Jumat, 28 Juni 2013

MENGGEMPARKAN! Akibat Berulang Tahun, Usia Seorang Gadis Bertambah

(Judulnya sengaja ditulis begitu, biar rame. Kali aja hits-nya se-tinggi portal-portal berita)


Ini 28 Juni yang ke 23 di hidup saya. Sampai detik ini saya masih suka menunda-nunda. Nanti, lima belas menit lagi. Entar, kalo jarum panjang ke arah dua belas. Saya juga masih butuh jeda beberapa detik untuk membedakan kiri dan kanan. Saya masih senang membaca buku yang sama, puluhan kali, untuk alasan yang saya sendiri tidak tahu. Saya masih suka mendengarkan lagu "Mata Berdebu" entah untuk ke-berapa ribu kali-nya, kemudian memangis, entah kenapa. Intinya, saya masih manusia yang dulu-dulu juga. Hanya saja berat badan saya naik lima kilo.


Ulang tahun. Ulang. Tahun. Apa hidup ini sebuah pengulangan?


Apa sudah saatnya saya berhenti menulis cerita-cerita cengeng dengan tokoh utama wanita yang selalu patah hati? Apa sudah saatnya saya berhenti menulis cerita-cerita cengeng dengan tokoh utama wanita yang selalu patah? Apa sudah saatnya saya berhenti menulis cerita-cerita cengeng dengan tokoh utama wanita? Apa sudah saatnya saya berhenti menulis cerita-cerita cengeng? Apakah sudah saatnya saya berhenti menulis cerita? Apakah sudah saatnya saya berhenti menulis? Apakah sudah saatnya?


Dua puluh tiga tahun. Sekarang, saatnya untuk apa? Menikah? Melanjutkan kuliah? Menabung dan beli rumah? Buang semua buku-buku dan bergaul? Berhenti nonton film India dan nonton film Perancis? Menyudahi perantauan? Menyudahi hari-hari belajar bikin fiksi? Atau mulai rajin cuci muka biar tidak banyak jerawat? Ah, saya ambil yang terakhir saja.


Apakah saya punya harapan? Pasti punya, dongs. Saya ini kan orangnya tidak mudah kapok. Meski tahu berharap adalah hal yang paling sering membuat saya kecewa, saya tetap saja bandel dan suka berharap.


Semoga saya terbebas dari maag sehingga bisa minum kopi kapanpun saya mau.
Semoga saya tidak lagi merasa sedih yang amat sangat jika terbangun dari tidur.
Semoga saya bisa dengan mudah memaafkan
Semoga saya bisa dengan mudah memaafkan
Semoga saya bisa dengan mudah memaafkan


Selamat ulang tahun, Halimah.
May your river never dried and your mouth never lied*.




(*potongan lagu Damien Rice "Lonely Soldier")

Minggu, 23 Juni 2013

Membangun Masa Lalu

Saya bosan sama si Masa Depan. Bosan dan kesal, tepatnya. Si Masa Depan ini selalu muncul dimana-mana. Selalu jadi bahan obrolan, ditulis besar-besar di spanduk jalanan, dicetak tebal-tebal di buku-buku sekolah, dijadikan berita utama di koran-koran. Masa depan lebih baik, masa depan cerah, masa depan gemilang.


Masa depan itu apa, sih? Apa ukurannya? Kapan datangnya? 


Pernah sekali saya ajak teman saya pergi, kemudian dia jawab; "Enggak, ah. Gak mau buang-buang waktu lagi sekarang. Mau kerja yang bener, mau mikirin masa depan." 


Di lain kesempatan, seseorang bilang ke saya; "Gak bakal ada masa depannya kalau kamu terus-terusan sama aku. Kamu layak punya masa depan yang lebih baik.Udahlah."


Teman yang lain juga pernah bilang; "Lu kalau mau punya masa depan cerah, jangan lama-lama kerja di sini. Harus punya cadangan."


Ibu saya juga pernah bilang; "Yang nentuin masa depan kamu, ya kamu sendiri. Yang ngerasain masa depan kamu juga kamu sendiri. Makanya, pikirkan matang-matang."


Ada juga yang bilang, "How old are you, again? Don't you think it's time to talk about.. you know... future husband?"


Apa sih masa depan itu? Kalau saya bilang, saya lebih peduli sama masa lalu, apa lantas saya jadi orang bodoh?

Saya lebih suka membuka buku masa lalu saya. Then, i was like....

"Oh, dulu tuh gue rajin dateng ke acara-acara komunitas yang beda-beda, makanya gue bisa punya temen yang latar belakangnya juga jauh berbeda."

"Dulu tuh gue masa bodo amat sama yang namanya wajah. Gak heran kalo hari ini bekas jerawat gue dimana-mana. Gak boleh kayak gitu lagi, ah."

"Ooooh, ternyata dulu gue pernah nyoba ini, dan gagal. Coba lagi, seru kali, ya?:"

"Dulu gue keren, bisa ngerjain ini, itu. Sekarang kok enggak bisa ya? Apa gue kebanyakan tidur? Coba lagi ah..."

"Ya ampuuuun, dulu kan doi gebetan gue. Sekarang udah maen pelem nih dia? Hahahaha.."

Dan banyak lagi...

So, saya lebih suka hidup dengan membangun masa lalu. Jadi setiap kali saya bangun pagi, saya bisa "melihat ke belakang" dan menyadari apa yang saya perbuat. Oh, ini yang salah. Itu keliru. Ini udah bener. 

Entah kenapa bagi saya masa lalu itu lebih nyata. Kata orang, "Jangan lihat ke belakang, nanti tersandung. Tatap masa depan."

Loh, emang masa depan itu keliatan? Siapa yang bisa tahu masa depan? Kalau masa depan itu cuma ilusi, gimana? Kalau kamu gak punya waktu untuk masa depan, gimana?

Bagi saya, hanya orang-orang berani yang selalu melihat ke masa lalunya. Meliat apa-apa yang telah dilakukannya, siapa-siapa yang telah disakiti atau dibahagiakannya. Belajar.