Sabtu, 28 Maret 2015

My Forte?

Saya masuk ke kelas 1 B di tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 05 Kabanjahe, Sumatera Utara. Saya duduk satu bangku dengan anak bernama Andri Yani. Saya memanggilnya Yani. Saya tidak ingat bagaimana penampilan saya di hari pertama sekolah, tapi saya ingat penampilan Yani.
Sebagian rambutnya masih basah dan dia memakai rok merah yang terlalu panjang. Di kakinya, dia memakai sendal bertali Carvil berwarna cokelat dan kaus kaki putih. Setiap dia bicara dan menyelesaikan satu kalimat, hidungnya mengerut menyedot ingus. Saya kira dia sedang pilek, namun ternyata sepanjang tahun duduk di sampingnya, ingus itu tetap di sana. Kadang-kadang ingusnya menetes ke buku ketika sedang menulis dan saya menyaksikan cairan kental itu memanjang dari lubang hidungnya hingga menetes membasahi kertas. Saya tidak jijik, saya justru kagum melihat itu. Saya sebenarnya agak iri karena tidak pernah punya ingus sepanjang itu.

Yani termasuk anak yang kurus, terlebih jari-jarinya. Tapi jari-jari itu sangat kuat, setidaknya dibandingkan dengan jari saya. Ketika Yani menulis, jari-jarinya mencengkram pensil sangat kuat, hingga tulisannya tampak begitu tebal dan tegas. Halaman belakang bukunya membentuk relief, saking kuatnya jari-jari itu menekan pensil. Dia menulis nama di setiap halaman buku pada bagian atas. "yani". Semuanya dengan huruf kecil yang tegas. Setiap selesai menulis, jari-hari Yani menjadi pucat karena selama sekian menit aliran darah ke jarinya terhenti.

Yani tidak suka berada di SD kami. Dia selalu bercerita tentang sekolah Saint Joseph, sekolah asrama kristiani yang terkenal di daerah kami. Ketika TK, Yani bersekolah di Saint Joseph dan sangat bersemangat untuk melanjutkan SD di tempat yang sama. Namun sayangnya dia malah didaftarkan ke SD kami. Di hari pertama sekolah, dia banyak bercerita tentang TK-nya. Dia menyebut "Saint Joseph" dengan "Sin Yosef". Sementara saya tidak berbicara banyak soal TK saya, TK Dewi Sartika.

Suatu hari Yani datang ke sekolah dengan kejutan yang tidak saya sukai. Ketika guru belum masuk kelas, dia menunjukkan sekujur pahanya yang biru-biru karena dicubit. Dia menawarkan untuk menyingkap seragam dan menunjukkan luka lain di punggung, tapi saya bilang saya tidak mau. Saya belum pernah dicubit hingga biru, sehingga melihat luka begitu di tubuh orang lain membuat mata saya panas dan berair. Saya takut.

Dia bilang semalaman dia tidur di kamar mandi. Dia dihukum karena nasi yang dimasaknya gosong.

"Siapa yang mengurung kau?" tanya saya.

"Bibiku."

"Mamakmu kemana?"

"Belum pulang. Nanti kalau pulang, aku bilang sama mamakku," katanya, kemudian menyedot ingus. Matanya memerah karena menangis dan marah.

Saya tidak tahu harus apa. Saya tidak berusaha menghibur dan menenangkan dia. Saya diam saja. Ketika guru datang, dia menurunkan lagi roknya. Menutupi luka-luka itu dan kembali belajar seperti biasa. Mencengkram pensil dengan kuat sampai jari-jarinya pucat.

***

Sejak hari itu, Yani sering menceritakan cerita-cerita kejam seperti sinetron. Saya tidak bisa apa-apa selain mempercayainya karena dia menunjukkan bukti berupa lembam di tangan atau pahanya. Saya belum bisa menghitung waktu, jadi saya tidak tahu berapa lama hal itu terus terjadi kala itu. Yang jelas, menurut saya mamak (ibu) Yani tidak akan pernah datang dan menyelamatkan dia dari Bibinya, karena mamaknya tidak kunjung datang.

Tapi Yani selalu bilang, "kalau mamakku datang, kubilang semuanya. Terus aku pindah ke Sin Yosef."

***

Ketika saya naik ke kelas dua, Yani tidak ikut naik kelas. Dia tidak ada di SD itu lagi. Mungkin mamaknya sudah kembali dan dia sekolah di Saint Joseph. Atau mungkin bibinya yang jahat itu tidak membiarkannya sekolah lagi.

Saya tidak pernah melihat Yani lagi hingga sekarang.

***

Saya tidak ingat siapa teman sebangku saya selanjutnya di kelas dua. Dan pagi tadi, begitu bangun tidur entah kenapa saya ingat Yani dan seluruh ceritanya, juga jari-jari pucatnya. Saya menyesal tidak melakukan banyak ketika dia menunjukkan luka-lukanya. Saya harusnya memeluknya atau menyerahkan beberapa permen yang saya simpan di kantong saya. Saya menyesal sekali.


Apakah ini berlaku pada semua orang? Dimana tiba-tiba kenangan akan sesuatu muncul di kepala dengan detail yang sangat mengagumkan? Or is it just... my forte?


SD saya berada tepat di depan Patung Mumah Purba ini (C)Aurora Yamerescha