Senin, 18 Maret 2013

Aku Akan Menikah

"Aku akan menikah." katamu ragu memulai percakapan kita. Suaramu gemetar.

Soda yang baru kutuang ke dalam gelas masih mendesis. Hari ini panas luar biasa, hampir  39 derajat celcius. Aku tergoda untuk mereguk soda dengan potongan es di dalamnya itu, tapi aku takut aku tidak bisa menelan. Leherku sejak tadi tercekat. Aku bahkan tak sanggup menjawab sapamu ketika kau duduk di hadapanku lima menit lalu.


"Aku akan menikah." ulangmu lagi. Kini terdengar lebih tegas. Kukira, nadamu kali ini setegas telepon terakhirmu dua tahun lalu. Setegas dulu kau katakan kau tidak menginginkan aku lagi.

Aku mengalihkan pandangan keluar, mengamati orang-orang yang melangkah cepat sambil menutup kepala dari sengatan matahari. Pramusaji datang, menghidangkan sepotong strawberry cheese cake dengan satu skup es krim di sampingnya. Itu pesanan yang segera kusesali. Aku suka kue itu, tapi tidak mungkin aku makan saat ini. Membuka mulutpun mustahil bagiku sekarang.


Aku mulai mengikis ujung kue itu dengan sendok kecil, tanpa sedikitpun berniat untuk memakannya. Ya, aku salah tingkah.

"Kau bisa dengar aku, kan?"

Tentu saja. Bahkan getaran diantara jeda huruf dan hurufmu tertangkap telingaku. Aku mengangguk.

"Ya," kau menyandarkan punggung ke kursi, menghela napas, lalu berkata lagi, "Aku akan menikah."

Lalu kau ingin aku menjawab apa? Kau ingin aku mendoakan kebahagiaanmu?
Sudah. Aku selalu mendoakanmu.


Jeda. Aku benci jeda ini. Jeda paling lama dalam hidupku.

"Apa kau merestuiku?" tanyamu akhirnya.


Kuberi kau senyuman terlebar yang bisa kubuat saat ini. Namun kurasa aku hanya menyeringai kecil.


"Kamu merestuiku, kan?" tanyaku setengah menghiba.

Kugerakkan tanganku menyentuh punggung tanganmu. Lalu mengusapnya sekilas. Bulu-bulu halusmu dan tanganmu yang kini lebih kasar. Cepat-cepat kutarik tanganku. Aku tidak ingin pertahananku runtuh hanya karena terkenang lagi masa-masa jariku dan jarimu saling mengait.


Usapan itu adalah keikhlasan terbesar yang aku punya. Menikahlah. Hiduplah dengan bahagia. Kau tidak menemukan setetespun air mata di pipiku, kan? Aku ikhlas.

"Satu kata saja. Bilang kau merestuiku. Biar aku tenang menjalaninya."

Kepercayaanku benar. Manusia selalu menaruh kebutuhannya di atas apapun.

"Iya." kataku dengan satu seringai kecil lagi.

Dan entah kenapa, tiba-tiba kau rubuh. Kau menutup muka dengan kedua tangan dan mulai menangis dengan bahu terguncang-guncang. Hei, kau laki-laki. Harusnya testoteron membantumu untuk tidak menangis semudah ini.

Tangis apa ini? Apa kau begitu lega karena kuberi restu? Apa restuku ini yang kau tunggu hingga kau menunda pernikahanmu hingga dua tahun setelah perpisahan kita? Bukankah menangis histeris adalah bagianku? Aku perempuan dan aku yang kau tinggalkan demi menikahi orang lain! Dan sampai detik ini aku belum mendapatkan penggantimu! Kenapa kau menangis?

Demikian simpati, namun aku urung menyentuhmu, menenangkanmu. Sejak kau pergi akhirnya aku tahu, sentuhanku tidak pernah menenangkanmu.

"Aku akan menikah. Aku akan menikah. Aku akan menikah." katamu berkali-kali disela isakan. Seakan tak percaya kau akan segera menikah. Ah, kau selalu berhasil membuatku bingung.

"Aku akan menikah, Farah. Dengan orang lain! Bukan denganmu!" tiba-tiba kau berteriak. Beberapa pengunjung menoleh ke arah kita. Sifat eksplosifmu ternyata belum hilang.


Ya. Aku tahu. Kau akan menikahi orang lain setelah memacariku bertahun-tahun. Tak perlu kau teriakkan kekalahan dan kebodohanku itu. Aku marah, namun tak berniat memarahimu. Buatlah sesuka hatimu.


"Aku akan menikah." katamu. Kuharap itu adalah untuk yang terakhir kali. Dua tahun kulatih kesabaranku dan tampaknya akan runtuh saat ini.

"Aku...." katamu dihentikan isakanmu sendiri, "tidak tahu kenapa. Keputusan ini rasanya tidak benar. Aku juga tidak tahu mengapa aku rasanya harus menangis mendengar kata 'iya'-mu. Apa yang menimpaku?"

 "Aku akan menikah." katamu lagi, begitu nelangsa, seakan maut segera menjemputmu.

 "Aku akan menikah." Kini suaramu makin lirih.


Aku tak tahu harus apa. Aku tidak pernah membayangkan kita akan menangis berdua di siang yang demikian panas.



1 komentar:

Tiada kesan tanpa komentarmu...