Selasa, 18 Maret 2014

Untuk Danendra Bennett Assikin

Kamu sudah tidur, Ben? Pasti sudah. Ini sudah tengah malam. Kamu adalah salah satu orang yang paling cepat mengantuk yang pernah kukenal. Kamu bisa tertidur di mana saja. Di kelas, di mobil ketika perjalanan pulang, di food court dan yang terakhir, sore tadi, kamu tertidur dengan kepala merebah di pangkuanku.


Wajahmu terlihat sangat tenang ketika tidur. Sangat berbeda dengan wajahmu ketika sadar. Kamu hampir selalu tampak marah dan kesal ketika sadar. Kalau ada hal-hal berisik di sepanjang siangku, itu hampir selalu berasal dari kamu. Kamu yang menghantam-hantamkan sendok ke meja saat makan nasi goreng, suara tangis temanmu yang kamu dorong hingga terjungkal, kursi plastik yang kamu banting dan orang-orang yang berteriak karena melihatmu memanjat perosotan dari arah berlawanan.


Bodohnya aku. Aku tidak percaya aku sedang menuliskan ini untukmu, Ben. Bagaimana mungkin aku menulis di tengah malam begini untuk seseorang yang bahkan kesulitan mengenal huruf? Aku tahu, bicara denganmu butuh sesuatu yang lebih lugas dari kata-kata dan huruf. Tapi, Ben, aku tidak lebih baik darimu. Huruf-huruf yang kuketik, kata-kata yang kujadikan kalimat ini sering kali membuat aku merasa tidak tahu apa-apa, tidak berhasil memahami apa-apa.


Kamu tahu, Ben, setiap kali marah padamu, sebenarnya aku tengah marah pada diriku. Aku marah pada ketidak-berhasilanku untuk menebak dirimu. Kamu jarang sekali bicara. Kamu tiba-tiba marah, tiba-tiba meledak, tiba-tiba menerobos pintu kelas sambil berteriak. Kamu selalu menemukan cara untuk membuatku berlari-lari panik mengejarmu. Dan yang terbaik yang bisa kulakukan setelahnya adalah menarik tanganmu, menyeretmu kembali ke kelas. Kemudian aku bertanya dengan nada tinggi, "kamu mau apa?". Sebuah kalimat yang lebih mengarah pada intimidasi ketimbang bertanya. Aku bahkan tidak meluangkan waktu untuk mendengarkan apa maumu. Aku meninggalkanmu dan beberapa detik kemudian kamu berteriak lagi sambil memelukku dari belakang. Setengah merengek kamu bilang, "Jangan tinggalin... Nggak mau ditinggalin..."


Hei, kawan kecil, maafkan aku.


Aku kehabisan cara untuk memahamimu. Bukan karena kamu sulit dipahami, Ben. Melainkan karena aku tidak lebih baik darimu. Aku juga adalah seorang anak kecil tempramental yang terjebak di tubuh perempuan berusia 23 tahun. Seperti halnya kamu, di dalam tempurung otakku, aku sering kali berteriak dan marah tanpa alasan. Kalau masih pantas, rasanya aku akan melakukan hal yang sama denganmu: tiba-tiba menangis meski tak ada apa-apa. Aku tidak berhasil menebak apa maumu dan kamu selalu berakhir begitu: berteriak sambil menangis. Ben, percayalah, kalau saja tidak ada 13 anak lain yang harus kuurus, aku akan meluangkan banyak sekali waktu untuk memelukmu ketika kamu marah. Aku kenal perasaan itu, Ben. Rasa ketika tubuh ini hanya minta dipeluk diantara banyak sekali emosi-emosi yang susah dijelaskan.


Beberapa kali aku menemukan kamu sedang menatap langit-langit kelas sambil mengguman, "Kenapa siiiiih? Kenapa? Kenapaa siiiih?" sambil meremas-remas kertas yang baru kuberikan. Kamu melempar kertas itu ke lantai ketika teman-temanmu mulai menulis. Kemudian kamu mulai berteriak, "Kenapaaaa?" Kamu tampak sangat kesal.



Kalau sudah begitu, aku akan berlutut di sampingmu, mengelus rambutmu sekilas. Kamu tampak sedikit tenang, lalu aku berlalu, melanjutkan tugasku sebagai guru untuk kamu dan 13 temanmu. Harusnya aku bisa melakukan yang lebih baik dari itu, Ben. Harusnya aku bisa menjelaskan sesuatu padamu, agar kamu tidak sering marah-marah. Tapi lagi-lagi, aku tidak lebih baik darimu. Di usiaku sekarang ini, aku juga sering bertanya 'kenapa?' dan marah jika tidak kunjung menemui penjelasan.


Jadi, kawan kecil, maafkan aku. Malam ini, tidurlah yang nyenyak. Besok, ketika kita bertemu lagi di sekolah, aku akan mencoba jadi anak kecil yang lebih baik, jadi teman yang lebih bisa mengerti kamu.





Selamat malam, Ben





--------untuk Danedra Bennett Assikin, muridku yang berumur 5 tahun.

Sabtu, 08 Maret 2014

Kawan Kecil Ini...

Mari kuceritakan keadaannya,


semua berantakan.


Aku berada dalam sebuah perjalanan panjang. Teman-teman seperjalananku satu-satu berguguran. Ada yang pulang. Ada yang berhenti. Ada yang memutar arah, mengubah tujuan. Mereka bilang jalan ini terlalu melelahkan. Aku kecewa, namun tidak bisa marah. Aku tidak berhak memaksa mereka menjalani arah peta yang sama.

Ada juga yang mengirimiku surat. Teman-teman dari masa lalu. "Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan? Sudah sampaikah kamu di tujuan?"

 Sungguh sebuah surat yang kurang ajar. Mereka tidak benar-benar ingin menanyakan perjalananku. Mereka hanya ingin mentertawaiku, mentertawai pilihanku. Ini yang tidak mereka tuliskan (tapi aku yakin mereka bicarakan di belakangku): "Lihat si bodoh itu. Dulu dia sok berani, sok pingin melawan arus, sok berbeda. Sekarang dia tersesat di perjalanan panjang dan tidak kunjung sampai di tujuannya."


Jadi di sinilah aku. Sendiri. Di jalan yang tidak kukenal, tidak kuketahui ujungnya. Segalanya terasa menakutkan. Apa yang kucoba acapkali berakhir gagal. Sangat menyiksa. Aku ragu dan mulai mempertanyakan setiap keputusan, setiap detik. Melelahkan.


Lalu datanglah kawan kecil ini. Sungguh kali ini semesta menggunakan cara yang cukup aneh untuk mengirim seorang kawan.Namun aku tidak pernah merasa asing padanya. Kurasa, di kehidupan sebelumnya kami memang sudah berteman.

 Kawan kecil ini menyediakan waktunya setiap malam untuk bertanya, "sudah sampai mana?" seakan memastikan aku masih meneruskan perjalanan itu dan tidak berhenti.

Kawan kecil ini percaya pada perjalanan yang kupilih, ketika semua orang menganggapku bodoh karena itu.
 
Kurasa, kepercayaan dari kawan kecil ini adalah pertanda bahwa aku harus tetap berjalan.


Meneruskan perjalanan.