Rabu, 04 September 2013

RESENSI: Dunia di Dalam Mata

Dua puluh dua pasang mata menceritakan dunia. Hasilnya? Selebrasi kata yang mengesankan.
Dunia di Dalam Mata, Motion Publishing



Judul        : Dunia di Dalam Mata
Penulis     : Agus Noor, dkk
Editor      :  Khrisna Pabichara
Penerbit   : Motion Publishing, Jakarta, Maret 2013
Tebal       : 277 halaman




Dari dua puluh dua nama yang tertera di sampul buku Dunia di Dalam Mata, hanya enam atau tujuh saja yang saya kenal karya-karyanya.  Beberapa, seperti M. Aan Mansyur dan Emil Amir, adalah cerpenis favorit saya. Seperti kebanyakan antologi cerpen, saya menduga buku ini akan berisi beberapa karya yang benar-benar bagus dan yang lainnya hanya sebagai pelengkap, pemenuh kuota halaman.


Buku ini diawali dengan sangat apik oleh pangeran kunang-kunang, Agus Noor dengan judul "Nyonya Fallacia". Meski disampaikan dengan gaya bahasa yang jauh berbeda, tema cerpen ini mengingatkan saya pada "Parmin" karya Jujur Prananto. Salah satu tabiat terburuk masyarakat Indonesia dipampangkan; suka berprasangka dan mengembangkan prasangka-prasangka itu menjadi fakta bersama, tanpa pernah benar-benar melihat realitanya. Dalam "Nyonya Fallacia" digambarkan betapa senangnya sebuah masyarakat mengarang-ngarang cerita seram untuk menakuti dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain untuk ketakutan itu. Sebuah pembukaan yang sukses.


Saya masih tetap pada ekspektasi awal. Nama besar Agus Noor mungkin saja sengaja dipasang sebagai pembuka, sementara cerpen-cerpen berikutnya akan "biasa-biasa saja". Namun cerpen "Kupu Kupu" Dian Meilinda mematahkan pemikiran itu. Masih ada kemiripan tema dengan cerpen sebelumnya, Kupu Kupu menceritakan tentang sebuah rumah misterius, terasing dari pergaulan sekitar dan menimbulkan banyak prasangka. Saya rasa Dian berhasil menuturkan cerita ini dengan santai tanpa sok misterius. Tidak mengecewakan.


Membaca cerpen-cerpen selanjutnya membuat saya merasa seperti Alice yang mengikuti lompatan kelinci putih, terperosok dalam lubang aneh dan masuk ke dunia yang penuh kejutan. Setiap pasang mata datang dengan cerita dan gaya yang beragam. Tidak semuanya bagus, namun tidak ada yang mengecewakan. Sebagian ada yang kerepotan dengan kalimat-kalimat yang terlampau mendayu, namun tak ada satupun yang mengundang kantuk.


Cerpen favorit saya tentu saja jatuh pada karangan Aan Mansyur. Ah, meski kali ini tak bicara tentang hujan, "Tiga Codet"-nya tetap saja memberi kesegaran. Kejutan hadir lewat "Koma" oleh Liza Samakoen, sebuah nama yang sebelumnya tidak saya kenal. Ini mungkin saja karena saya kurang gaul. Namun dari sekian nama yang baru saya kenal, cerpen ini adalah yang paling memuaskan. "Koma" hadir dengan konflik yang padat, berawal dari seorang ibu yang jatuh sakit dan koma di Rumah Sakit selama berbulan-bulan. Perbedaan pendapat ketiga anaknya kemudian menjadi perumitan konflik yang bagus.


Beberapa penulis-penulis muda, yang rata-rata lahir di akhir '80-an dan awal '90-an, layak untuk diantisipasi. Jika tak cepat berpuas diri, saya kira dalam beberapa tahun ke depan mereka akan menjadi penulis mapan yang meramaikan dunia cerpen Indonesia. Salah satu nama yang menjadi jagoan saya adalah Nadia Sarah Adzani dengan "Sumbing". Meski tampak longgar di beberapa deskripsi -yang membahas detail tak penting dengan kalimat panjang-, ide ceritanya sangat segar. Raditya Nugie, punya cara bertutur yang menarik -meski terkadang berlebihan dan mendayu- hanya saja, sangat disayangkan memilih tema yang terlalu klise: kecintaan pada orang yang sudah meninggal.


Clara Ng, menyumbang satu cerpen terbaiknya dengan "Bunga Kapas Pecah Terbang Dibawa Angin". Penulis-penulis muda sangat dianjurkan belajar pada cara Clara Ng dalam membuat kalimat-kalimat panjang tanpa membingungkan dan bikin ngantuk. Idawati Zhang, meski masih berbau chick-lit, menjadi salah satu nama yang menjanjikan. Eka Kurniawan, menutup parade cerpen dengan kesederhanaan yang mengesankan lewat penggali kubur.


***

Buku ini juga diramaikan oleh beberapa fiksi mini di bagian akhirnya. Kicauan yang dirangkum adalah kicauan pilihan moderator @fiksimini. Sulit bagi saya untuk berkomentar tentang kicauan ini, mungkin karena saya tidak suka berkicau. Namun, sebagai pintu keluar dari Wonderland, kicauan-kicauan itu membuat saya bahagia menjadi Alice yang terjebak di dunia yang penuh cerita. Penuh selebrasi kata.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu...