Jumat, 14 Agustus 2015

Catatan Hati Seorang Freelancer

Sejak awal tahun 2015 saya sudah merencanakan untuk jadi seorang freelancer. Ini adalah salah satu impian saya. Bekerja tanpa perlu masuk kantor dan tanpa perlu berurusan dengan banyak orang. Sejak Oktober 2014 saya bekerja sebagai penulis freelance di salah satu web portal yang berbasis di Malang. Karena saya seorang freelancer, saya bisa mengerjakan pekerjaan tersebut dari Jakarta. Jadi saya menjadi penulis di sela-sela kesibukan saya sebagai seorang guru.

Juli kemarin saya melepaskan profesi guru dan menjadi seorang freelancer murni. Kayak bensin gitu, murni. Saya mengerjakan artikel untuk web portal yang sama. Dan beberapa hari terakhir saya menerima pekerjaan dari seorang kenalan untuk translate video untuk diunggah ke Channel Youtube.

Karena web portal tempat saya bekerja berfokus ke artikel-artikel hiburan, maka tugas saya hanyalah mencari kejadian-kejadian yang sedang trending di dunia maya, lalu menulis ulang kejadian tersebut. Kadang-kadang saya bikin list berupa kritik sosial seperti  "Kebiasaan Orang Indonesia yang Aneh di Mata Orang Asing", "5 Alasan Mengapa Anda Harus Berpikir Ulang Sebelum Memberi Sedekah di Jalan" dan lain-lain. Intinya ini pekerjaan yang surga banget bagi saya. Saya dibebaskan untuk eksplor tema yang saya suka, mulai dari politik, fotografi, video lucu sampai ke artis Bollywood. Kalau kamu penasaran, bisa lihat-lihat tulisan saya di web tersebut, klik di sini.


Karena pekerjaan saya di web tersebut sudah cukup menghasilkan, saya memutuskan untuk mudik. Saya meninggalkan Jakarta dan tinggal di rumah orang tua saya di Kabanjahe, Sumatera Utara, sambil tetap menulis untuk web. Ada rasa lelah, sebab saya sudah merantau ke Jakarta sejak umur 17 tahun dan saya sekarang sudah berumur 25. Saya ingin pulang. Saya ingin menghabiskan waktu saya di rumah orang tua saya. Sebab saya tidak tahu berapa lama lagi saya bisa melihat mereka setiap hari. Sebab saya merasa mereka terlalu cepat menua tahun demi tahun saya tinggalkan.


Jadi, di sinilah saya. Tidak lagi ada masakan ala kadar yang biasa saya makan ketika di kost. Tidak perlu pusing memikirkan macet dan rekan kerja yang menyebalkan. Saya sejahtera di bawah naungan rumah orang tua sendiri dengan pekerjaan yang super menyenangkan. Ditambah lagi, saya mendapat pekerjaan sebagai translator video dan saya dibayar per hari. Jadi saya punya gaji per hari dan per bulan. Surga banget kan?


Tapi hidup memang nggak bisa selamanya "surga". Lu harus sesekali masuk "neraka" di episode kehidupan ini. Dan "neraka" saya di sini adalah pertanyaan orang-orang keppo yang nggak tahu apa-apa soal saya, tapi nggak bisa menahan diri untuk berkomentar. Berikut ini adalah beberapa komentar yang bikin darah saya naik ke ubun-ubun, tapi saya hanya bisa membalas dengan nyengir.


"Loh, kok masih di sini? Nggak balik ke Jakarta?"

Sekali-dua kali, pertanyaan ini saya jawab, "Iya, masih pingin liburan di sini." Tapi pertanyaan model ini terus menerus datang. Dan tidak jarang disertai dengan mimik wajah yang lebay. Seolah saya nggak boleh tinggal di rumah orang tua saya sendiri. Seolah orang tua saya itu di Jakarta dan saya harus cepat-cepat balik ke sana. Seolah saya nggak boleh milih untuk tinggal di sini dibanding Jakarta.


"Kapan balik ke Jakarta?"

 biasanya saya jawab dengan kalem, "belum tahu", karena saya memang belum tahu. Karena saya memang masih pingin menikmati hari-hari di sini. Tapi setiap ngeliat muka saya, baik saudara, teman, kenalan, tetangga semua pada keppo. "Kapan balik ke Jakarta?" Jawaban, "belum tahu" tidak cukup untuk memuaskan mereka. Mereka nanya lagi dan nanya lagi dan lagi lagi lagi. Seolah kehadiran saya di kota ini menganggu hidup mereka. Padahal boro-boro menganggu, saya bahkan jarang keluar rumah. So what it has to do with you?


"Coba ngelamar jadi pegawai honor di kantor anu...."
Ini pertanyaan yang muncul karena mereka berpikir saya ini pengangguran dan sangat butuh pekerjaan. Dan, sialnya, entah kenapa di kampung saya tercinta ini semua orang berpikir hanya ada satu pekerjaan mulia dan patut dibanggakan: PNS. Dan itu semua ditempuh dengan dua cara; ikut tes CPNS atau meniti karir dengan jadi pegawai honorer.

Bapak-bapak, Ibu-Ibu, Tante-Tante dan Tetangga Sekalian, ginih ya.... Saya itu nggak pengangguran loh. Kalo boleh sombong sedikit, gaji saya sebagai freelancer itu lebih dari dua kali lipat honorer di kantor-kantor yang kalian sebutkan. Dan terima kasih sudah menyarankan untuk jadi pegawan honorer. Tapi sejak SMA saya sudah membulatkan hati, saya nggak akan menerima pekerjaan yang berhubungan sama instansi pemerintah. makasi banyak.


"Kerja apa? Kok di rumah-rumah aja?"
Bapak-bapak, Ibu-Ibu yang terhormat. Teknologi sudah maju. Ada yang namanya internet dan instant messenger di ponsel. Apa yang saya tulis dari Kabanjahe tercinta ini, akan dibaca dengan teks yang sama dengan pembaca tulisan saya di Papua atau di Mozambik. Jadi jangan terlalu khawatir, saya kan di rumah orang tua saya, bukan di rumah bapak dan ibu sekalian.


"Coba bikin tempat les di sini. Kan sayang sekolah tinggi-tinggi ilmunya nggak dipake..."
Jangan khawatir, Bu, Pak... ilmu saya kepake, kok. Semua yang saya pelajari di kampus kepake banget untuk nerjemahin tulisan, video atau artikel. Jadi saya nggak perlu bikin tempat les dan mengeksploitasi kemampuan anak-anak. Kalau anak ibu dan bapak pingin belajar, silahkan suruh dateng ke rumah. Saya ajari. Gratis. Ilmu saya bukan cuman buat cari duit kok.


"Udahlah, nikah aja kalo gitu"
Saya udah dewasa. Nanti bisa pertimbangkan kapan saya mau menikah. Emangnya kalo saya nikah kalian bisa berhenti nanya. yang ada malah hadir pertanyaan berikutnya, "udah isi?", "kapan nambah anak?"


"Pikirkanlah masa depan. Seriuslah meniti karir"
Menurut loooooh? Gue kurang serius apa sama masa depan gue? Susah, sih. Lu nggak liat gue begadang buat nulis tiap malam. Gue kerja keras untuk mewujudkan mimpi gue. Mungkin konsep kita beda soal "sukses". Tapi bukan berarti gue nggak mikirin masa depan gue. Iya kan? Iya dong? Bener kan? Bener dong?



Well, well, well....
Saya sudah coba ambil sisi positifnya. Mereka bertanya karena perhatian saya saya. Tapi kalau setelah saya jelaskan, dan tetap bertanya, apa itu namanya kalo bukan "kurang kerjaan"? Kok keppo banget sama pilihan hidup orang lain, sih?

Dan kebayang nggak sih. Saya nggak mungkin selalu menjawab pertanyaan itu dengan panjang lebar seperti tulisan saya di atas. Takutnya malah ada yang sakit hati. Tuh, saya mah masih mikirin sakit hati orang. Kenapa orang nggak mikirin bahwa kadang-kadang perkataan orang lain itu bikin sakit hati saya?


Saya sedang menjalani pekerjaan dan hidup yang saya impikan. Saya sedang menjalani pilihan hidup yang terbaik menurut saya. Saya sudah hidup keras di Jakarta, boleh dong saya sedikit nyantai di kampung halaman sendiri? Kenapa harus pada kepo?


akhir kata, saya mau mengutip sebuah hadist

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata yang baik atau cukup diam."