Rabu, 04 September 2013

(RESENSI) TUN: Mengakrabi Kematian





Judul          : TUN
Penulis       : Nita Roshita
Penerbit     : Motion Publishing, Jakarta, April 2013
Editor        :  Damhuri Muhammad
Tebal         : 214 halaman

Nina Puspawijaya, seorang jurnalis, merasa dirinya adalah raga yang berjalan seperti robot, tanpa nyawa. Bekerja dari pagi hingga sore, melakukan lembur jika dipinta, makan dan tidur. Hidupnya tidak berarti sejak kepergian Timor, seorang blasteran Mesir, Belanda dan Indonesia yang begitu dia cintai. Baginya, hidup tinggallah serangkaian aktifitas tanpa melibatkan emosi. Namun semua berubah ketika dia bertemu dengan Tun. Harapan dan kecintaan terhadap hidup kembali menyambangi Nina. Tidak lama setelah itu, harapan hidupnya diambil kembali. Kanker payudara menunggunya, setiap saat mengintai nyawanya. Nina yang dulu selalu memburu kematian ke sarang terkecilnya, kini rapuh sempurna.


Pembukaan

Membuka sebuah novel dengan pertanyaan bagi saya adalah ide yang buruk. Sebagai pembaca, saya seperti orang yang belum tahu apa-apa, tiba-tiba disuruh menjawab sesuatu. Jika pertanyaan itu adalah pertanyaan mendalam, provokatif, mengetuk-ngetuk pintu rasa penasaran, mungkin akan menarik. Namun bagaimana jika pertanyaan yang membuka sebuah novel adalah pertanyaan retoris.

Pernahkan kau merasa kosong?

Begitu membaca kalimat pertama di novel TUN ini saya langsung teringat lagu band pop Ungu yang berjudul Hampa Hatiku. Pernahkah kau merasa jeeengg... jeeeng.... jeng... jeng-jeng! Pernahkah kau merasa hatimu haampaaa? Pernahkah kau merasa hatimu kooosooong? Tentu saja semua orang pernah merasa kosong, setidaknya merasa hilang arah dan tak tahu arah jalan pulang. Aku tanpamu butiran debu.


Untunglah, kalimat selanjutnya menyelamatkan dan membuat saya tertarik melanjutkan membaca.

Kekayaan informasi yang disajikan dalam novel ini menjadi daya tarik terbesar. Mungkin karena latar belakang si penulis yang seorang jurnalis. Pembaca disajikan dengan detail informasi tentang konflik di Burma juga seluk beluk dunia jurnalistik.

Tokoh utama, Nina, dengan segala sifat keras kepalanya, membuat saya gemas dan kesal setengah mati padanya. Ini berarti baik, karena penulis berhasil menegaskan karakter dan membuat pembaca terlarut. Penulis juga berhasil menggambarkan Nina sebagai wanita yang mencintai dengan sempurna, menyimpan rapi setiap kenangan. Wanita yang jatuh cinta adalah keindahan kedua terindah setelah wanita itu sendiri. Intensitas dan kehangatan Nina dalam menjalin hubungan berhasil membuat saya tersenyum-senyum.

Tak Penting
Penulis berhasil menjaga isi novel ini menjadi satu kesatuan yang padat dan berkaitan. Namun, saya menemui beberapa hal tidak penting, yang lebih baik dihilangkan, agar TUN menjadi lebih padat dan indah lagi.

Pertama, kisah cinta ayah dan ibu Nina. Baru saja saya terhanyut pada kehidupan Nina yang katanya senang mencari mati, juga ayahnya yang idealis, tiba-tiba hadir kisah cinta Rahmawati dan Sukma. Saya jadi seperti... loh...loh...loh... dibawa kemana saya? Saya bersabar, saya kira kisah cinta jaman dahulu ini akan membawa trigger penting pada cerita. Namun ternyata tidak. Nina berkilah bahwa kisah itu menjadi alasannya untuk selektif dalam urusan asmara. Tidak bisa begitu dong, Nin. Menurut saya, lebih menarik lagi kalau Nina mendetail tentang Abahnya yang punya istri tiga, sehingga Nina punya trauma tersendiri terhadap jalinan asmara. Bukan pada kisah cinta ayah-ibunya yang cenderung datar dan adem ayem.


Kedua, potongan lirik lagu dan quote. Saya tahu Radiohead dan Incubus itu bagus. Orang yang mendengarkan kedua band itu pasti selera musiknya bagus. Tapi apa intinya menyisipkan begitu banyak lirik bagus di tengah cerita yang sedang bikin megap-megap? Saya sedang serius mengikuti kisah Nina di Thailand, eh, muncul lirik lagu lagi. Begitu juga kutipan dari Hok Gie dan Gandhi. Saya rasa, tidak perlu mengutip tokoh-tokoh itu panjang-panjang. Penulis tak perlu minder kalau-kalau tulisannya kurang keren tanpa kutipan itu.


Ketiga, kalimat mendayu. Saya tidak dapat menemukan terminologi yang lebih baik dari mendayu. Saya ambil contoh dari sebuah kalimat di halaman 22

Menakar hati yang tak perlu waktu lama dengannya untuk memutuskan bahwa ini adalah cinta, yang dengannya aku membumbungkan harapan terlalu tinggi untuk selamanya bersama dia, menyerahkan segala yang bisa kuserahkan termasuk mimpi-mimpi masa depan.

Kalimat yang sungguh panjang yang sebenarnya berinti: tak perlu waktu lama, inilah cinta yang kurasa patut untuk menyerahkan segala, bahkan mimpi masa depan. Tak perlu terlalu banyak bersolek untuk terlihat cantik. Ada juga kalimat semacam ini (hlm. 202) "Cinta adalah cahaya yang menerangi hati." Apakah penulis menyadari betapa mudahnya kita menemui kalimat seperti itu, di lagu pop, di buku harian?


Penutupan

Dari skala 1 hingga 10, saya meletakkan buku ini di angka 7.5. Ide ceritanya menarik, penyampaiannya cukup bagus dan alurnya padat. Tentu saja TUN akan lebih apik lagi jika dia tampil dengan kalimat yang lebih ringkas dan padat makna.


N.B: Saya masih kesal pada Nina. Sepanjang cerita dia menaruh Alex di frienzone, dan di akhir, enak saja dia menjodohkan pria malang itu pada Brenda. Wooy.... friendzone itu lebih kejam dari pembunuhan! Sincerelly, korban friendzone.

RESENSI: Dunia di Dalam Mata

Dua puluh dua pasang mata menceritakan dunia. Hasilnya? Selebrasi kata yang mengesankan.
Dunia di Dalam Mata, Motion Publishing



Judul        : Dunia di Dalam Mata
Penulis     : Agus Noor, dkk
Editor      :  Khrisna Pabichara
Penerbit   : Motion Publishing, Jakarta, Maret 2013
Tebal       : 277 halaman




Dari dua puluh dua nama yang tertera di sampul buku Dunia di Dalam Mata, hanya enam atau tujuh saja yang saya kenal karya-karyanya.  Beberapa, seperti M. Aan Mansyur dan Emil Amir, adalah cerpenis favorit saya. Seperti kebanyakan antologi cerpen, saya menduga buku ini akan berisi beberapa karya yang benar-benar bagus dan yang lainnya hanya sebagai pelengkap, pemenuh kuota halaman.


Buku ini diawali dengan sangat apik oleh pangeran kunang-kunang, Agus Noor dengan judul "Nyonya Fallacia". Meski disampaikan dengan gaya bahasa yang jauh berbeda, tema cerpen ini mengingatkan saya pada "Parmin" karya Jujur Prananto. Salah satu tabiat terburuk masyarakat Indonesia dipampangkan; suka berprasangka dan mengembangkan prasangka-prasangka itu menjadi fakta bersama, tanpa pernah benar-benar melihat realitanya. Dalam "Nyonya Fallacia" digambarkan betapa senangnya sebuah masyarakat mengarang-ngarang cerita seram untuk menakuti dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain untuk ketakutan itu. Sebuah pembukaan yang sukses.


Saya masih tetap pada ekspektasi awal. Nama besar Agus Noor mungkin saja sengaja dipasang sebagai pembuka, sementara cerpen-cerpen berikutnya akan "biasa-biasa saja". Namun cerpen "Kupu Kupu" Dian Meilinda mematahkan pemikiran itu. Masih ada kemiripan tema dengan cerpen sebelumnya, Kupu Kupu menceritakan tentang sebuah rumah misterius, terasing dari pergaulan sekitar dan menimbulkan banyak prasangka. Saya rasa Dian berhasil menuturkan cerita ini dengan santai tanpa sok misterius. Tidak mengecewakan.


Membaca cerpen-cerpen selanjutnya membuat saya merasa seperti Alice yang mengikuti lompatan kelinci putih, terperosok dalam lubang aneh dan masuk ke dunia yang penuh kejutan. Setiap pasang mata datang dengan cerita dan gaya yang beragam. Tidak semuanya bagus, namun tidak ada yang mengecewakan. Sebagian ada yang kerepotan dengan kalimat-kalimat yang terlampau mendayu, namun tak ada satupun yang mengundang kantuk.


Cerpen favorit saya tentu saja jatuh pada karangan Aan Mansyur. Ah, meski kali ini tak bicara tentang hujan, "Tiga Codet"-nya tetap saja memberi kesegaran. Kejutan hadir lewat "Koma" oleh Liza Samakoen, sebuah nama yang sebelumnya tidak saya kenal. Ini mungkin saja karena saya kurang gaul. Namun dari sekian nama yang baru saya kenal, cerpen ini adalah yang paling memuaskan. "Koma" hadir dengan konflik yang padat, berawal dari seorang ibu yang jatuh sakit dan koma di Rumah Sakit selama berbulan-bulan. Perbedaan pendapat ketiga anaknya kemudian menjadi perumitan konflik yang bagus.


Beberapa penulis-penulis muda, yang rata-rata lahir di akhir '80-an dan awal '90-an, layak untuk diantisipasi. Jika tak cepat berpuas diri, saya kira dalam beberapa tahun ke depan mereka akan menjadi penulis mapan yang meramaikan dunia cerpen Indonesia. Salah satu nama yang menjadi jagoan saya adalah Nadia Sarah Adzani dengan "Sumbing". Meski tampak longgar di beberapa deskripsi -yang membahas detail tak penting dengan kalimat panjang-, ide ceritanya sangat segar. Raditya Nugie, punya cara bertutur yang menarik -meski terkadang berlebihan dan mendayu- hanya saja, sangat disayangkan memilih tema yang terlalu klise: kecintaan pada orang yang sudah meninggal.


Clara Ng, menyumbang satu cerpen terbaiknya dengan "Bunga Kapas Pecah Terbang Dibawa Angin". Penulis-penulis muda sangat dianjurkan belajar pada cara Clara Ng dalam membuat kalimat-kalimat panjang tanpa membingungkan dan bikin ngantuk. Idawati Zhang, meski masih berbau chick-lit, menjadi salah satu nama yang menjanjikan. Eka Kurniawan, menutup parade cerpen dengan kesederhanaan yang mengesankan lewat penggali kubur.


***

Buku ini juga diramaikan oleh beberapa fiksi mini di bagian akhirnya. Kicauan yang dirangkum adalah kicauan pilihan moderator @fiksimini. Sulit bagi saya untuk berkomentar tentang kicauan ini, mungkin karena saya tidak suka berkicau. Namun, sebagai pintu keluar dari Wonderland, kicauan-kicauan itu membuat saya bahagia menjadi Alice yang terjebak di dunia yang penuh cerita. Penuh selebrasi kata.