Minggu, 11 Desember 2016

Resensi: PIKU (2015)



Nama Irffan (yang dalam beberapa film terakhir tidak lagi mau mencantumkan nama belakangnya, mungkin karena kita sudah punya cukup banyak "Khan" di industri film) adalah jaminan sebuah film adalah film yang baik atau tidak. Setidaknya bagi saya, saya tidak pernah kecewa sedikitpun dengan film-filmnya. Jika anda melihat nama Irffan di sebuah film Bollywood percayalah dia telah menimbang matang dan film tersebut tidak akan membuat anda merasa tertipu ketika menontonnya.

Demikian pula dengan "Piku". Meski poster film ini tampak sangat cheesy, seolah ini adalah film komedi remeh-temeh, tapi ini adalah film yang tidak pantas dilewatkan jika anda suka film dengan penulisan skenario yang intens, dimana karakter di dalamnya berkembang dengan natural. Tidak ada loncatan ekstrim pada alur cerita, namun emosi bisa terjalin dengan baik.

Tapi kita tidak akan berbicara tentang Irffan kali ini. Kita akan berbicara soal tokoh utama, tokoh yang masalah pencernaannya akan kita tonton dari awal hingga akhir film: Bashkor Mukherjee yang diperankan oleh Amitabh Bachchan.

Pada sebuah wawancara di acara talkshow "Coffee with Karan", Amitabh Bachchan berkata bahwa belum ada satupun film yang dia bintangi bisa dianggap sebagai film terbaiknya. "Yet to come," katanya. Ketika itu saya kira dia salah, dia sudah melakukan akting terbaiknya di film BLACK (2004) bersanding dengan Rani Mukherjee. Tapi setelah menonton Piku, saya paham bahwa The Big B adalah aktor yang tidak pernah berhenti mengembangkan dirinya. Meskipun dia pernah membintangi film sampah seperti "Buddha Hoga Tera Baap".

 Ide cerita Piku sangat sederhana. Piku adalah anak perempuan yang harus mengabdi dan menjaga ayahnya (Bashkor Mukherjee) yang memiliki masalah pencernaan akut. Meskipun yang bermasalah adalah pencernaannya, Bashkor percaya bahwa masalah itu akan mengundang masalah kesehatan lainnya. Sebab itu dia mengukur panas badannya dari jam ke jam, menyuruh Piku memeriksa tekanan darahnya setiap hari dan minta dikunjungi dokter pribadi setiap pagi. Bashkor ingin memastikan semua dalam keadaan baik-baik saja. Sekecil apapun kelainan yang dia rasakan di tubuhnya akan segera ia obati. Ia tidak ingin sakit parah. Ia tidak ingin mati dengan keadaan diinfus, ditanami ring di jatung atau mati menyedihkan di ruangan rumah sakit.

Sementara Irffan adalah seorang pemilik perusahaan taksi. Suatu hari, dia terjebak dalam tugas mengantarkan Piku dan Bashkhor ke Kolkata dengan perjalanan darat dari Delhi. Diperjalanan itulah ketiga tokoh ini mengaitkan emosi satu sama lain. Mereka saling teriak, saling mencurigai sekaligus saling menjaga. Terdengar klise? Ya, memang klise, seperti film-film yang menunjukkan perjalanan panjang. Akan ada cerita-cerita yang tidak diceritakan tokohnya untuk siapapun sebelumnya. Saya pribadi tidak terlalu suka bagian ini, meski banyak sekali adegan yang membuat saya tergelak tertawa.

Bagian yang menarik, bagi saya, justru terjadi ketika mereka telah tiba di Kolkata. Pertama, saya memang jatuh cinta dengan pemandangan kota ini sejak saya melihatnya dalam film The Namesake. Kedua, akting Amitabh Bachchan ketika dia mengelilingi Kolkatta dengan sepeda membuat saya merinding. Adegan tersebut berhasil merekam kebahagiaan aneh yang merayap di hati manusia ketika menziarahi kenangan.

Sementara itu Deepika Padukone, lewat perannya sebagai Piku, berhasil menunjukkan bahwa dia sudah jauh berproses dari gadis cantik yang hanya hadir sebagai hiasan di film pertamanya Om Shaati Om. Dia memerankan Piku dengan sangat baik. And Irffan is being Irffan: awesome as always.

Saya rasa, konflik keluarga yang mendalam hanya bisa ditemukan di film India. Peranan keluarga sangat penting di India dan kita tidak pernah bisa membahas keluarga dari segini sepasang orang tua dan anak-anaknya. Dalam tradisi India keluarga adalah seluruh elemen dari buyut, kakek-nenek, paman-bibi, ipar, tetangga sekaligus pembantu yang tinggal di satu rumah. Dan Piku adalah salah satu film yang mengelola emosi kekeluargaan tersebut dengan sangat baik.


7.5/10






Minggu, 30 Oktober 2016

Dunia yang Berengsek dan Seorang Laki-Laki yang Menangis




Gemuruh hujan sore tadi, menyisakan gerimis tipis di malam ini. Kita berjalan pelan-pelan di bawahnya, sedikit berjingkat menghindari genangan air di trotoar yang rusak.

"Kau mau minum?" tanyaku kepadamu lewat Whatsapp sekitar lima belas menit lalu.

"Kau mengajakku minum?" kau balik bertanya.

"Ya, aku tunggu kau di lobi."

"Sepuluh menit. Ada beberapa tulisan yang harus kuselesaikan, setelah itu aku turun."

Aku berdiri di lobi, di balik dinding kaca berwarna biru tua yang masih basah oleh titik-titik hujan. Aku terlalu gelisah untuk duduk. Sofa merah marun di tengah lobi tampak menyeramkan ketika sudah malam. Di tambah dengan lampu remang berwarna oranye di atasnya. Semua membuat suasana sangat muram. Seperti ada arwah penasaran yang melayang-layang diantara sofa dan lampu itu.

----

Kau datang lebih awal dari yang aku perkirakan. Begitu cepat, tidak sampai sepuluh menit seperti yang kau bilang sebelumnya. Dan begitu kau mendekat aku bisa mencium bau parfum yang baru kau semprotkan di leher. Ada sedikit bercak basah di kerah depan kemeja birumu.

"Tidak lembur malam ini?" tanyaku sambil berjalan menuju pintu. Kau mengikuti di belakangku.

"Pekerjaan sialan itu, meski aku mengerjakannya sampai aku mati kelelahan, tidak akan ada habisnya. Dan meskipun aku menyelesaikan semuanya tepat waktu, mereka akan tetap menemukan kesalahan untuk memarahiku. Pada dasarnya memang mereka mencari alasan untuk marah, kukira."

"Sepertinya kau capek sekali. Apa tidak sebaiknya kita minum alkohol saja?" tanyaku sambil menengadahkan tangan ke langit dan mendapati telapak tanganku menjadi lembab.

Kau tidak menjawab, tapi aku bisa mendengar langkah kakimu mengikutiku di belakang. Aku sampai harus menoleh untuk mendapat jawabanmu. Kuperhatikan agak lama matamu yang lelah di balik kacamata tanpa bingkai itu. Rambutmu sedikit basah oleh gerimis. Kau tersenyum tipis.

"Tidak usah," tolakmu sopan.

Kita berjalan menuju lampu merah, beberapa ratus meter dari gedung 14 lantai yang kita tinggalkan. Gedung itu, sama seperti lobinya, tampak muram di malam hari.

"Kudengar orang-orang akan merasa lebih baik jika minum alkohol di tengah pekerjaan yang menjemukan. Jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik, akan kutemani kau minum. Aku akan memandangimu sambil minum air lemon dingin," kataku.

"Tidak malam ini. Aku sedang tidak berselera. Aku akan minum apapun yang kau ingin minum. Memangnya kau ingin minum apa?"

"Aku tidak sedang ingin minum. Kalau aku ingin minum, aku akan menyeduh satu dari sekian banyak jenis minuman yang disediakan di pantry kantor kita. Aku gelisah, aku hanya ingin berbicara."

"Berbicaralah," katamu

"Aku mendengarkan,"katamu lagi.

----

Tanpa sepengetahuanmu, aku menangis. Sambil mendengar suara ketukan sepatumu di trotoar, menyadari kau mengikuti langkahku, aku menangis diam-diam. Kau tidak mengatakan apapun. Kau hanya mengikuti aku.

Ketika aku bilang aku hanya ingin berbicara, kau membalasnya dengan cara yang tidak aku duga. Kau tidak bertanya dengan cerewet, 'soal apa?', 'kau ada masalah apa?', 'kau kenapa, sih?'. Kau hanya menyuruhku bicara. Dan kau mendengarkan, tambahmu, membuat aku semakin ingin menangis.

Di dunia yang palsu dan menjemukan ini, sepertinya hanya kau yang mengerti kebutuhan dasar itu: didengarkan. Tanpa harus banyak bertanya. Aku senang sekali kamu bersedia berjalan di belakangku, di tengah gerimis begini, dengan sepatu hak tinggi yang tentu saja tidak nyaman untuk berjalan di trotoar Jakarta yang buruk.

Tiba-tiba kau menggenggam tanganku. Jari-jarimu yang pendek dan kurus itu mencoba menggenggam seluruh telapak tanganku.

"Menangislah. Aku tahu rasanya menyesakkan. Kau pasti ingin sekali berteriak. Tapi alih-alih berteriak, kau boleh menggenggam tanganku kencang-kencang," katamu lembut.

"Bagimu, apakah ini tidak memalukan?" tanyaku tersendat, tersedak air mataku sendiri. Dada dan kepalaku seperti dipenuhi udara. Aku merasa pengap.

"Karena kau laki-laki dan kau menangis?" tanyamu. Aku mengangguk.

"Tuhan! Tentu saja tidak," tegasmu. "Pasti susah sekali bagi kalian, para laki-laki. Kalian tidak boleh menangis keras-keras di dunia yang begini berengsek. Dan berat juga bagi kami, para perempuan. Kami selalu diharapkan menjadi pihak yang menangis. Jadi pihak yang harus dipeluk erat dan ditenangkan. Pada dasarnya dunia ini memang berengsek."

"Ya, aku iri sekali. Aku ingin menangis, dipeluk lalu ditenangkan seperti seorang perempuan."

Kau menghentikan langkahmu. Aku juga. Lalu kita saling berhadapan.

"Menangislah. Aku akan memeluk dan menenangkanmu, seperti seorang manusia. Seperti sepantasnya seorang manusia diperlakukan," katamu.

Lalu kita berpelukan.

----

Jumat, 21 Oktober 2016

Catatan Perjalanan Digital: 7 Hari, 7 Trending

"Bisa enggak kira-kira kita bikin trending topic seminggu?"

Beberapa minggu sebelum pengumuman kelolosan verifikasi parpol baru oleh Kemenkumham, Sekjen DPP PSI, Raja Juli Antoni,  menanyakan itu pada saya.

"Kalau kita lolos verifikasi partai baru, bisa enggak kita bikin rame sosmed? Kita bikin trending topic setiap hari, selama seminggu?"

"Bisa, Pak."

"Yakin?"

"Tujuh trending dalam tujuh hari, kan? Bukan mempertahankan trending selama tujuh hari tujuh malam?"

"Bukan. Jadi setiap hari ada satu hashtag kita yang jadi trending. Dua atau tiga jam per hari, okelah saya rasa."

"Bisa, Pak."

"Oke, atur kalau gitu."

----

MAMPUS GUE. MATI AJALAH. MANA MUNGKIN BISA.

Berbeda dengan jawaban yakin saya di ruang rapat, ketika kembali ke meja saya, saya mengumpat dalam hati. Di kepala saya mulai tergambar keruwetan yang saling melilit satu sama lain. Saya harus mencari 7 hashtag yang catchy. Membuat penjelasan tentang masing-masing hahstag agar bisa diterjemahkan dalam materi berupa gambar, video, poster dan lain-lain. Dan yang paling penting: ini adalah berita besar. Berita ini ditunggu oleh anak muda dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka yang telah mengucurkan keringat, bahkan darah untuk mewujudkan kelolosan parpol baru: Partai Solidaritas Indonesia.


"Oke, tenang, Halimah. Toh selama ini sudah berhasil bikin beberapa trending. Teman-teman di wilayah sudah dapat pelatihan medsos, pasti mereka sudah lebih siap sekarang," kata saya dalam hati.

Tarik napas, seduh teh dan mulai menulis alternatif-alternatif hashtag.


"YA KALI TUJUH TRENDING BERTURUT-TURUT. BRAND BESAR AJA SAMPAI NYEWA TENAGA AGENCY UNTUK BIKIN TRENDING SEHARI. LO ANAK INGUSAN BARU KENAL SOSMED KEMARIN SORE UDAH PE-DE BIKIN TUJUH HARI SEKALIGUS?"


Tarik napas lagi. Jedotin kepala ke meja. Menyesal sudah sok oke di rapat tadi.

----

Dan benar saja, persiapannya sangat-sangat rumit. Meeting berkali-kali, berkali-kali, rombak hashtag, menyiapkan TOR dan timeline yang direvisi berkali-kali. Di tengah jalan saya hampir menyerah dan melaporkan kepada sekjen kalau ini semua rasanya mustahil. 


Tantangannya adalah  membuat brief se-detail mungkin, dengan bahasa se-sederhana mungkin agar tidak ada yang salah paham dan membuat materi yang tidak satu suara. Tantangan lain adalah meminta teman-teman di daerah untuk membuat akun twitter. Saya paham betul sebagian besar dari mereka tidak punya fasilitas sebagus kita yang bisa mengakses internet kencang dengan harga terjangkau di Jakarta.


Tapi malam itu saya menarik memori ke setahun yang lalu. Satu tahun lalu saya adalah guru TK, orang yang sehari-hari bergumul dengan papan tulis, krayon, kertas warna-warni dan tangis-tawa anak-anak. Malam itu, saya adalah seorang yang setiap hari bergumul dengan sosial media dan partai politik. Saya tidak boleh membatasi diri. Ada ruang yang begitu luas yang bisa saya eksplorasi.

Saya sudah berkeliling beberapa provinsi, bertemu langsung dengan anak-anak muda hebat yang begitu bersemangat mempelajari sosial media di tengah sulit dan mahalnya akses internet. Ketika sedang berada di Bengkulu,  seorang bro mengatakan dia harus pergi ke luar dari desanya untuk mengakses jaringan telepon selular dan telepon. Namun dia masih bersemangat mendengarkan materi yang saya sampaikan.


Saya tidak boleh meragukan kemampuan anak-anak muda dengan semangat belajar yang tinggi. Saya hanya membantu menyediakan peta, merekalah yang sebenarnya bertarung dan menjelajah.


Saya memutuskan untuk lanjut!

----
HARI PERTAMA

Setelah melewati serangkaian keribetan, bahkan di detik-detik terakhir sebelum hashtag pertama diluncurkan, akhirnya pertarungan dimulai. Hari itu, bisa dibilang saya mengetik nyaris seluruh huruf dengan jari gemetar.

Gemetar mendengar kabar gembira yang tiba-tiba menghentak dari kantor Kemenkumham. PSI lahir sebagai satu-satunya parpol baru yang berhasil meloloskan diri dari verifikasi Kemenkumham di tahun 2016. Kebahagiaan yang menggetarkan dada ribuan anak muda yang sudah bersusah-payah melahirkan partai ini di tengah banyak sekali kesulitan dan kesederahaan.


Kebahagiaan itu membuat Hashtag kami begitu cepat meledak. Kurang dari satu jam #PSIsatu2nyaPartaiBaru sudah melesat ke puncak TT Indonesia dan bertahan di sana hingga nyaris 4 jam. Misi hari pertama berhasil ditunaikan.

7 Oktober 2016




HARI KEDUA

Pagi sekali, saya kembali mengecek Twitter dan ternyata hashtag hari pertama masih berada di urutan Trending no.3. Saya terkejut sekaligus bahagia dan secara sedikit gegabah, memutuskan untuk menggunakan hashtag yang sama untuk dilanjutkan di hari kedua. Dan hasilnya, hashtag kami hanya bertahan sangat sebentar di jajaran Trending.


Tapi saya tidak terlalu kecewa karena; pertama, dari awal kami sudah memprediksi susahnya menaikkan trending di hari Sabtu atau Minggu dan kedua sebentar atau lama, trending adalah trending hehehe.



HARI KETIGA

9 Oktober 2016




Di hari ketiga, ada yang mengatakan bahwa kami sempat mencapai posisi puncak. Tapi dalam catatan saya, hashtag kami hanya sampai di posisi kedua. Namun bertahan sangat lama hingga sampai 5 jam.


HARI KEEMPAT


10 Oktober 2016

Ini adalah trending yang bertaha paling lama. Nyaris 7 jam, meski tidak berhasil menaiki posisi puncak.


HARI KELIMA

11 Oktober 2016
Ini adalah hashtag dengan performa terbaik kedua setelah #PSIsatu2nyaPartaiBaru. Melesat ke puncak dalam 1 jam, dengan live tweet langsung dari Konferensi Pers yang diadakan DPP PSI di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.


HARI KEENAM

12 Oktober 2016

Hashtag ini sempat terseok-seok di posisi 5 turun ke 6 naik lagi ke 5. Tapi pada akhirnya kami berhasil menaikkannya ke puncak.


HARI KETUJUH

13 Oktober 2016

Ini adalah hashtag paling menguras tenaga. Hari terakhir, kami ingin sekali mengakhirinya dengan hashtag yang bertahan lama di posisi puncak. Tapi sayangnya, hari itu bertepatan dengan #NoBraDay, sebuah kampanye internasional untuk kesadaran akan kanker payudara. Kampanye baik tersebut menjadi kontroversi karena sebagian orang bodoh berotak kotor berpikir #NoBraDay adalah sebuah aksi pornografi. Karena kontoversi itu hashtag #NoBraDay berada di puncak TT selama 24 jam. dan kami mentok di posisi 2. Puncak atau bukan, Trending adalah trending. Hehe.


----

Catatan ini terlambat ditulis, tapi saya tetap ingin menuliskannya. Ini akan menambah satu lagi jejak digital saya dan teman-teman saya di Partai Solidaritas Indonesia. Ini adalah pengingat bahwa kami bahu-membahu belajar dan mempraktekkan demokrasi digital. Ini adalah kenangan manis bahwa kami pernah mengukir keberhasilan bersama. Ini adalah catatan perjalanan digital kami, semoga kamu menyukainya.

Rabu, 14 September 2016

Satu Sampai Sepuluh

Malam ini

mungkin kau sedang menulis catatan panjang
tentang perpisahanmu dengan mimpi-mimpimu
dan tentang apa-apa yang telah diambil darimu dan tak pernah dikembalikan
dan kau berjanji untuk tidak pernah peduli lagi


mungkin kau sedang menatap barisan kaleng warna-warni
di dalam lemari es minimarket tanpa tahu mana yang kau mau
sebab kau tak haus, kau hanya bosan
dan tak tahu harus apa


mungkin kau sedang berdoa kepada Bapa di sorga
kau berdoa agar lukamu lekas kering
lalu kau bertanya kepadanya
"Bapa, apakah di surga ada kesedihan dan air mata?"


mungkin kau sedang menghitung satu sampai sepuluh
sambil menodongkan pistol ke kepalamu
kau menatap pintu sambil berharap seseorang membukanya dan menghentikanmu
kau sudah sampai di hitungan ketujuh dan pintu masih belum terbuka


malam ini
mungkin kau sudah mati
atau
mungkin kau sedang mengingatku





-=========================

ceritanya, tiga hari lalu saya memutuskan untuk membeli sebuah buku catatan yang kertasnya bermotif-motif dan berwarna-warni meriah. Sampulnya juga tidak kalah heboh; ada gambar jerapah, kelinci dan kucing yang sedang joget. Harganya hampir 4 kali lipat harga buku catatan biasa. Bersama buku catatan yang terlalu mahal ini saya beli juga pulpen yang terlalu mahal. Warnanya biru terang sekali.

Saya bukan sedang kebanyakan duit. Hanya saja belakangan ini saya gampang sedih. Lalu saya beli buku berwarna terang ini agar saya bersemangat dan tidak segan menyoretkan isi kepala saya. Puisi di atas adalah puisi pertama yang terlahir di buku warna-warni itu.



Sabtu, 27 Agustus 2016

Hello, Old Friend. It Is Not Nice to Meet You Again

It's raining again. And I think I need to write all my feelings out, before it's getting too gloomy and i'm depressed. Again. It is all gloomy now inside me. I feel like all of my ograns, bloods, nerves and inner me has turned into black smokes.

"So, what is it again, this time, Halimah?"

We got our old friend coming back here. Hello, disappointment. It is not nice to meet you. Period.

But this time, the disappointment takes a new level. I am disappointed to a stranger. That is how stupid and weird i am now.

So I meet this one guy at Facebook galaxy. Sounds weird as fuck, who the hell still on Facebook and hit some random stranger? Me!

He's nice and all. He's good at writing his mind. He's funny. Clearly, he's smart.

We had two long (not too long. shorta long. whatevs) chats. And it was flowing so smooth and fast. I didn't remember when was the last time i had a good conversation like that. Or may be I do remember, but I don't want to mention it. Why? Because it fucking hurts only with small thought of him.

Two long and nice convos, both of them were started by me. I thought to my self, "If this guy finds you attractive, the way you find him so, he will start the convo." So i waited.

He said none. And last night i tried to make the third convo. After countless typing and deleting, i sent him a small "still awake?" It was almost 1 A.M. And untill this very moment he doesn't reply.

It's funny how I can be disappointed because of a stranger. I think my loneliness is so so huge that I can not stand any more indifference. Even the smallest one.

It's amazing to know that there is someone in this earth that has a very beautiful mind. And it's heartbreaking when that person doesn't find yours as beautiful.

A bright side of me says, "whooooa, calm the fuck off, bitch. It is just a stranger that you know for two days not replying your message. It is not a fucking world war III. Stop overreacting!"

A melancholic bitch inside me says, "it's not about a stranger who doesn't reply a message. It's about feeling unwanted. A feeling that we have been going through a thousand times. Yet it still hurts the same way."

It's funny how a week ago, I was visiting a new place after another. Met new groups of people, four flights in three days, ate food i never eaten before, spoke in front of audiences who listened eagerly. And now i'm here, feeling unwanted and neglected. Just because of a stranger.

I need therapist, i think. My pride is so gigantic that i can not take a single neglection at all. How stupid.

I am not blaming that stranger, not even a bit. I feel sorry for him that there's a point in his life that he has to deal with a demanding weirdo like me.

Damn.

I'm off. K. Thanks. Bye.

Kamis, 30 Juni 2016

Lelaki Kardus, Netizen yang Pura-Pura Bodoh dan Jari yang Terlalu Ringan

Anda terkejut mendengar lagu  "Lelaki Kardus" yang sedang booming itu? Saya tidak. Saya hanya merasa jijik. Bukan pada gadis kecil yang menyanyikan lagu penuh makian itu. Saya jijik pada para netizen, juga jijik pada diri saya sendiri.

Betapa ringannya jari kita menari di atas keyboard/layar smartphone mengomentari gadis kecil. Dengan kata-kata khas netizen, "ya ampun, anak kecil kok kayak gini. Miris!" "Efek sinetron, nih! Miris banget!" "Ini karena tayangan televisi yang tidak mendidik!" dan sederet frasa-frasa yang biasa digunakan netizen nan kekinian lainnya.


Seriously, Netizen?

Apakah kita memang kaget atau pura-pura bodoh? Jauh sebelum terciptanya Lelaki Kardus, anak-anak sudah menyanyikan lagu Jablay-nya Titi Kamal dengan sangat fasih. Abang jarang pulang aku jarang dibelai sudah berkumandang dari bibir-bibir kecil anak-anak tetangga atau bahkan anak anda sendiri. Mereka juga hapal lagu rap panjang milik Young Lex dan teman-temannya: dulu sahabat, sekarang jadi bangsat!

Apakah netizen yang terhormat memang kaget atau memang pura-pura tolol? Kunjungi kerumunan anak kecil di usia SD di dekat rumah Anda, maka makian seperti "anjing" dan "ngentot" adalah makian yang begitu mudah mereka ucapkan. Kunjungi warnet atau rental PlayStation, maka kata-kata yang sama akan diucapkan berkali-kali, seolah itu akan menambah energi mereka dalam memainkan permainan di layar.

Jadi kenapa lirik lagu "lelaki kardus, lelaki karpet, lelaki kecrot, lelaki bangkrut, lelaki mencret, lelaki bangsat" bikin netizen ini demikian panik? Lalu sibuk bercuit sampai bikin Trending Topic? Apa memang netizen ini memang sibuk sekali di kehidupan maya sampai tidak sempat melihat sekelilingnya?

Really, DPR? Where have you been all this time, nigga?


Dari kehebohan netizen, seperti biasa, muncullah komentar tidak penting dari pejabat negara. DPR berkomentar, "Astagfirullah". Menkominfo menyurati Youtube, meminta pemblokiran. Reaksi yang hanya ada karena desakan netizen. Reaksi, yang biasanya, tidak akan membawa perubahan esensial. Seiring munculnya topik heboh lain, maka kita akan kembali pura-pura bodoh. Netizen akan twitwar tentang topik lain, menemukan wacana dan bahan tertawaan lain. Pejabatpun akan disibukkan dengan hal lain selain tugasnya.

Kita memang gerombolan menyedihkan, yang menyambung hidup dengan meramaikan satu kerumunan ke kerumunan lainnya.

---

Jari kita demikian ringan menuding ke arah sinetron, televisi dan Youtube sebagai sumber dari bencana ini. Demikian mudah kita mengkambing-hitamkan ketiga hal itu daripada melihat ke dalam diri sendiri.

Berapa banyak dari netizen, yang demikian garang dan intelek di media sosial, yang berani ambil tindakan jika mendengar anak kecil memaki dengan kata "bangsat" atau "anjing" di kehidupan nyata? Saya, entah kenapa punya keyakinan, sebagian besar dari kita hanya berani geleng-geleng kepala sambil membatin, "miris, ya." Persis seperti yang kita lakukan jika ada topik heboh di dunia maya. Share dan tulis komentar, "miris, ya." Demikian tidak berdaya-nya kita. Itu sangat menjijikkan.

Kalau saja kita punya keberanian, mungkin kita tidak jadi se-menjijikkan ini. Kalau setiap dari kita mau berani untuk bertindak lebih dari sekadar geleng kepala. Kalau setiap dari kita mau menyisakan waktu untuk berhenti dan mengelus kepala anak kecil lalu berkata, "Dik, jangan ngomong seperti itu, ya. Nggak baik." Kalau kita menyediakan banyak hal yang bisa dilakukan adik kecil kita agar mereka tidak perlu menonton tontonan penuh makian. Kalau kita cukup peduli untuk tidak membiarkan anak kecil jadi biduan dangdut, biduan pop atau biduan jazz sekalipun. Kalau. Kalau. Kalau.


Sayangnya kita tidak pernah se-berani dan sesabar itu. Keberanian dan kesabaran kita hanya sebatas hashtag dan update status. Bukankah kita ini sangat menjijikkan?