Minggu, 13 Oktober 2013

Siapa Itu?

Meski selalu berakhir menjadi "badut" yang sering ditertawakan, banyak omong dan tidak tahu malu, sebenarnya saya ini bisa jadi sangat pemalu dan pendiam. Mungkin kebanyakan orang yang mengenal saya tidak akan setuju, tapi memang ada beberapa orang yang menilai saya ini pemalu dan pendiam.


Waktu kecil, saya merasa aneh jika ada tamu datang ke rumah. Tamu yang saya maksud adalah keluarga jauh yang hanya datang saat lebaran, teman-teman ayah saya yang sering singgah karena rumah saya dekat dengan tempat wisata atau kenalan baru ayah yang biasanya akan sering bertamu. Jika rombongan-rombongan seperti itu singgah ke rumah, biasanya saya akan naik ke loteng dan tidak akan turun sampai mereka pulang. 

Saya lebih baik menahan kencing ketimbang harus kepergok turun tangga oleh ayah dan dipaksa untuk menyalami tamu sambil beliau berkata, "Ini anak saya yang paling kecil." Lalu dengan kikuk saya mengitari ruang tamu, menyalami mereka satu-satu. Sering kali ketika bersalaman, ada-ada saja kejadian yang tidak diharapkan; kaki saya tersangkut kaki meja atau tidak sengaja menyenggol gelas. Kalau begitu saya akan cepat-cepat menyelesaikan proses salaman dan lari lagi ke loteng dengan muka merah padam. Sayup-sayup terdengar komentar ayah, "Anak itu memang teledor, gerasah-gerusuh." dan disambut oleh tawa oleh tamu-tamu. Cukup jelas, kan, kenapa saya benci tamu?

Pada kenyataannya, saya tidak bisa terus-menerus lari dari rasa kikuk dan aneh itu. Pada umur 18 tahun saya merantau ke Jakarta dan tinggal di rumah kerabat ayah. Rasa kikuk menyerang dari segala penjuru ketika pertama saya menginjakkan kaki di rumah itu. Tak ada lagi loteng tempat saya bersembunyi. Saya harus menghadapinya.

Saat saya tiba, di rumah hanya ada tante saya. Tante yang terakhir kali saya temui ketika saya berumur 8 tahun. Saya salami dia dengan penuh rasa kikuk, dengan gerakan yang janggal. Saya malu setengah mati. Menjelang sore, satu per satu anak Om saya pulang. Saya hanya sanggup tersenyum kaku. Belum lagi logat saya sangat jauh berbeda dengan mereka. Mengajak ngobrol bukan pilihan yang tepat.


Ini juga terjadi ketika akhirnya saya menyewa kamar kost di daerah Jakarta Barat. Saya adalah satu-satunya penghuni baru di indekost yang katanya sudah ada sejak 10 tahun lalu itu. Penghuni lain sudah tinggal di sana sejak tiga hingga lima tahun lalu. Mereka selalu berkumpul di balkon lantai dua jika sedang senggang. Apa saya ikut berkumpul? Jangankan ikut berkumpul, menyapa mereka saja saya merasa kikuk. Pernah suatu sore, saya baru saja pulang dari kantor ketika hampir seluruh penghuni kost sedang tertawa-tawa di balkon. Dengan suara tercekat yang dipaksakan keluar saya mengucapkan, "Haloo.." pada mereka sambil tersenyum. Mereka bengong beberapa detik, tawa yang tadi berderai-derai hilang, tak ada respon, baru beberapa saat kemudian mereka membalas dengan senyum. Saya langsung masuk kamar, mengunci pintu rapat-rapat dan tidak keluar hingga malam.

Di dalam kamar, saya berpikir. Dari seluruh sapaan yang tersedia untuk keramah-tamahan umat manusia, kenapa saya memilih kata "halo"? Memangnya ini pembicaraan telepon? Pantas saja mereka bengong. Saya merasa bodoh sekali.

Sejak itu saya resmi menjadi penghuni "gaib" di indekost nomor 36 itu. Saya berangkat kerja pukul setengah delapan, menuruni tangga secepat mungkin sambil menunduk. Pulang kerja, saya langsung masuk kamar. Keluar sebentar untuk mandi dan tidak akan keluar lagi sampai berangkat kerja besok pagi. Pernah suatu kali saya dengar tetangga berkata, "Mbak yang pake jilbab itu sombong atau gimana, ya? Nggak pernah keluar kamar." Dan yang lain menyahut, "Nggak sombong kok. Cuman orangnya memang pendiam."


Saat itu saya sedang bekerja sebagai penulis dan penerjemah di sebuah situs berita ekonomi. Itu adalah pengalaman kerja penuh waktu pertama saya. Sebelumnya, di kampus dan di tempat kerja freelance, saya dikenal sebagai orang yang luar biasa pecicilan dan banyak omong. Tapi di kantor ini, saya pendiam dan kaku setengah mati. Berkali-kali chef editor mengingatkan saya, "Bu Halimah, jangan terlalu kaku. Saya nggak pernah menilai ibu nggak disiplin hanya gara-gara izin di minggu pertama kerja. Jangan terlalu serius, santai saja. Gimana enaknya saja."


Well, Pak Faisal yang baik dan ganteng, gimana saya nggak terlalu serius ketika bapak manggil saya dengan sebutan "Ibu" padahal saat itu saya baru berusia 21 tahun? Saya makin kikuk dipanggil begitu. Di ruangan tempat saya bekerja, hanya ada beberapa orang yang dipanggil secara formal begitu. Pak Hendi, Pak Arif , Pak Anto dan Pak Tata dipanggil 'bapak' karena usianya lebih tua dari Pak Faisal. Selebihnya, Pak Faisal sangat santai. Juli dipangil "Jul", Denny dipanggil "Den", Hilman dipanggil "Mas Hilman", Lukman dipanggil "Luk". Lalu, dosa apa saya hingga dipanggil "Ibu"? *meraung-raung*.


Dan sekarang, ketika saya tinggal di rumah teman saya, saya kembali jadi orang kikuk. Saya hanya leluasa keluar kamar untuk berhadapan dengan Bu Le, Om Dodi, Mbah Kung dan tentu saja Enjen. Selebihnya, sedikit saja ada suara orang lain, saya langsung masuk kamar. Aneh memang, tapi rasa malu saya di usia 23 ini tak terlalu beda dengan rasa malu saya ketika kecil dulu.


Saya rasa, saya hanya bisa jadi cerewet ketika sudah nyaman dan akrab. Meski begitu, saya bisa akrab dengan sangat cepat ketika merasa bertemu dengan orang asing yang "sejenis" dengan saya.


Ya, ketika diingat-ingat lagi memang begitu. Kelas satu SMA saya cukup pendiam, di-cap anak pintar yang sombong. Saya duduk paling depan, menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dengan cepat, tidak banyak bicara dengan teman sekelas. Kelas dua, begitu bertemu dengan Kartika dan Neva, selesai sudah karir anak pintar yang pendiam itu. Saya jadi orang paling berisik di kelas, setiap saat meledek siapa saja dan tak ketinggalan, rangking saya merosot dari 2 ke rangking 7 dan rangking 14 ketika akhir tahun ajaran. Luar biasa!


Beberapa waktu lalu, terjadi obrolan tentang saya oleh teman-teman sesama guru Pre-School..


"Dulu pertama masuk si Halimah kan pendiam banget." kata Ai, guru termuda di sekolah kami.
"Iya. Aneh banget dia pas masuk. Dateng-dateng langsung ngajak salaman. Gua kira dia mau minta sumbangan." sambung Andy, guru paling senior yang akhirnya jadi rekan baku-ejek saya sehari-hari.
"Iya. Gue kira anaknya santun dan baik hati. Eh, makin ke sini makin begitu..." kata Rizal, guru muda yang mengalami kebotakan dini, sebentar lagi akan jadi Ayah.

Pembicaraan itu terjadi di depan saya. Mereka sudah tidak punya alasan lagi untuk menaruh rasa segan pada saya. Sehari-hari, saya jadi hiburan mereka, diolok-olok sesuka hati. Andy, sudah beberapa bulan dengan santai memanggil saya "kaleng" karena katanya saya berisik seperti kaleng rombeng. Setiap hari saya berhadapan dengan sapaannya, "Kaleeeng! Jaga gate sana, udah jam delapan!", "Kerjaan lu udah kelar, Leng?", "Dasar kaleng batak, gak ada jiwa seninya.". Dan saya membalasnya dengan kata yang tak kalah abusif, "Woi, Cina kebun sayur.", "Dasar Ah Tong, cari pacar aja nggak bener, ngimpi punya istri segala."


Ah, semoga ke depan saya tidak lagi kikuk dan pintar menyesuaikan diri. Dan, eniwei, saya harusnya mengerjakan naskah, instead of writing this pointless stuff. *tampar diri sendiri*






2 komentar:

Tiada kesan tanpa komentarmu...