnya. Kurasa dua puluh lima tahun jadi orang pendiam, melelahkan juga. Kurasa karena aku pendiam inilah urusan cintaku jadi rumit.

Sudah tiga tahun aku mengenal Debur. Namun, kami tidak banyak mengobrol. Debur sangat ramah.  Setiap kali melihatku di kampus, dia akan menegur, menanyakan banyak hal. Setiap itu pula, seluruh katup yang ada di tubuhku rasanya tertutup. Katup jantungku rasanya menyempit, tanganku dingin karena tak kebagian aliran darah. Katup pernapasanku juga tak berfungsi. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti tersangkut di tenggorokan. Otakku tak bisa berhenti berpikir; aku harus menjawabnya dengan nada riang, tidak boleh mengatakan kalimat bodoh, harus terlihat intelek, jangan tertawa terlalu lebar, jangan terlalu bersemangat sampai memuncratkan ludah, jangan membuat pembicaraan yang membosankan. Ini bagian sialnya; saking banyaknya hal yang kupikirkan, mulutku tidak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya sanggup menjawabnya dengan jawaban yang pendek-pendek.

Itulah yang akhirnya membuat Debur berpikir bahwa aku ini orang yang sombong. Dia tidak tahu, aku jadi begini karena terlalu mengaguminya. Aku tidak berani menatap matanya karena mata indah itulah yang kerap membuatku merasa buruk rupa dari ujung rambut hingga kaki. Setiap pagi aku merencanakan akan membicarakan apa padanya, namun konsentrasiku bubar setiap kali melihat wajahnya. Debur membuat aku bahagia bisa melihat makhluk seindah dia, namun membuatku sedih dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa memilikinya.

Aku tahu kisah ini tidak penting bagimu, tidak menarik untuk didengarkan. Tapi, tolonglah, jangan pergi dulu. Aku ingin sekali bicara panjang. Rasanya, jika semenit saja aku diam, aku bisa gila.

Kau pernah mendapat kabar buruk?

Aku jarang mendapat kabar buruk. Kabar buruk yang datang kali ini menghadirkan rasa sakit yang luar biasa. Awalnya sesuatu di dadaku terasa ngilu. Lama-kelamaan seluruh sendi-sendiku ngilu. Kemudian aku merasa seluruh tubuhku berubah jadi rasa ngilu. Kalau saja aku bisa menangis, tentu saja aku akan merasa sedikit lega. Tapi aku tidak bisa menangis sama sekali.

Kau tahu, tadi aku mendapat undangan pernikahan Debur. Lucu, ya? Ketika aku dalam tiga tahun berusaha terbata-bata agar bisa berbicara lancar di depannya, dia malah sudah menemukan orang lain. Orang yang diyakininya untuk menjadi teman seumur hidup.

Pernahkah kamu merasa hidup ini lucu?
---
“Aku tadi pergi ke taman komplek dekat rumah.”
Ngapain?”
“Tidak apa-apa. Ingin duduk saja. Pernikahan kita tinggal menghitung hari. Kelak aku akan jarang punya waktu untuk sendiri.”
“Begitu?”
“Ya. Menurutmu, di dunia ini ada berapa laki-laki yang bernama Debur Ombak Selatan?”
“Hmmmm. Mungkin cuma satu, cuma aku. Kenapa tiba-tiba tanya itu?”
“Tadi , di taman aku diajak ngobrol oleh orang asing. Dia jatuh cinta setengah mati pada Debur Ombak Selatan. Dia terlihat sangat menderita. Mukanya pucat, tatapannya kosong.”
“Siapa?”
“Namanya Ani.”
“Ya, Tuhan…”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Hidup ini lucu, ya? Bagaimana bisa kita tahu bahwa kebahagiaan kita membuat seseorang merasa sedih hingga seluruh tubuhnya ngilu?”
---