Senin, 20 Mei 2013

"Jangan Kau Buang yang Merasakan Berjiwa..."

Hari ini, saya melihat satu lagi hal mengerikan.
Bukan hantu, bukan monster, bukan petir, bukan darah.
Tapi manusia dan mulutnya.


Lagi-lagi, mungkin saya lebay, tapi bagi saya ini benar-benar mengerikan. Betapa mulut bisa menjadi lebih berbisa dari apapun. Saya rasanya ingin menangis, tapi hal ini sepertinya tidak pantas untuk ditangisi. Atau mungkin, hidup harus kita rayakan dengan tangisan panjang.

Siang tadi, seorang kawan meminta sesuatu kepada seorang pemimpin. Sesuatu yang menjadi haknya. Dalam 'sesuatu' itu, kawan saya menaruh banyak harapan. Terlalu banyak, mungkin. Si pemimpin bisa saja memberinya, dengan sangat gampang, bahkan tanpa perlu mengeluarkan keringat. Hanya beberapa baris kalimat sebagai keterangan, itu saja. Entah apa susahnya.

Dengan sangat singkat sang pemimpin bilang, "Tidak bisa. Kita lihat nanti. Tapi saya gak janji. Kayaknya sih gak bisa."

Keluar ruangan, saya rasanya pingin nangis melihat wajah pias si kawan. Wajah itu lesu. Seperti.... Ah, kita semua mungkin tahu seperti apa wajah orang yang kehilangan harapan. Sendu. Padam.

Saya tahu dibalik suaranya yang gemetar, dia berusaha mati-matian untuk tidak menangis saat menceritakan semua. Saya juga diam-diam berharap. "Jangan kawan.... jangan menangis di depanku.... Aku tidak pernah kuat melihat air mata."

Dan akhirnya air mata itu menetes disusul bahu yang terguncang. Hal yang terakhir yang saya ingat, saya memeluknya dan ikut menangis juga.

Kawan satu ini masih sangat muda, sangat polos, harapannya adalah harapan yang tidak muluk. Dia ingin kuliah. Itu saja.

Apa yang membuat si pemimpin sebegitu ketus? Apa susahnya mengetik beberapa baris kalimat yang memang hak si kawan?

Mungkin benar,
Uang itu tidak bernyawa. Namun kita telah menukar nyawa kita dengan uang. Dan kita melanjutkan hidup tanpa hati.


Aku yang kelewat sensitif atau kalian yang menutup mata, sih?





*judul posting ini diambil dari potongan lagu terbaru SORE, "Sssst..."