Kamis, 05 September 2019

(REVIEW) Gundala; Pahlawan Bertulang Punggung Kurang Tegak




"Skenario adalah tulang punggung sebuah film."


Cuitan itu diunggah Joko Anwar di akun Twitternya ketika orang-orang sedang ramai membicarakan film Wiro Sableng. Joko Anwar seperti sungkan mengkritik di tengah-tengah euforia masyarakat akan film silat-komedi pertama Indonesia tersebut. Bagaimanapun, perfilman Indonesia perlu disegarkan dari genre yang monoton dan Wiro Sableng berusaha melakukannya.

Kalau mau jujur, maksud Joko Anwar dari cuitan di atas adalah film Wiro Sableng jelek. Skenarionya tidak digali dengan serius, tidak ditulis dengan rapi sehingga ceritanya menjadi sangat lamban dan membosankan.


Sekarang, waktunya Joko Anwar menelan pil yang sama. Tidak, Gundala sama sekali bukan film yang jelek. Saya menikmatinya dan menurut saya film ini pantas mendapatkan satu juta penonton dalam waktu 7 hari. Namun, tulang belakang Gundala sepertinya tidak begitu tegak, membuatnya tidak luwes dalam lambat dalam bergerak.

Adegan-adegan dalam Gundala bergerak dengan sangat lamban. Saya paham akan usaha Joko untuk membangun emosi penonton untuk menyadari bahwa Gundala bukanlah pahlawan supermu yang biasanya; dia adalah manusia pada umumnya, kekuatannya tidak dia dapat dengan ajaib lewat satu sengatan laba-laba. Gundala, sama seperti kita, terjebak dalam konflik batik tentang konsep keadilan. Yes, yes, we get it, Joko. Tapi film ini jadi terasa seperti sebuah lagu yang bagus, tapi saya lebih menikmatinya jika dimainkan dalam kecepatan dua kali lipat.

Jika naskah ini diberi kesempatan untuk ditulis ulang dua atau tiga kali, saya yakin Joko Anwar mampu mengakalinya. Joko, menurut saya, menulis dengan sangat baik untuk skenario Arisan, Janji Joni dan Kala. Harusnya Joko mampu pula membangun emosi penonton tanpa membuang-buang screen time.


Beberapa karakter cukup meyakinkan. Saya suka karakter Gundala, Pengkor, Ghani, Swara Batin, dan si pemain biola yang saya lupa namanya tapi ingat suara tertawanya. Dan ada satu lagi tokoh perempuan yang tertawa dengan suara gila juga, tapi saya tidak suka karakter itu. Basi dan klise sekali. Dan juga, kenapa karakter Ridwan Bahri harus berpenampilan aneh seperti itu? Jenggot terlalu tebal yang dengan canggung menempel di wajah Lukman Sardi.


Tokoh Favorit saya adalah Ki Wilawuk. Screentimenya sangat sedikit di ujung film, namun menjadi penutupan yang sangat manis. Bukti bahwa kamu tidak perlu bertele-tele dalam membangun emosi, Jok. Cukup siapkan adegan yang kuat.

Terlepas dari itu semua, menonton film ini adalah sebuah pengalaman yang tidak terlupakan dan berharga untuk saya. Dan untuk itu, Joko Anwar masih ada dalam daftar sutradara favorit saya. Sutradara yang saya kagumi sejak masa SMA hingga saya berbadan dua dan segera melahirkan anak. Terima kasih, Joko Anwar.

Selasa, 28 Februari 2017

Festival Makan Mayit dan Pertanyaan Tentang Moral

Kemarin, dan seperti hari-hari lainnya, netizen menemukan hal untuk disorak dan diriuh-ramaikan. Netizen memang selalu saja bisa menemukan hal-hal yang membuat mereka marah, geram dan miris di media sosial. Netizen, seperti yang kita ketahui, berhak untuk marah dan ngamuk pada siapapun, mulai dari orang biasa hingga selebritis, dengan cara lembut ataupun dengan kata-kata kasar.

Kali ini sasaran kemarahan netizen adalah Festival #MakanMayit, sebuah seni pertunjukan karya seniman Natasha Gabriela Tontey. Sebuah pertunjukan yang mengusung tema horor, ketakutan manusia dan kanibalisme.

Jika anda berperut lemah dan cepat mual, jangan lanjutkan baca tulisan ini.




Menyelami Horor #MakanMayit

Seorang biarawati berjalan dengan baju khasnya: putih pucat dan lengkap dengan rosario menggantung di dadanya. Dia membawa sebuah penyangga lilin berbentuk tangan manusia yang di setiap ujung jarinya terdapat lilin putih menyala. Jika pada umumnya biarawati menyembunyikan rambut mereka dengan rapi, biarawati yang satu ini menggerai rambut pendeknya. Diterangi cahaya lilin yang temaram, biarawati itu menyeringai.

Biarawati itu membimbing para hadirin ke meja makan. Bermacam-macam hidangan sudah tersedia di meja itu: otak manusia dengan saus darah, darah kental disusun rapi di gelas-gelas ramping, janin yang masih merah dan hidangan utama: bayi dengan tubuh yang tidak lagi utuh.



Hadirin dipersilahkan menyantap hidangan tersebut. Sementara sang biarawati akan berkeliling, memastikan semua tamunya puas dengan hidangan. Semua makan dengan lahap, tidak ada yang pulang dengan keadaan lapar malam itu.

Membaca deskripsi di atas, apakah anda membayangkan ini seperti adegan di film horor? Ya, inilah yang terjadi di #MakanMayit. Hanya saja, menu makanan yang disebutkan adalah makanan yang bentuknya diolah sedemikian rupa menyerupai tubuh bayi. Darah yang dihidangkan sebagai minuman adalah jus buah dan janin bayi terbuat dari jelly dengan warna yang menyerupai darah. Dan sang biarawati yang menyambut hadirin bukanlah biarawati sungguhan melainkan sang seniman; Natasha Gabriella Tontey.

Bagi saya, pertunjukan ini menjijikkan. Lambung saya yang sudah lama bermasalah langsung memberontak ketika malam itu saya melihat tagar #MakanMayit di lini masa Instagram. Tapi rasa ingin tahu membuat saya terus scrolling. Sampai akhirnya rasa jijik saya berubah menjadi rasa heran.


Bukan heran terhadap festival #MakanMayit, melainkan heran pada netizen. Netizen murka dan memuntabkan kemarahannya ke banyak pihak. Tidak hanya ke Natasha sebagai seniman, tapi pada tempat acara diselenggarakan dan orang-orang yang hadir di acara tersebut. Dan tentu saja, di setiap kejadian ada yang menyalahkan Jokowi.

Kemarahan netizen tidak lagi terbendung. Mereka mengucapkan kata-kata yang (menurut saya) lebih sadis daripada sekelompok orang yang berpura-pura memakan bayi. Gila, psycho, sakit jiwa, tolol, dongo, muka jelek babi, komunis (iya, saya heran kenapa komunis ini gampang sekali dibawa dalam perdebatan apapun di Indonesia), PKI dan serangkaian kata kasar lainnya.


Natasha Gabriella Tontey


Belakangan, para ibu (sekaligus netizen) yang sakit hatinya ramai-ramai memposting foto bayi mereka di Instagram. Mungkin, ini adalah gerakan counter yang ingin menyampaikan pesan bahwa bayi adalah makhluk yang indah yang seharusnya dihargai sebagaimana menghargai ibu yang sudah melahirkan mereka. Tapi, silahkan tengok sendiri caption dari foto bayi-bayi imut tersebut. Isinya kemarahan, yang tak jarang diiringi serapah terhadap Natasha. 


Saya jijik melihat pertunjukan #MakanMayit ini, tapi juga jijik dengan ibu-ibu yang memposting foto anak tanpa dosa dengan caption maki-makian. Tolonglah, para ibu, pisahkan kemarahanmu dari foto bayi. Sang seniman mungkin melakukan kesalahan, tapi kalian meng-counter dengan cara yang tidak lebih terhormat!



Dan, akibat netizen juga akhirnya acara #MakanMayit ini terdengar ke telinga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yembise. Beliau turut mengecam pertunjukan #MakanMayit. Ini jadi isu nasional ketika seorang menteripun turut bersuara. Ini sudah terlalu dibesar-besarkan. 


Dan bicara soal Menteri Yohanna, saya punya sebuah ingatan menarik. Malam itu, Mei 2016 kalau tidak salah, orang-orang sedang berkumpul di Tugu Proklamasi, Menteng, untuk menyalakan lilin tanda berdua untuk Yuyun, korban pemerkosaan dan pembunuhan di Bengkulu. Yang Mulia Menteri Yohanna dengan santainya berkata, "rata-rata pemerkosa itu dan salah satu penyebab orang memerkosa adalah karena mereka berasal dari keluarga broken home." Seketika seisi lapangan bersorak "huuuuuuu...." like... seriuosly.... seorang menteri bisa menjadi se-ignorant itu. Indonesia memang luar biasa.


Kembali ke #MakanMayit. Secara pribadi, saya tidak terhibur maupun terkesan dengan seni ini. Malah untuk beberapa bagian saya sangat tidak setuju dengan pendapat Natasha sebagai seniman. Dalam wawancara di VICE dia menyatakan bahwa "kita sejak bayi minum ASI dan secara esensial berarti kita minum darah.". Plis ya, Mbak Natasha, buka lagi buku Biologinya. ASI itu bukan darah, tapi kelenjar.

Menurut saya #MakanMayit itu menjijikkan, tidak menghibur dan terlalu dangkal secara konsep. Tapi bukan berarti saya punya hak untuk melancarkan serangan personal kepada Natasha di akun media sosialnya dengan kata-kata yang menyakitkan.


Dan, saja setuju dengan Arman Dhani, jika kita merasa demikian marah terhadap sekelompok orang yang berpura-pura makan bayi tapi biasa saja ketika melihat kenyataan bahwa ratusan bayi dibuang setiap bulannya, kita perlu mempertanyakan kembali moral kita.