Rabu, 14 September 2016

Satu Sampai Sepuluh

Malam ini

mungkin kau sedang menulis catatan panjang
tentang perpisahanmu dengan mimpi-mimpimu
dan tentang apa-apa yang telah diambil darimu dan tak pernah dikembalikan
dan kau berjanji untuk tidak pernah peduli lagi


mungkin kau sedang menatap barisan kaleng warna-warni
di dalam lemari es minimarket tanpa tahu mana yang kau mau
sebab kau tak haus, kau hanya bosan
dan tak tahu harus apa


mungkin kau sedang berdoa kepada Bapa di sorga
kau berdoa agar lukamu lekas kering
lalu kau bertanya kepadanya
"Bapa, apakah di surga ada kesedihan dan air mata?"


mungkin kau sedang menghitung satu sampai sepuluh
sambil menodongkan pistol ke kepalamu
kau menatap pintu sambil berharap seseorang membukanya dan menghentikanmu
kau sudah sampai di hitungan ketujuh dan pintu masih belum terbuka


malam ini
mungkin kau sudah mati
atau
mungkin kau sedang mengingatku





-=========================

ceritanya, tiga hari lalu saya memutuskan untuk membeli sebuah buku catatan yang kertasnya bermotif-motif dan berwarna-warni meriah. Sampulnya juga tidak kalah heboh; ada gambar jerapah, kelinci dan kucing yang sedang joget. Harganya hampir 4 kali lipat harga buku catatan biasa. Bersama buku catatan yang terlalu mahal ini saya beli juga pulpen yang terlalu mahal. Warnanya biru terang sekali.

Saya bukan sedang kebanyakan duit. Hanya saja belakangan ini saya gampang sedih. Lalu saya beli buku berwarna terang ini agar saya bersemangat dan tidak segan menyoretkan isi kepala saya. Puisi di atas adalah puisi pertama yang terlahir di buku warna-warni itu.