Adimas Immanuel
Jakarta Selatan: Motion Publishing, 2013
x + 126 halaman, 13,5 cm x 21 cm
ISBN 978-602-95360-7-2
Cetakan Pertama, September 2013
Pemindai aksara:
Reni S. Umbara
Perancang sampul dan ilustrasi:
I.B.G. Wiraga
Penata letak:
Fitria Agustina
Tanda pagar ‘Pelesir Mimpi’ memenuhi timeline twitter. Pujian merebak di
sana-sini. Ada yang mengatakan haru, hingga meneteskan air mata. Ada seorang
penyiar radio yang bahkan berani
bersumpah, bahwa Adimas Immanuel adalah
penyair hebat. Tak lama setelah launching buku tersebut di Jakarta dan Solo, Pelesir
Mimpi dicetak ulang. Saya baru kali ini mendengar ada buku puisi dicetak ulang
secepat itu. Wow.
Dan hari ketika buku Pelesir Mimpi tiba di rumah saya dan segera saya baca…. Wow.
Yaelah, Bro…
Saya, yang tadinya berharap akan menangis atau minimal
terharu seperti orang-orang di timeline, kecewa dengan puisi pertama di buku
ini. Tak ada yang istimewa di sajak
“Ayah Terus Melukis Ibu”. Bahkan bagi saya ini tidak terlihat seperti
puisi, melainkan sekilas cerita saja. Saya tidak merasakan si penyair melakukan
perenungan untuk memotret sesuatu dalam puisi ini.
Dan tidak ada puisi yang membuat saya terkesan di sepanjang
bab pertama. Bab ini hanya berisi common
sense di dalam hubungan anak-orang tua. Tidak ada keistimewaan sudut
pandang yang diambil penyair. Sepertinya tak ada perenungan khusus, yang
membuka pandangan baru tentang hubungan anak dan orang tua di sini. Dan
beberapa puisi tampak janggal karena terlalu memaksakan untuk terlihat serima.
Dan bahayanya, demi rima, Adimas tidak memperhatikan logika kalimatnya.
Saya ambil contoh di puisi “Mengingat Ayah yang Setia dan
Ibu yang Sedia”
Ibu berubah jadi arus sungai
Ayah menjadi ranting
kering yang lunglai
Baiklah, mari kita sepakati bahwa puisi adalah salah satu
pembebas imaji, boleh mendobrak logika mana saja. Tapi pendobrakan logika itu
harus indah, bukan? Di kalimat ‘ranting kering yang lunglai’, logika kalimatnya
cacat, dan sialnya, tidak menghadirkan keindahan. Kita tahu semua ranting
kering itu keras, tidak ada yang lunglai. Saya rasa kata ‘lunglai’ dicatut sembarangan
saja oleh penyair untuk mengimbangi kata ‘sungai’ di baris sebelumnya. Bahkan jika ranting kering itu jadi lunglai karena hanyut di arus sungai, harusnya kalimat diubah menjadi: "ranting kering yang kemudian lunglai"
Pencatutan sembarang kata demi rima semacam ini saya temukan
berkali-kali. Mari kita simak puisi berjudul “Canting” ini,
Malam naik pitam
Mataku tak juga memejam
Kenangan mulai bergaram
Yaelah, bro… Apa
maksudnya malam naik pitam? Sungguh sebuah metafora yang maksa. Kalau ingin
mengatakan malam sudah larut, ya katakan saja sudah larut. Kita tidak pernah
punya kesepakatan bahwa puisi harus diindah-indahkan dengan kata-kata “njelimet”,
kan? Kenangan mulai bergaram? Loh, metafora apa lagi ini?
Kita ambil satu contoh lagi di puisi Nyala Nyali
Tubuh kami tak semerah tubuhmu
Kami hanya piawai omong samar-samar
Tanpa benar-benar tahu arti luka bakar
Harusnya bait ini berhasil. Namun penyair lagi-lagi
memaksakan rima dengan menambahkan kata ‘bakar’ di baris terakhir. Yaelah, bro. Saya rasa “Tanpa
benar-benar tahu arti luka-‘ saja sudah puitis. Kenapa harus memaksakan rima?
Awas, Vikcynisasi
masuk Puisi!
Siapa yang tak kenal virus vickynisasi? Sebuah trend
menggunakan bahasa njlimet untuk
terlihat pintar yang ditiru orang-orang dari sosok Vicky Prasetyo. Sastrawan
sekelas Goenawan Muhammad pun pernah membahasnya.
Namun puisi harusnya tak tersentuh vickynisasi. Saya
teringat sebuah notes yang saya baca
di Facebook seorang penyair (kalau tidak salah Y Thendra Bp). Dia menulis kira-kira begini, “Puisi itu
tidak harus berisi kata-kata rumit agar si penyair terlihat pintar. Kalau ingin
menulis matahari, ya tulis matahari. Tak usah repot-repot menggunakan kata
‘sang surya’.”
Nah, sekarang mari kita simak potongan puisi berjudul Mijil berikut ini,
“…..
Tetapi aku dipaksa mengerti
:perihal lahir itu adikodrati
….
Tetapi aku mulai mengerti
:lahir adalah mati paling azali”
Tuh, kan, vickynisasi. Saya rasa puisi bukanlah sebuah
pidato politik dimana seseorang, berusaha begitu keras untuk meyampaikan idenya
yang biasa-biasa saja dalam balutan kalimat mentereng agar orang-orang
terkesan. Kita sama-sama tahu, kita jengah dengan hal seperti itu.
Ada pula puisi yang berjudul “Aku Terlimpuh di Sehampar
Tikar”. TERLIMPUH! Sungguh mati, bro,
menuliskan “Aku Terbaring di Selembar Tikar”-pun nggak akan membuatmu tampak
bodoh!
Menyoal Logika
Mari kita simak puisi berjudul “Nasi” dalam buku ini.
“Dia tawar memang, bulir-bulir gamang. Tak mengenal rasa…..”
Jelas baris ini
sedang membicarakan nasi. Meski saya tidak berhasil menangkap apa maksudnya,
“bulir-bulir gamang”. Dan lagi-lagi, saya rasa kata ‘gamang’, dicatut
demi disandingkan dengan kata ‘memang’.
Logika mulai cacat di kalimat “Tak mengenal rasa.”. Nasi
memang tak punya rasa, tapi tidak adil jika dia disebut “tak mengenal rasa”.
Misalnya, saya tidak punya uang. Sungguh tidak adil jika keadaan itu
dideskripsikan dengan “Saya tidak mengenal uang.” Itu logika yang jauh berbeda.
Logika yang cacat juga ditemukan di puisi berjudul “Becak”.
Mari kita perhatikan bait-bait berikut;
“Katanya becak adalah teman karibnya
Seperti saudara, senasib di embara
Katanya jalanan adalah garis tangannya
Tempat kelana, tak pernah bikin lena
Dia lebih nyaman tidur di kursi becak
Daripada di kamarnya atau di lincak”
Dalam ketiga bait di atas, penyair sedang menceritakan si
“-nya” dan kehidupannya sebagai tukang becak kepada pembaca. Kita lupakan dulu
rima-rima yang dipaksakan, dan lanjut ke bait berikutnya.
“Bapak meski usiamu sudah renta
Aku ingin kau seperti anak kecil yang
Merayakan ulangtahunnya kapan saja”
Nah, mulai bait keempat hingga akhir, tiba-tiba si penyair
mengobrol dengan “bapak”. Sebagai pembaca, saya merasa diajak ngobrol oleh
penyair, belum lagi jelas maksud obrolan itu, tiba-tiba si penyair ngobrol sama
Bapak tukang becak, menasehatinya tentang hidup. Sudut pandang penyair
sebenarnya kemana? Pembaca diletakkan dimana?
Kalimat yang ambigu juga terdapat di puisi “Surga Si Karmin”
“Orang berlimpah itu merasa beriman
Hanya karena banyak beramal.”
Apa maksudnya ‘orang berlimpah’ di sini? Banyak orang? Orang-orang berlimpah
(beramai-ramai)? Orang berlimpah harta? Kalau iya, kenapa tidak disebut?
Menuliskan ‘orang kaya itu merasa beriman’-pun sah-sah saja, kan?
“…banyak beramal.” Amal yang bagaimana? Sholat itu amal.
Judi itu amal. Amal baik? Amal buruk? Atau maksudnya sedekah? Kenapa tak
ditulis ‘hanya karena banyak sedekah’ saja?
Penutup
Saya rasa Adimas perlu banyak-banyak sowan dan ngobrol sama
teman-teman yang benar-benar memilih jalan puisi. Saya sendiri bukan penyair, hanya penikmat sastra. I might be had no rights to tell Adimas what
he has to do. He can consider all of these critics as shit, if he wants to.
Tapi dipuja-puji sedemikian rupa tanpa ada yang mengkritik adalah bahaya bagi
seorang penyair. Saya sendiri yakin Adimas punya potensi. Puisinya yang
berjudul “Klandestin” adalah bukti bahwa orang ini hanya kurang “trigger” dan
kurang diskusi saja. “Klandestin” adalah satu-satunya puisi yang saya suka di
buku ini, yang menurut saya jauh melampaui semua puisi yang ada di Pelesir
Mimpi.