Kamis, 30 Juni 2016

Lelaki Kardus, Netizen yang Pura-Pura Bodoh dan Jari yang Terlalu Ringan

Anda terkejut mendengar lagu  "Lelaki Kardus" yang sedang booming itu? Saya tidak. Saya hanya merasa jijik. Bukan pada gadis kecil yang menyanyikan lagu penuh makian itu. Saya jijik pada para netizen, juga jijik pada diri saya sendiri.

Betapa ringannya jari kita menari di atas keyboard/layar smartphone mengomentari gadis kecil. Dengan kata-kata khas netizen, "ya ampun, anak kecil kok kayak gini. Miris!" "Efek sinetron, nih! Miris banget!" "Ini karena tayangan televisi yang tidak mendidik!" dan sederet frasa-frasa yang biasa digunakan netizen nan kekinian lainnya.


Seriously, Netizen?

Apakah kita memang kaget atau pura-pura bodoh? Jauh sebelum terciptanya Lelaki Kardus, anak-anak sudah menyanyikan lagu Jablay-nya Titi Kamal dengan sangat fasih. Abang jarang pulang aku jarang dibelai sudah berkumandang dari bibir-bibir kecil anak-anak tetangga atau bahkan anak anda sendiri. Mereka juga hapal lagu rap panjang milik Young Lex dan teman-temannya: dulu sahabat, sekarang jadi bangsat!

Apakah netizen yang terhormat memang kaget atau memang pura-pura tolol? Kunjungi kerumunan anak kecil di usia SD di dekat rumah Anda, maka makian seperti "anjing" dan "ngentot" adalah makian yang begitu mudah mereka ucapkan. Kunjungi warnet atau rental PlayStation, maka kata-kata yang sama akan diucapkan berkali-kali, seolah itu akan menambah energi mereka dalam memainkan permainan di layar.

Jadi kenapa lirik lagu "lelaki kardus, lelaki karpet, lelaki kecrot, lelaki bangkrut, lelaki mencret, lelaki bangsat" bikin netizen ini demikian panik? Lalu sibuk bercuit sampai bikin Trending Topic? Apa memang netizen ini memang sibuk sekali di kehidupan maya sampai tidak sempat melihat sekelilingnya?

Really, DPR? Where have you been all this time, nigga?


Dari kehebohan netizen, seperti biasa, muncullah komentar tidak penting dari pejabat negara. DPR berkomentar, "Astagfirullah". Menkominfo menyurati Youtube, meminta pemblokiran. Reaksi yang hanya ada karena desakan netizen. Reaksi, yang biasanya, tidak akan membawa perubahan esensial. Seiring munculnya topik heboh lain, maka kita akan kembali pura-pura bodoh. Netizen akan twitwar tentang topik lain, menemukan wacana dan bahan tertawaan lain. Pejabatpun akan disibukkan dengan hal lain selain tugasnya.

Kita memang gerombolan menyedihkan, yang menyambung hidup dengan meramaikan satu kerumunan ke kerumunan lainnya.

---

Jari kita demikian ringan menuding ke arah sinetron, televisi dan Youtube sebagai sumber dari bencana ini. Demikian mudah kita mengkambing-hitamkan ketiga hal itu daripada melihat ke dalam diri sendiri.

Berapa banyak dari netizen, yang demikian garang dan intelek di media sosial, yang berani ambil tindakan jika mendengar anak kecil memaki dengan kata "bangsat" atau "anjing" di kehidupan nyata? Saya, entah kenapa punya keyakinan, sebagian besar dari kita hanya berani geleng-geleng kepala sambil membatin, "miris, ya." Persis seperti yang kita lakukan jika ada topik heboh di dunia maya. Share dan tulis komentar, "miris, ya." Demikian tidak berdaya-nya kita. Itu sangat menjijikkan.

Kalau saja kita punya keberanian, mungkin kita tidak jadi se-menjijikkan ini. Kalau setiap dari kita mau berani untuk bertindak lebih dari sekadar geleng kepala. Kalau setiap dari kita mau menyisakan waktu untuk berhenti dan mengelus kepala anak kecil lalu berkata, "Dik, jangan ngomong seperti itu, ya. Nggak baik." Kalau kita menyediakan banyak hal yang bisa dilakukan adik kecil kita agar mereka tidak perlu menonton tontonan penuh makian. Kalau kita cukup peduli untuk tidak membiarkan anak kecil jadi biduan dangdut, biduan pop atau biduan jazz sekalipun. Kalau. Kalau. Kalau.


Sayangnya kita tidak pernah se-berani dan sesabar itu. Keberanian dan kesabaran kita hanya sebatas hashtag dan update status. Bukankah kita ini sangat menjijikkan?