Selasa, 28 Februari 2017

Festival Makan Mayit dan Pertanyaan Tentang Moral

Kemarin, dan seperti hari-hari lainnya, netizen menemukan hal untuk disorak dan diriuh-ramaikan. Netizen memang selalu saja bisa menemukan hal-hal yang membuat mereka marah, geram dan miris di media sosial. Netizen, seperti yang kita ketahui, berhak untuk marah dan ngamuk pada siapapun, mulai dari orang biasa hingga selebritis, dengan cara lembut ataupun dengan kata-kata kasar.

Kali ini sasaran kemarahan netizen adalah Festival #MakanMayit, sebuah seni pertunjukan karya seniman Natasha Gabriela Tontey. Sebuah pertunjukan yang mengusung tema horor, ketakutan manusia dan kanibalisme.

Jika anda berperut lemah dan cepat mual, jangan lanjutkan baca tulisan ini.




Menyelami Horor #MakanMayit

Seorang biarawati berjalan dengan baju khasnya: putih pucat dan lengkap dengan rosario menggantung di dadanya. Dia membawa sebuah penyangga lilin berbentuk tangan manusia yang di setiap ujung jarinya terdapat lilin putih menyala. Jika pada umumnya biarawati menyembunyikan rambut mereka dengan rapi, biarawati yang satu ini menggerai rambut pendeknya. Diterangi cahaya lilin yang temaram, biarawati itu menyeringai.

Biarawati itu membimbing para hadirin ke meja makan. Bermacam-macam hidangan sudah tersedia di meja itu: otak manusia dengan saus darah, darah kental disusun rapi di gelas-gelas ramping, janin yang masih merah dan hidangan utama: bayi dengan tubuh yang tidak lagi utuh.



Hadirin dipersilahkan menyantap hidangan tersebut. Sementara sang biarawati akan berkeliling, memastikan semua tamunya puas dengan hidangan. Semua makan dengan lahap, tidak ada yang pulang dengan keadaan lapar malam itu.

Membaca deskripsi di atas, apakah anda membayangkan ini seperti adegan di film horor? Ya, inilah yang terjadi di #MakanMayit. Hanya saja, menu makanan yang disebutkan adalah makanan yang bentuknya diolah sedemikian rupa menyerupai tubuh bayi. Darah yang dihidangkan sebagai minuman adalah jus buah dan janin bayi terbuat dari jelly dengan warna yang menyerupai darah. Dan sang biarawati yang menyambut hadirin bukanlah biarawati sungguhan melainkan sang seniman; Natasha Gabriella Tontey.

Bagi saya, pertunjukan ini menjijikkan. Lambung saya yang sudah lama bermasalah langsung memberontak ketika malam itu saya melihat tagar #MakanMayit di lini masa Instagram. Tapi rasa ingin tahu membuat saya terus scrolling. Sampai akhirnya rasa jijik saya berubah menjadi rasa heran.


Bukan heran terhadap festival #MakanMayit, melainkan heran pada netizen. Netizen murka dan memuntabkan kemarahannya ke banyak pihak. Tidak hanya ke Natasha sebagai seniman, tapi pada tempat acara diselenggarakan dan orang-orang yang hadir di acara tersebut. Dan tentu saja, di setiap kejadian ada yang menyalahkan Jokowi.

Kemarahan netizen tidak lagi terbendung. Mereka mengucapkan kata-kata yang (menurut saya) lebih sadis daripada sekelompok orang yang berpura-pura memakan bayi. Gila, psycho, sakit jiwa, tolol, dongo, muka jelek babi, komunis (iya, saya heran kenapa komunis ini gampang sekali dibawa dalam perdebatan apapun di Indonesia), PKI dan serangkaian kata kasar lainnya.


Natasha Gabriella Tontey


Belakangan, para ibu (sekaligus netizen) yang sakit hatinya ramai-ramai memposting foto bayi mereka di Instagram. Mungkin, ini adalah gerakan counter yang ingin menyampaikan pesan bahwa bayi adalah makhluk yang indah yang seharusnya dihargai sebagaimana menghargai ibu yang sudah melahirkan mereka. Tapi, silahkan tengok sendiri caption dari foto bayi-bayi imut tersebut. Isinya kemarahan, yang tak jarang diiringi serapah terhadap Natasha. 


Saya jijik melihat pertunjukan #MakanMayit ini, tapi juga jijik dengan ibu-ibu yang memposting foto anak tanpa dosa dengan caption maki-makian. Tolonglah, para ibu, pisahkan kemarahanmu dari foto bayi. Sang seniman mungkin melakukan kesalahan, tapi kalian meng-counter dengan cara yang tidak lebih terhormat!



Dan, akibat netizen juga akhirnya acara #MakanMayit ini terdengar ke telinga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yembise. Beliau turut mengecam pertunjukan #MakanMayit. Ini jadi isu nasional ketika seorang menteripun turut bersuara. Ini sudah terlalu dibesar-besarkan. 


Dan bicara soal Menteri Yohanna, saya punya sebuah ingatan menarik. Malam itu, Mei 2016 kalau tidak salah, orang-orang sedang berkumpul di Tugu Proklamasi, Menteng, untuk menyalakan lilin tanda berdua untuk Yuyun, korban pemerkosaan dan pembunuhan di Bengkulu. Yang Mulia Menteri Yohanna dengan santainya berkata, "rata-rata pemerkosa itu dan salah satu penyebab orang memerkosa adalah karena mereka berasal dari keluarga broken home." Seketika seisi lapangan bersorak "huuuuuuu...." like... seriuosly.... seorang menteri bisa menjadi se-ignorant itu. Indonesia memang luar biasa.


Kembali ke #MakanMayit. Secara pribadi, saya tidak terhibur maupun terkesan dengan seni ini. Malah untuk beberapa bagian saya sangat tidak setuju dengan pendapat Natasha sebagai seniman. Dalam wawancara di VICE dia menyatakan bahwa "kita sejak bayi minum ASI dan secara esensial berarti kita minum darah.". Plis ya, Mbak Natasha, buka lagi buku Biologinya. ASI itu bukan darah, tapi kelenjar.

Menurut saya #MakanMayit itu menjijikkan, tidak menghibur dan terlalu dangkal secara konsep. Tapi bukan berarti saya punya hak untuk melancarkan serangan personal kepada Natasha di akun media sosialnya dengan kata-kata yang menyakitkan.


Dan, saja setuju dengan Arman Dhani, jika kita merasa demikian marah terhadap sekelompok orang yang berpura-pura makan bayi tapi biasa saja ketika melihat kenyataan bahwa ratusan bayi dibuang setiap bulannya, kita perlu mempertanyakan kembali moral kita.

Kamis, 23 Februari 2017

Dongeng Kokoh Galak



Ini adalah kisah tentang seorang Kokoh Galak yang doyan minum susu.

Beberapa waktu lalu banjir datang menerpa Kota J. Dan beberapa tahun terakhir, apapun yang terjadi di Kota J, yang disalahin selalu Kokoh Galak. Bahkan, apapun yang terjadi di Negara I, yang salah tetep Kokoh Galak. Kalo bukan Kokoh Galak, ya Pakde Ndeso. Siapapun biang keroknya, yang salah tetap mereka berdua.

Waktu banjir menerpa Kota J, seorang lelaki tampan bernama Pak Manies datang ke lokasi banjir. Dengan jas anti hujan dia berjalan gagah menerobos banjir sambil memeluk seorang Ibu secara unyu. Uuuww so sweet. Penduduk Kota J dan Negara I pun langsung terpesona sama peluk-peluk lucuk Pak Manies. Uwuwuwuw.

Sebenernya Kokoh Galak juga datang ke tempat banjir menerpa. Kokoh melihat dari kejauhan, bikin kalkulasi tentang apa yang harus dia perbaiki dan apa yang diperlukan warga Kota J yang kena banjir. Setelah dapat solusinya, Kokoh Galak bersiap-siap pulang. Para juru-hore Kokoh Galakpun kelimpungan.

"Koh! Kok malah pulang, sih? Ini udah kita sediain perahu. Masuk dong ke area banjirnya. Kita butuh foto untuk hore-hore," kata salah satu juru-hore. Dia rungsing.

"Gue udah tau apa yang musti gue perbaikin. Bantuan udah gue suruh turun. Ini gue mau lanjut kerja. Ngapain gue turun? Emangnya kalo gue turun banjirnya surut?"

"Tapi, Koh. Setidaknya lo foto-fotolah. Biar gak banyak banget yang nyinyirin elu!"

"Dinyinyirin mah udah gak ada rasanya lagi di gue. Kepala gue aja dihargain satu milyar buat dipenggal!"

"Foto bentarlah, Koh. Tunjukkan kalo lo peduli."

"Heh! Dengerin. Kepedulian gue adalah ngejalanin tugas gue sebaik-baiknya. Mendesain kota ini biar gak banjir. Gue gak tidur berhari-hari mikirin nih kota, biar cuman gue yang tau. Gue gak perlu foto! Kerja gue lebih berdampak dari turun dan foto-foto!"

"Terserah lo deh, Koh. Capek gue nasehatin lu."

"Kalok lo emang butuh banget foto biar Pak Kumis aja deh yang turun dan foto-foto."

Tidak ada satupun foto diambil hari itu. Dan besoknya si Kokoh Galak diberitakan sebagai monster yang tidak punya simpati, gak sudi celananya basah sama banjir. Banjir yang seharusnya dijadikan ajang instropeksi malah dijadikan ajang serang-menyerang. Siapa yang paling menderita? Mungkin, juru-hore yang menepuk jidat sambil bilang, "apa gue bilang!"

----

Di kesempatan lain, beberapa bulan sebelum banjir tiba, Juru Hore datang menemui Kokoh Galak.

"Koh, kita dangdutan yuk!"

"Siapa yang nikah?" tanya Kokoh Galak yang terbiasa dihibur dengan dangdutan ketika datang ke kondangan rakyatnya.

"Bukan. Dangdutan di tipi, Koh. Saya juga bingung sih, ini acara dangdutan apa reality show. Banyakan ngemengnya daripada nyanyi dangdutnya. Tapi ratingnya tinggi."

"Terus, gue ngapain di sana?"

"Ya nyanyi dangdutlah!"

"Gue mau tanya sama lo."

"Apa tuh, Koh?"

"Emangnya gue ini lagi ada di ajang pemilihan pelayan rakyat atau biduan rakyat."

"Pelayan, Koh."

"Lo kalo milih pelayan, pilih yang bisa kerja bener atau yang bisa nyanyi?"

"Yang bisa kerjalah."

"YHA TERUS KENAPA LO SURUH GUE NYANYI? LO TAU SUARA GUE UDAH KAYAK GIANT-NYA DORAEMON!!!"

"TAPI INIH ACARA RATING TINGGI, KOH!" kata Juru Hore yang emosi melihat kerasnya kepala Kokoh Galak.

"YA BODO AMAT! INI KERJAAN GUE MASIH BANYAK. NGAPAIN GUE IKUT DANGDUTAN MALEM-MALEM?"

"TERSERAH ELO DEH KOH!"

Akhirnya niat Juru Hore menampilkan Kokoh Galak di acara dangdut batal. Beberapa hari kemudian, Pak Manies terlihat tampil di acara dangdutan tersebut. Juru Hore misuh-misuh.

"Tuh kan! Gue bilang juga apa, Koh. Dangdut itu cara yang paling enak buat deketin rakyat!"

"Gue deketin rakyat pake kerjaan gue ajalah. Gue gak bakat dangdutan," kata Kokoh Galak, lalu lanjut kerja lagi.

---

Suatu hari, nggak biasanya, Juru Hore tampak Bete. Kokoh Galakpun mendekatinya.

"Kenapa muka lo kayak kain lap gitu?" tanya Kokoh Galak

"GARA GARA LO SUSAH DIBILANGIN!"

"Lo jangan marah-marah gitu. Kalo ada masalah, ayo kita obrolin. Emang gue kenapa?"

"Bisa gak lo tuh kalo ngomong dimanis-manisin dikit? Gue gak tega lo dinyinyirin orang-orang mulu. Gue tau maksud lo baik, lo gak mau pencitraan. tapi realitanya, masih banyak yang suka hal-hal menye-menye."

"Terus gue harus gimana?"

"Ya tuh bibir manis dikit kalo ngomong! Ibarat pacaran nih ya, lo harus pinter-pinter ngerayu."

"Gue sih kalo pacaran lebih suka nunjukin apa yang bisa dan sudah gue lakuin ke dia. Itu bukti cinta!"

"Iya, tapi yang namanya cinta butuh janji. Ibarat orang pacaran, kudu dijanjiin nikah. Masalah janji lo realistis ato enggak, itu masalah nanti. yang penting pacar lo klepek-klepek dulu."

"Jadi gue kudu janji yang heboh-heboh meski itu harapan kosong?"

"Itu realita, Koh! Masih banyak yang lebih suka janji daripada bukti!"

Kokoh terdiam sejenak. Wajahnya tampak serius dan sendu. Juru Hore mengelus pundak Kokoh Galak dan menguatkannya.

"Mau, ya, Koh? Lo mau berubah, ya?"

"Gue bakal berubah. Gue bakal lebih sopan kalo ngomong."

"Nah, gitu dong, Koh!"

"Tapi gue tetap gak mau pura-pura manis dan ngasih janji heboh. Meski sekarang semua gak mau lihat hasil kerja gue, gue yakin suatu saat rakyat juga yang nikmatin kerjaan gue. Ntar mereka juga pada sadar."

"Koh!"

"Maaf, itu bukan gue. Bermanis-manis tanpa kerja itu bukan cara gue."

"Ini demi suara! Biar lo kepilih!"

"Gue disumpah untuk kerja. Bukan untuk ngasih janji manis atau dangdutan atau foto-foto pas banjir."

"ITU KEPALA TERBUAT DARI APA SIH KOH? KERAS BANGET KAYAK RENGGINANG KELAMAAN DIJEMUR! MASYA ALLAH!"

Kokoh menatap mata Juru Hore dengan tajam. Lalu, dengan suaranya yang sejelek Giant di kartun Doraemon, Kokoh Galak bersenandung lagu Frank Sinatra

"For what is a man, what has he got?
If not himself, then he has naught
To say the things he truly feels and not the words of one who kneels
The record shows I took the blows and did it my way
Yes, it was my way~"

---
Demikianlah dongeng ini saya sampaikan. Apabila ada kesamaan karakter, yah, mungkin aja sosok Kokoh Galak dan segala idelismenya memang ada di negara kita ini. Yang penting abis baca dongeng ini jangan pada marah-marah dan gatal-gatal aja, sik. Sekian~

Senin, 20 Februari 2017

Berharap Kepada Guru yang Rendah Hati



Di tangan guru yang salah, belajar adalah proses yang menakutkan. Mereka tidak tahu caranya mengarahkan para murid untuk menimba ilmu, menuntaskan dahaga akan pengetahuan. Ilmu dipaksakan, dicekokkan ke mulut-mulut murid yang pasrah. Di tangan guru yang salah, pendidikan bisa menjadi mesin pembunuh, sesuatu yang sangat menakutkan.

Saya ingat sekali, abang saya melakukan banyak hal untuk menghindari pelajaran Bahasa Inggris di sekolahnya. Dia berteriak, menangis, sampai pura-pura sakit. Di tangan guru yang salah, belajar adalah teror yang menakutkan.

Saya sendiri, tidak pernah takut pada pelajaran apapun sampai suatu ketika bertemu dengan pelajaran Bahasa Arab di bangku Madrasah Aliyah (setara SMA). Saya adalah tipikal anak yang umumnya dibesarkan oleh sebagian besar keluarga muslim Indonesia: bisa membaca aksara Arab, tapi tidak mengerti artinya. Jadi bahasa Arab, meski tak asing, cukup untuk membuat saya ketakutan. Bukan hanya takut mendapat nilai jelek, tapi juga takut akan terlibat paling bodoh diantara teman-teman saya yang rata-rata lulusan Madrasah Tsanawiyah.

Namun, saya beruntung sekali, saya jatuh ke tangan guru yang benar.

Nama beliau Ahyar. Lelaki berwajah ramah yang memiliki logat Melayu yang kental ketika dia berbicara. Beliau adalah guru Bahasa Arab pertama dan terakhir saya. Hingga saat ini, saya sangat pasif dalam berbahasa Arab tapi bagi saya beliau berhasil sebagai seorang guru. Alasannya satu: beliau berhasil membuat saya tidak membenci pelajaran Bahasa Arab.

Membuat sebuah pelajaran sulit menjadi menarik adalah hal yang hanya bisa dilakukan oleh guru yang hebat. Banyak sekali guru matematika di dunia ini yang gagal mengemas ilmu tersebut secara menarik, sehingga matematika menjadi pelajaran yang dibenci banyak murid. Tapi Pak Ahyar menjadikan pelajaran Bahasa Arab menjadi pelajaran yang tidak layak ditakuti karena kerendahan hatinya.

Di depan kelas, beliau berkata pada kami, "saya sendiri masih terus belajar Bahasa Arab. Kita sama-sama belajar di sini. Jadi yang bukan lulusan tsanawiyah jangan takut. Kita pelajari pelan-pelan. Bapak juga masih belajar.". Kerendahan hati beliau untuk "menurunkan" posisinya hingga sejajar dengan kami yang baru belajar, membuat saya bernapas lega di pertemuan pertama di kelas Bahasa Arab.

Sejak hari itu Beliau tidak berhenti membuat saya kagum. Beliau adalah guru yang tanpa ragu memberikan tumpangan di Vespa birunya kepada Murid yang ia lihat berjalan kaki menuju sekolah. Ini dia lakukan nyaris setiap hari. Beliau adalah satu-satunya guru yang menghapal semua nama-nama murid di sekolah, termasuk murid di kelas yang tidak diajarnya. Beliau adalah guru yang setiap kali menghadapi murid bermasalah, tidak memasang wajah marah. Beliau hanya terlihat kecewa, sesekali tampak sedih. Saya tidak pernah melihat dia memukul atau membentak.

Pernah suatu kali, ketika saya duduk di kelas 2 aliyah, teman sekelas saya membuat beliau marah. Tapi dalam marahnya beliau tidak membentak, tidak memukul. Wajahnya hanya memerah dan matanya sedikit berair. Sesudah hari itu, wajahnya kembali ramah seperti biasa.

Di sekolah kami, pintu gerbang ditutup pukul 7.30 pagi. Siapa saja yang datang setelah jam tersebut akan disuruh menunggu di luar gerbang. Mereka disuruh mencabut rumput atau menyapu halaman sekolah sebelum diperbolehkan masuk. Tapi peraturan itu tidak dijalankan Pak Ahyar. Jika ada murid yang sangat jarang terlambat tiba-tiba ada di "barisan terlambat", beliau akan mempersilahkan murid itu masuk tanpa hukuman. Beliau paham bahwa terkadang ada hal yang membuat murid yang disiplin harus terlambat. Entah karena kelelahan belajar di malam sebelumnya, entah karena harus membantu orang tua di pagi hari, entah angkot yang sulit ditemui (sebagaian dari kami tinggal di kampung yang jauhnya puluhan kilometer dari sekolah).

Beliau adalah satu dari sedikit sekali guru yang tidak tertarik menggunjing keburukan anak didiknya. Beliau adalah orang yang memilih ridak banyak bicara di tengah konflik internal sekolah, dia tetap berfokus mendidik muridnya. Guru yang selalu melarang dengan memberi pengertian dan marah dalam bahasa yang lembut.

Di tangan guru seperti ini, guru yang tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain, marilah kita letakkan harapan kita. Harapan masa depan yang akhir-akhir ini gampang sekali marah dan merendahkan orang lain ini.