Selasa, 17 November 2015

Living A Passionless Live




Setelah beberapa puluh jam tidak tidur dan tidak makan, saya jadi kehilangan nafsu untuk tidur dan makan. Maka saya menulis.

Ini bukan tulisan penting, tidak seperti puisi yang harus segera digoreskan ketika seorang penyair mendapat ilham. Bukan pula tulisan motivasi akan yang akan mengubah cara pandang anda terhadap hidup. Ini hanya tulisan dari saya yang sedang tidak bernafsu makan atau tidur. Tulisan yang mungkin akan ngawur, karena saya harusnya segera makan atau tidur, bukan menulis.

Beberapa tahun lalu, saya terkejut mendengar jawaban seorang teman ketika saya menanyakan apa passion-nya dalam hidup. Dia menjawab, "jadi tukang ojek!". Teman saya ini adalah seorang sarjana farmasi dan waktu itu dia bekerja sebagai seorang editor di sebuah penerbitan buku farmasi. Dia seorang perempuan, berjilbab amat lebar dan bertampang kalem. Siapa yang menyangka kalau dia punya passion seaneh itu?

Dan dia tidak main-main dengan jawabannya itu. Dia sangat menikmati mengantar-menjemput orang dengan motornya tanpa bayaran. Bukankah itu esensi dari passion? Sesuatu yang dengan suka rela kita lakukan meski tanpa bayar.

Orang bilang, passion adalah sesuatu yang membuat seseorang bersemangat menjalani hidup. Kalau begitu, saya adalah orang yang hidup tanpa semangat. Karena saya sama sekali tidak tahu apa passion saya. Mungkin itu sebabnya saya lebih memilih menjalani apa yang didepan saya dibanding mendesain dalam kepala, "apa yang ingin saya lakukan?". Ya, saya sendiri sadar betapa membosankannya saya.

6 dari 25 tahun umur saya, saya habiskan dengan menjadi guru.

Dua tahun mengajar privat (dengan murid paling muda 2 tahun dan yang paling tua 55 tahun), hampir setahun mengajar tingkat SMP-SMA, hampir tiga tahun mengajar anak usia dini. Itu belum termasuk mengajar di sejumlah LSM dan komunitas.

Enam tahun saya habiskan untuk menjadi guru. Apakah saya bahagia? Tidak. Dengan pahit harus saya katakan saya tidak bahagia. Saya sangat suka mengajar, membagikan ilmu yang tidak seberapa di kepala ini. Tapi ketika pendidikan yang dari luar tampak adi luhung itu nyatanya bobrok, busuk dan penuh hal-hal menjijikkan, saya tidak bisa bahagia di sana.

Saya punya banyak sekali kenangan manis dengan murid-murid saya. Dari murid umur 3 tahun yang menyebutkan nama saya dengan cadel(sering kali saya rindu dipanggil,"Miss Hawimah"), murid ABG yang selalu curcol di jam pelajaran hingga adik-adik pengamen yang penuh rasa ingin tahu. Kadang saya rindu sekali pada mereka. Kadang saya merasa insecure dan berpikir, "saat mereka ingat dengan apa yang saya ajarkan, apa mereka masih ingat saya?". Kadang saya ingin sekali kembali ke dunia itu. Tapi dengan berat saya sudah memutuskan untuk tidak kembali lagi ke sana. Keputusan berat yang mungkin hanya saya yang paham dimana beratnya.

Jadi, "mengajar" terpaksa saya hapus dari kolom passion di hidup saya.

8 dari 25 tahun umur saya, saya habiskan untuk menulis.

Menulis bagi saya adalah love-hate relationship yang selalu menghantui. Saya menghabiskan ratusan malam tanpa tidur untuk mengerjakan ribuan halaman naskah. Hati yang remuk setiap kami mendapat kiriman slip penolakan dari penerbit. Merasa bodoh setiap kali membaca tulisan saya sendiri. Semuanya terasa sangat menyiksa, tapi saya masih belum bisa berhenti menulis. Terkadang, saking lelahnya, saya merasa tangan saya mati rasa dan saya mulai memaki, "fuck this shit. this is not gonna work." Tapi saya belum berani untuk berhenti. Entah kenapa.

Delapan tahun saya habiskan untuk menulis. Apakah saya bahagia? Tidak. Orang selalu bilang bahwa penolakan itu wajar. Tapi lama-lama mental saya jadi kerdil juga karena ditolak terus-menerus. Setelah tahun-tahun berlalu,  sejak saya masih duduk di bangku SMA sampai sekarang saya jadi "mbak-mbak nine to five", usaha saya dalam menulis tidak membuahkan hasil. Apakah saya bahagia dengan menulis? Tidak. Jujur saja, jawaban saya adalah tidak.

Jadi, saya juga menghapus "menulis" dari kolom passion di hidup saya. Kolom itu kini kosong.

Saya tidak menyadari kekosongan itu, sampai kemarin malam, saya ada di sebuah perhelatan besar. Ada lebih dari 1.000 orang di ruangan itu dan lampu berkelap-kelip megah. Diantara rasa kantuk yang ditahan, saya memperhatikan banyak orang. Penari-penari di panggung, pidato berapi-api, fotografer yang mondar-mandir memburu sudut pandang dan seorang kawan yang berlatih singkat sebelum naik panggung untuk presentasi di hadapan ribuan orang. Saya melihat cercah passion pada mata-mata mereka. Cercah yang dulu pernah saya lihat di mata saya sendiri, namun tidak ada lagi sekarang.

Hampir dua bulan terakhir, saya memelihara kekosongan itu. Saya sengaja tidak menulis, menyibukkan diri dengan pekerjaan baru. Pekerjaan baru yang coba saya peluk erat, meski masih terasa asing. Kadang terlintas doa kecil di tengah-tengah waktu kerja, semoga saja pekerjaan yang terasa asing ini suatu saat bisa mengisi kolom passion di hidup saya. Namun kadang sisi negatif muncul di kepala dan berkata, "just do it, get the money and stay sane. Passion is bullshit."

Tulisan ini kacau sekali. Harusnya saya segera makan atau tidur. Hidup tanpa passion masih bisa dijalani. Tapi mana bisa hidup tanpa makan dan tidur?

Sudah dulu, deh, kalo gitu.

1 komentar:

Tiada kesan tanpa komentarmu...